Bab 9

1627 Kata
Diana berjalan menaiki tangga rumah Chilla menuju kamar sahabatnya itu sambil memegang nampan berisi makan siang ynag disiapkan Suci untuk putrinya. Setelah selesai membantu mama Chilla memasak, ia menawarkan diri untuk mengantarkan makan siang bagi Chilla agar setelah itu bisa langsung meminum obatnya. Begitu masuk ke dalam kamar Chilla, Diana menatap bingung mendapati tidak ada Toni di dalam kamar tersebut. Ia hanya melihat Chilla yang saat ini duduk di pinggir ranjangnya dengan ekspresi wajah kesal. “Tunangan kamu yang brengs*k itu dimana?” tanya Diana. Sudah hal biasa bagi Chilla mendengar Diana yang selalu mengumpati Toni. Pertanyaan yang diajukan Diana malah membuat Chilla menghembuskan nafas kasar. “seperti biasa,” jawab Chilla dengan nada lesu. Diana meletakkan nampan berisi makanan yang ia bawa di atas meja kecil samping ranjang Chilla lalu duduk di samping Chilla dengan ekspresi kesal. “Jangan bilang dia nemuin selingkuhan ngaku sahabatnya itu,” ujar Diana mengungkapkan dugaannya. Chilla memberikan anggukan sebagai jawaban. “Makin lama makin kesel aku sama tuh Cewek. Tiap kali kamu labrak selalu bilang kalau nggak ada hubungan apapun sama Toni, tapi tetep aja ganjen dan nempel-nempel sama tunangan orang. Emang dia nggak ada temen yang lain apa, kenapa apa-apa selalu nelpon Toni,” gerutu Diana dnegan nada kesal. Chilla hanya bisa menghela nafas. “Nggak tahu lagi aku gimana caranya buat ngejauhin mereka.” Diana segera merangkul bahu Chilla dan mengelusnya lembut, berusaha menenangkan sahabatnya yang tengah bersedih saat ini. “Udah, udah nggak usah terlalu dipikirin. Inget kata dokter kamu, berusaha untuk selalu berpikir positif,” ujar Diana berusaha menghibur dan menenangkan Chilla. Chilla akhirnya memberikan senyuman pada Diana dan mengangguk. “Tenang aja, aku nggak akan nyerah buat buktiin sama Toni kalau hanya aku yang mencintai dia sebesar ini.” Diana menatap lekat pada Chilla. “Jujur deh, aku beneran masih penasaran apa alasan kamu secinta ini sama Antoni Mawardi? Padahal masih banyak cowo lain di luar sana yang berusaha mengejar kamu, dan mereka nggak kalah tampan ataupun kaya,” ujar Diana yang merasa penasaran. Chilla tersenyum sambil membayangkan pertemuan pertamanya dengan Toni delapan tahun yang lalu yang menjadi alasan perasaan cintanya pada pria itu. “Cowok-cowok yang sekarang ngejar-ngejar aku, mereka hanyalah orang-orang yang kalau ngelihat penampilan aku yang dulu pasti hanya akan menatap aku jijik seakan aku adalah makhluk yang paling hina,” jelas Chilla. “Emang Toni ngga kaya gitu?” Chilla memberikan anggukan penuh keyakinan. “Dia adalah cowo pertama yang tersenyum ramah sama aku dan tatapan matanya sama sekali nggak menghakimi ataupun meremehkan aku. Nggak ada cowo manapun yang bisa seperti Toni saat aku masih dnegan penampilanku yang buruk itu, maka dari itu hanya dia yang bakal aku cintai sampai kapanpun.” “Terus, kalau menurut kamu Toni begitu baik sama kamu dulu, kenapa kamu nggak bernai buat ngedeketin dia pas jaman kuliah?” Tanya Diana sekali lagi. “Karena aku tetap sadar diri Diana, penampilan aku dulu buruk rupa dan nggak pantes bersanding dengan Toni yang begitu tampan dan jadi idola para mahasiswa di kampus. Kalau sekarang, aku udah ngerasa aku pantas buat dapetin dia, karena aku nggak kalah cantik dari gadis-gadis yang dulu mengejar-ngejar dia,” jelas Chilla. ***** Chilla terlihat berdiri beberapa meter dari area kantin di kampusnya. Ia beberapa kali melihat ke sekitar untuk mencari keberadaan Diana yang tidak kunjung datang saat ini, padahal mereka sudah janjian untuk ke kantin bersama setelah kelas pertama mereka hari ini selesai. “Diana kemana sih?” gumam Chilla sambil mengelus perut besarnya yang sudah terasa lapar. Aroma makanan yang dari tadi tercium di hidungnya membuat Chilla benar-benar merasa lapar. Mana dua puluh menit lagi ia sudah ahrus masuk ke kelas untuk mata kuliah berikutnya yang akan berlangsung selama dua jam, ia bisa pingsan karena kelaparan jika tidak makan sekarang. Sejujurnya ia bisa saja masuk ke kantin dan menunggu Diana di sana, namun suasana kantin saat ini sangat ramai dan itu menjadi alasan Chilla tidak berani pergi sendirian tanpa Diana sahabatnya. Terlalu sering dibully dari kecil karena penampilannya membuat Chilla selalu takut berada di tempat yang ramai sendirian. Ia selalu merasa semua orang menatapnya dengan tatapan jijik, seakan ia adalah hama yang menganggu pandangan mata semua orang. Chilla masih berusaha untuk menahan rasa laparnya, namun ketika ia mendengar perutnya mulai berbunyi membuatnya benar-benar sudah tidak bisa menunggu lagi. Ia akhirnya menarik nafas panjang untuk menenangkan dirinya sebelum kakinya melangkah menuju area kantin kampusnya itu. Ketika Chilla baru saja masuk ke area kampus, pandangan semua orang yang berada di sana langsung tertuju pada dirinya. Pria maupun wanita, semuanya melihat dirinya dengan tatapan jijik dan menghina. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengabaikan tatapan semua orang dan melangkah cepat menuju salah satu warung nasi yang ada di kantin kampus. Begitu sampai di depan warung tujuannya, ia harus mengantri seperti anak-anak yang lain. Barisan antrian cukup panjang saat ini karena suasana kantin yang ramai, sambil menunggu Chilla memilih mengeluarkan ponselnya untuk mencari kesibukan. “Lihat deh cee besar yang di sana. Udah mukanya serem banyak jerawat, kulitnya dekil, ditambah badannya kaya gajah.” “Astaga, aku nggak bisa bedain mana lengan, mana kaki, mana leher. Besarnya sama semua.” “Kalau ada cowo yang nikah sama dia, tulangnya langsung patah deh kayanya pas dipeluk.” “Idih, emang ada yang mau sama cewe monster kaya gitu?” Chilla segera merogoh tas miliknya untuk mencari headset yang ia simpan di sana. Begitu menemukan benda yang dicarinya tersebut, ia langsung menancapkannya di ponsel dan memasang ke telinganya, barulah kemudian ia menyetel musik dari ponselnya dengan volume penuh agar tidak perlu mendengar hinaan dari orang-orang disekitarnya saat ini. Setelah menunggu selama beberapa menit, Chilla tersenyum lega saat akhirnya tiba giliran dirinya untuk memesan makanan yang ia inginkan. “Mari neng, mau pesan apa?” Tanya Ibu yang berjaga di warung tersebut ketika melihat Chilla maju di hadapannya. Baru saja Chilla akan menjawab pertanyaan yang diajukan Ibu tersebut, namun ia dikejutkan ketika seseorang secara tiba-tiba mendorong dirinya sehingga membuatnya kehilangan keseimbangan karena tidak siap dan akhirnya terjatuh mengenaskan. “Upsss, sorry gue nggak sengaja. Lo ngalah aja ya, soalnya kita mau mesen makan duluan,” ujar seorang pria yang tadi mendorong Chilla untuk bergeser, namun ternyata malah membuat Chilla sampai terjatuh. Chilla meringis kesakitan karena merasakan bokongnya yang sakit akibat terbentur lantai. Namun, walau sudah mendapatkan perlakuan tidak adil seperti ini, respon orang-orang yang berada di sana bukan membantu dirinya tapi malah menertawakan dia. “Anjirlah, kayanya pas dia jatuh berasa gempa mini deh.” “bener, gue juga ngerasain tadi getarannya.” Chilla menunduk berusaha menahan tangis yang benar-benar sudah memaksa untuk dikeluarkan. Kata-kata hinaan dari orang-orang saat ini benar-benar menyakiti hatinya. Seseorang tiba-tiba berjalan mendekati Chilla dan berjongkok di hadapannya. “kamu nggak pa pa?” Tanya orang tersebut. Chilla yang sedang menunduk segera mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa orang yang bertanya padanya saat ini. Begitu bertemu tatap dengan orang yang berjongkok di hadapannya ini, hanya ada satu kata yang terlintas di hadapannya yaitu tampan. Saat ini terlihat seorang pria yang mengenakan baju bola sedang berjongkok di dihadapannya dan menatapnya khawatir. Pria itu memiliki kulit sawo matang dengan alis tebal serta bentuk rahang tegas yang memberi kesan tampan di wajahnya. “hey, kok diam aja. Ada yang sakit?” tanya pria itu sekali lagi. Chilla hanya bisa menggelengkan kepalanya karena mulutnya terasa kaku untuk menjawab. Pria itu kemudian berdiri dan mengulurkan tangannya pada Chilla. “Ayo, aku bantu berdiri,” ucap pria itu. Awalnya Chilla sedikit ragu menerima uluran tangan tersebut, namun karena pria itu terus menatapnya dengan tatapan penuh harap membuat Chilla menerima uluran tangannya lalu berdiri kembali dnegan perlahan. Setelah memastikan kondisi Chilla sudah aman, pria yang membantunya berdiri itu segera berbalik menatap ke arah pria yang mendorong Chilla tadi. “Lo tahu aturan nggak sih sebenarnya? Udah disekolahin mahal-mahal sama orangtua, tapi masa ngantri aja nggak bisa,” ujar pria itu dnegan nada tajam. “Sorry bro, tapi gue buru-buru tadi,” jawab pria yang mendorong Chilla dengan nada pelan karena sedikit terintimidasi dangan pria yang menolong Chilla. “Lo buru-buru, terus ini cewe nggak gitu?” “Oke-oke gue salah. Sorry deh kalau gitu.” “Lo nggak perlu minta maaf sama gue, karena bukan gue yang lo dorong tadi. Minta maaf sama dia,” perintah pria yang menolong Chilla sambil menunjuk ke arahnya. Pria tersebut kemudian menatap Chilla. “Sorry ya,” ucapnya. Chilla hanya bisa tersenyum tipis sambil memberikan anggukan. Setelah itu pria tersebut langsung pergi meninggalkan tempat tersebut. Pria yang menolong Chilla kemudian menatap ke arah semua orang yang berada di kantin tersebut. “Bisa-bisanya lo semua di sini malah ketawa ngelihat orang lain susah. Nggak punya hati nurani semua ya lo pada?” tanya pria itu dengan nada kesal. Semua orang terdiam dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Pria itu kemudian kembali menatap ke arah Chilla. “Lain kali, belajarlah buat ngelawan. Jangan mau dihina oleh orang lain,” nasehat pria itu sambil menatap lekat pada Chilla. Entah sejak kapan jantung Chilla berdebar kencang karena tatapan pria itu padanya. Ini adalah tatapan yang tidak pernah Chilla temui pada pria manapun yang melihat dirinya. Pria itu sama sekali tidak menatapnya jijik maupun kasihan, hanya ada tatapan biasa seakan dirinya berpenampilan normal seperti orang lain. “Makasih,” ucap Chilla. Pria tersebut tersenyum pada Chilla yang tentu saja membuat jantung wanita di hadapannya ini kembali berdebar kencang. “Antoni Mawardi.” Panggilan seseorang membuat pria yang menolong Chilla itu segera berbalik. “Oke gue kesana sebentar lagi,” teriak pria itu menjawab panggilan temannya. Ia kemudian kembali menatap Chilla, “gue pergi dulu ya,” pamitnya. Chilla menatap punggung pria itu yang berjalan keluar dari area kantin menuju ke arah temannya yang juga mengenakan baju bola sepertinya saat ini. “Antoni Mawardi,” gumam Chilla menyebutkan nama pria itu sekali lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN