Bab 10

1594 Kata
Begitu selesai memarkirkan mobilnya di depan sebuah halaman rumah berlantai tiga yang terlihat begitu megah, Chilla segera keluar dari mobil miliknya dan berjalan masuk ke dalam rumah tersebut. Ia tidak lupa melepaskan kacamata hitam miliknya ketika kakinya sudah melangkah masuk dalam area rumah tersebut. “Tante Chilla,” panggil seorang bocah laki-laki yang melihat lebih dulu ke datangan Chilla. Chilla berjalan menuju ruang tengah rumah tersebut, dimana saat ini ada seorang wanita yang menggendong bayi perempuan yang terlihat sedang tertidur pulas dan ada seorang bayi perempuan kisaran berusia dua tahun tengah duduk di baby chair miliknya. “hay Leo,” sapa Chilla pada bocah yang memanggilnya tadi. Begitu Chilla sampai di ruang tengah, bocah itu segera menghampirinya untuk menyalim tangannya barulah kemudian kembali melanjutkan kegiatannya yang tengah asyik menonton acara di televisi. Chilla kemudian berjalan menuju sofa dan duduk di samping wanita yang tengah menggendong bayi perempuan yang saat ini tertidur pulas. “Berantem kenapa lagi kali ini?” Tanya Chilla pada wanita yang duduk di sampingnya itu. “Kok kamu tahu aku lagi berantem?” ujar wanita itu balik bertanya pada Chilla. Chilla tentu saja langsung tertawa. Wanita yang saat ini duduk di sampingnya ini adalah Dewi Laura istri dari sepupu tunangannya yaitu Gerald Mawardi. “Tentu aja aku tahu, karena kalau lagi baikan kamu nggak mungkin udah di rumah Kak Bagas sama Arum di hari minggu kaya gini,” jelas Chilla. “Kali ini kenapa lagi kalian berantem?” lanjutnya bertanya. Dewi mendengus kesal sebelum menjawab. “Seperti biasa, sifat borosnya itu nggak pernah bisa berubah,” gerutu Dewi. Chilla tertawa geli mendengar jawaban Dewi saat ini. Padahal wanita itu tahu seberapa kaya keluarga Mawardi, tapi ternyata sifat menghematnya tetap saja melekat dengan kuat dalam dirinya hingga saat ini. “Loh, kamu udah dateng Chilla?” Tanya Arum yang berjalan dari arah dapur menuju mereka sambil membawa makanan yang ia siapkan untuk putrinya yang saat ini berusia dua tahun. Ia kemudian berjalan ke arah putrinya untuk meletakkan makanan, baru setelah itu ia duduk di sofa yang menghadap ke arah Chilla dan Dewi. “Aku bosen soalnya di rumah, Papa sama Mama kalau weekend kaya gini seneng berduaan menikmati liburan tanpa ngajakin aku. Makanya, aku mutusin ke sini pagi aja,” jelas Chilla. Arum mengangguk paham. “Tapi kata Mama dia datengnya setelah jam makan siang. Emang nggak pa pa kamu nunggu agak lama?” Tanya Arum memastikan. “Nggak masalah kok, aku bisa main sama Sophia dan Leo sambil nunggu tante Putri,” jawab Chilla dengan nada santai. “Chilla lagi janjian sama mertua kamu di sini?” Tanya Dewi yang mendengar pembicaraan mereka berdua. Arum memberikan anggukan. “Iya, soalnya hari ini kita mau lihat bareng referensi gaun untuk nikahan Chilla dan Toni nanti. Aku minta di rumahku aja, biar gampang sambil jagain Sophia,” jelas Arum. Dewi memasang wajah terkejut. “Oh iya, Antoni udah balik ke Indonesia ya. Berarti bentar lagi dong pernikahan kalian?” Tanya Dewi menatap Chilla. Chilla tentu saja langsung memberikan anggukan sambil mengangguk senang. “Iya dong, akhirnya aku bakal nyusul kalian jadi menantu keluarga Mawardi seutuhnya.” Arum hanya bisa menatap Chilla sambil tersenyum tipis. Ia kemudian mengalihkan tatapannya ke arah putra sulungnya Leo yang tengah asyik menonton televisi. “sayang, kamu udah ngerjain tugas sekolah buat besok nggak? Inget nggak tadi Ayah bilang Apa? Semua tugas harus udah beres pas dia pulang nanti,” ujar Arum memperingatkan putranya itu. Leo menghela nafas kasar dan kemudian segera menutup televisi di hadapannya. “Iya,iya ini mau Leo kerjain Bu,” jawabnya dengan nada malas sambil berjalan lesu menuju kamarnya. Setelah kepergian Leo anaknya Arum kembali menatap ke arah Chilla. “Kamu bener-bener udah serius sama keputusan kamu buat nikah sama Toni?” Tanya Arum menatap lekat pada Chilla. “Masih ada waktu loh buat dipikirin lagi.” Chilla tentu saja langsung memberikan gelengan tanpa berpikir panjang. “Ngapain aku mikirin lagi Rum? Nikah sama Antoni adalah hal yang paling aku idam-idamkan dari dulu,” jawab Chilla penuh keyakinan. “Tapi kamu tahu kan resiko yang akan kamu tanggung nanti. Kamu jelas tahu gimana perasaan Toni dan gimana cara dia memperlakukan kamu,” ujar Arum berusaha mengingatkan Chilla. “Aku ngomong gini bukan buat berniat jahat sama kamu Chilla, justru karena aku nggak mau Toni semakin nyakitin kamu.” Chilla tersenyum senang kemudian berpindah posisi untuk duduk di samping Arum dan menggenggam tangan wanita yang tengah menatap khawatir padanya saat ini. “Aku sama sekali nggak berprasangka buruk kok sama niat kamu. Aku tahu kamu ngomong kaya gini karena khawatir sama aku. Tenang aja, aku udah tahu resikonya dan siap buat menanggung semua itu asalkan bisa nikah sama Toni.” Arum menatap khawatir pada Chilla namun sama sekali tidak tahu harus mengatakan apa lagi untuk menyadarkan wanita yang terlalu tergila-gila pada adik iparnya itu. “Tenang aja Arum. Batu di kali aja bisa hancur kalau ditetesin air terus-menerus, apalagi hati manusia. Aku yakin, cepat atau lambat Toni pasti bisa balas perasaan aku,” jelas Chilla berusaha meyakinkan Arum yang terlihat masih mengkhawatirkan dirinya. “Udahlah Arum. Chilla yang berjuang aja yakin bisa ngelewatin hal itu, kenapa malah kamu yang ragu? Aku rasa kepercayaan diri Chilla bisa jadi salah satu kunci untuk keberhasilannya merebut hati tunangannya itu,” ujar Dewi menambahkan pendapatnya. Chilla tentu saja tersenyum sumringah mendengar Dewi yang mendukung dirinya. “Tuh, Kak Dewi aja ngedukung aku masa kamu nggak sih.” Arum akhirnya hanya bisa menghembuskan nafas pasrah. Ia sadar bahwa apapun yang akan dirinya katakan untuk menyadarkan Chilla tidak akan berpengaruh pada wanita itu. Logikanya sudah tertutupi oleh cintanya pada Toni, dan hanya dirinya sendiri yang bisa memutuskan untuk berhenti atau tetap lanjut. “Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik aja buat kamu,” ucap Arum akhirnya. Chilla tentu saja senang mendengar perkataan Arum itu. “Oh iya, kamu udah masak makan siang? Kalau belum, biar aku bantu ya,” tawar Chilla. “Boleh,” jawab Arum. “Oke, berarti aku juga numpang makan siang di sini aja. Kalian berdua yang masak, aku jagain anakku,” ujar Dewi. Chilla langsung memberikan jempol pada Dewi. “Kak Dewi santai aja, urusan masak biar aku sama Arum aja.” “Nunggu Sophia selesai makan dulu ya baru kita masak,” ujar Arum sambil melihat kondisi putrinya yang masih sibuk menikmati makanannya yang sedikit lagi mau habis. ***** Gerald terlihat berjalan keluar dari sebuah toko perhiasan yang ada di salah satu mall besar di Jakarta pusat. Ia baru saja selesai membelikan kalung untuk istrinya Dewi agar wanita itu mau memaafkannya saat ia pergi meminta maaf nanti. Merasa urusannya sudah selesai di mall tersebut, Gerald langsung berjalan ke lantai paling dasar mall untuk menuju ke area basement tempat ia memarkirkan mobilnya tadi. Begitu kakinya sudah akan melangkah menuju basement, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok orang yang ia kenali. Gerald segera menajamkan indera penglihatannya untuk memastikan apa dirinya tidak salah mengenali orang. Saat ini di dalam supermarket Gerald melihat adik sepupunya Antoni Mawardi tengah berbelanja bersama seorang wanita yang cukup ia kenali juga. Yang ia ketahui wanita tersebut adalah orang yang dikenalkan Toni sebagai sahabatnya. Gerald segera melangkah masuk ke arah supermarket untuk menghampiri sepupunya itu. “Kak Gerald,” panggil Toni begitu Gerald sudah berdiri di hadapannya. Gerald tentu saja menyadari ada raut terkejut di wajah Antoni ketika melihat dirinya. Ia menatap lekat kedua insan manusia berbeda jenis kelamin itu. “Lo ngapain di sini?” tanya Gerald menatap serius pada Toni. Toni melihat sekilas ke arah Raras yang berdiri di sampingnya sebelum kembali menatap ke arah sepupunya Gerald. Gue nemenin Raras belanja bulanan kak,” jawab Toni. Gerald mengerutkan alisnya menatap bingung pada Raras maupun Gerald. “Emang, sahabat kamu ini nggak punya keluarga atau temen buat nemenin dia. Kenapa harus kamu?” tanya Gerald masih merasa bingung dengan Toni. “Kan aku juga temennya kak.” “Tapi kamu juga tunangan orang Toni. Harusnya sahabat kamu ini tahu batasannya,” jelas Gerald sambil melirik ke arah Raras yang saat ini terlihat salah tingkah mendengar perkataannya. Melihat kondisi yang kurang mengenakkan saat ini membuat Toni menatap Raras. “Bentar ya Ras, ada yang mau aku omongin sama kakak sepupu aku.” Raras hanya tersenyum memberikan anggukan. Toni segera meraih tangan Gerald dan menariknya keluar dari area supermarket itu. Keduanya kemudian berhenti di area yang cukup jauh agar pembicaraan mereka tidak di dengar oleh Raras. “Kak, apa perlu lo ngomong kaya gitu depan Raras? Kaka nggak mikir perasaannya gimana?” tanya Toni sambil menatap kesal pada Gerald. Gerald tentu saja bingung mendengar perkataan Toni. “Lo mikirin perasaan perempuan itu, tapi Lo sama sekali nggak mikirin perasaan Chilla tunangan lo kalau sampai dia tahu Lo lagi jalan berdua dengan perempuan lain?” Tanya Gerald tidak kalah kesal. Toni menghembuskan nafas kasar. “Raras Cuma sahabat gue kak, kami nggak ada hubungan apapun,” ujar Toni penuh penekanan. “Gue nggak mau tahu hubungan lo sama perempuan itu, intinya gue cuma mau memperingatkan lo Toni. Lo harus bisa tahu batasan berhubungan dengan perempuan lain, karena biar gimanapun status lo bukan pria single. Lo punya tunangan yang bentar lagi bakal jadi istri. Lo harus ingat kalau nggak ada riwayat keluarga Mawardi yang suka selingkuh.” “Lo nuduh gue tukang selingkuh kak?” tanya Toni merasa tidak terima. Gerald mengangkat kedua bahunya. “Gue nggak nuduh kok. Lo pikir aja sendiri, apa sikap lo menggambarkan hal itu atau nggak,” ujar Gerald. “Gue mau balik, istri dan anak gue udah nunggu di rumah,” lanjutnya. Setelah mengatakan hal itu, ia segera berjalan pergi dari hadapan Toni.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN