Bab 4

988 Kata
“Pakai sabuk pengaman kamu Chilla,” perintah Toni setelah dengan susah payah Toni sudah berhasil memasukkan Chilla ke dalam mobil dan dirinya duduk di kursi bagian kemudi. Perkataan Toni sama sekali tidak digubris oleh Chilla. Ia malah tetap asyik memejamkan mata dan terlihat begitu tenang dalam tidurnya, padahal Toni tahu bahwa wanita itu tidak tidur saat ini, ia memejamkan mata hanya karena rasa pusing di kepalanya. Tidak ingin membuang waktunya lebih lama, akhirnya Toni memutuskan mencondongkan tubuhnya ke arah Chila untuk membantu memasangkan sabuk pengaman padanya. Di saat jarak tubuh mereka begitu dekat, Chilla yang masih sadar tentu saja dapat merasakan Toni yang saat ini berada di dekatnya, ia pun dengan cepat melingkarkan tangannya ke leher Toni. Toni tidak begitu terkejut dengan gerakan Chilla saat ini, karena selama menjadi tunangannya wanita itu sudah sering memeluk ataupun menciumnya secara tiba-tiba. “Nggak usah aneh-aneh Chilla, aku harus segera nganterin kamu pulang karena besok aku masih harus ke kantor,” ujar Toni memperingatkan Chilla. Bukannya ketakutan dengan kalimat yang Toni lontarkan dengan nada tajam, Chilla malah tersenyum dengan mata yang perlahan mulai terbuka untuk menatap pria dipelukannya ini. “Kalau lagi sama Raras kamu rela lama-lama, tapi sama aku yang jelas-jelas tunangan kamu kenapa nggak bisa sih?” gerutu Chilla sambil mengeratkan pelukannya di leher Toni. “Aku ini tunangan kamu, aku calon istri kamu, pokoknya sampai kapanpun cuma aku yang bisa milikin kamu,” lanjut Chilla mengucapkannya dengan nada tegas. “Kamu sudah tahu kalau nggak ada yang bisa milikin aku selain kamu, jadi kenapa harus selalu merasa terancam dengan Raras?” Satu tangan Chilla bergerak menunjuk dad* Toni. “Karena aku nggak bisa miliki yang ini. Raga kamu bentar lagi bakal seutuhnya milik aku, tapi kamu seharusnya juga ngasih hati kamu buat aku.” Perkataan Chilla membuat Toni menatap tajam wanita yang tengah memeluk lehernya ini. Wajah mereka saat ini hanya berjarak beberapa centi saja. “Kamu hanya manusia biasa Chilla, sekaya apapun keluarga kamu nggak semua hal bisa kamu miliki. Kamu memang hampir berhasil mendapatkan keinginan kamu untuk menikah dengan aku, tapi jangan pernah bermimpi kalau hati aku juga bakal aku kasih ke kamu.” "Aku kurang apa sih? Aku cantik, tubuh aku bagus, keluarga aku kaya. Alasan apa yang buat kamu nggak bisa jatuh cinta sama aku?" Bagas hanya bisa mendengus mendengar perkataan Chilla. "Sesempurna apapun kamu, hati aku nggak bisa dipaksa Chilla." Walau hatinya merasa sakit mendengar kalimat tersebut, namun Chilla berusaha tetap memasang wajah tegar. Ia tidak ingin terlihat lemah dan putus asa di hadapan pria yang ia cintai ini. “Aku nggak peduli gimana perasaan kamu ke aku sekarang, tapi aku bakal mastiin kalau suatu saat hati kamu bakal bisa aku milikin seutuhnya,” ujar Chilla penuh tekad dan keyakinan. Toni sudah akan membuka mulut untuk membalas perkataan Chilla, namun dengan cepat Chilla menarik tengkuknya hingga bibir mereka akhirnya bertemu. Chilla menggerakkan bibirnya dengan gerakan cepat menyesap kuat bibir pria di dalam pelukannya ini, meluapkan semua perasaan yang ia miliki padanya. Toni tentu saja hanyalah laki-laki biasa yang punya nafsu, dicium secara brutal oleh seorang wanita tentu saja membuatnya refleks membalas ciuman tersebut. Setiap kali berciuman dengan Chilla, ia selalu mendoktrin dirinya bahwa ciuman mereka hanyalah nafsu belakang, tidak ada perasaan apapun yang bermain di dalamnya. Pergerakan Toni yang mulai membalas ciumannya dengan gerakan cepat membuat Chilla segera membuka mulutnya membiarkan lidah Toni menerobos masuk ke area sana. Ciuman mereka semakin terasa panas dan nikmat setia Toni bergerak semakin dalam melumat menyesap bibir ranum Chilla. Salah satu tangan Chilla yang tadinya berada di dad* Toni perlahan bergerak turun ke arah pinggang pria itu. Dengan gerakan perlahan yang tidak disadari oleh pria yang tengah menikmati bibirnya ini, tangan Chilla bergerak menarik ujung baju kemeja Toni hingga terlepas dari celananya. Barulah setelah itu Chilla menyelipkan tangannya masuk ke dalam kemeja yang dikenakan Toni. Di tengah kegiatannya menyesap dan menikmati bibir ranum Chilla, Toni dikejutkan dengan sebuah tangan lembut dan hangat yang bergerak pelan mengusap kulit perut dan dadanya. Awalnya Toni membiarkan saja Chilla bermain di balik bajunya di tengah dirinya yang menikmati bibir wanita itu, namun ketika tangan Chilla mulai bergerak semakin turun ke area bawah perutnya dan mulai menyelipkan tangannya ke dalam celana yang ia kenakan saat ini, dengan cepat Toni menghentikan gerakan tangan wanita itu. Chilla memang sudah sering memeluk Toni atau menciumnya secara paksa selama ini yang tentu saja terkadang dibalas oleh Toni. Namun, ini pertama kalinya Chilla bergerak lebih berani dari biasanya. Toni segera menghempas kuat tangan Chilla dan menghentikan ciuman mereka. Ia kemudian menjauhkan tubuhnya dari Chilla dan kembali duduk tegak di kursinya. Beberapa kali Toni menghembuskan nafasnya kasar sambil mengusap wajahnya, berusaha menenangkan dirinya dari perbuatan Chilla beberapa saat yang lalu. “Lebih baik aku antar kamu pulang sekarang,” ujar Toni yang kemudian segera melajukan mobilnya keluar dari area parkiran. Chilla memberikan gelengan keras mendengar Toni berniat mengantarnya pulang. “Aku nggak bisa pulang ke rumah sekarang, aku sedikit mabuk dan tubuh aku bau alkohol. Kalau mama tahu aku minum-minum malam ini dia pasti sedih dan papa pasti marah. Apa kamu mau jelasin ke mereka alasan aku mabuk malam ini?” Tanya Chilla dengan nada menantang. Toni mendengus kesal mendengar Chilla yang secara tidak langsung tengah mengancam dirinya saat ini. “Berhenti bersikap kekanak-kanakan Chilla.” Chilla memilih membalikkan wajahnya menghadap ke arah jendela mobil yang ada di sampingnya, ia sama sekali tidak mempedulikan omelan dari tunangannya itu. Masa bodoh pria itu akan mengantarnya ke mana malam ini, yang pasti dirinya tidak boleh pulang ke rumah sekarang. Melihat kelakuan Chilla saat ini membuat Toni menghentikan omelannya. Ia akhirnya memilih mengalah dan tidak memperpanjang perdebatan dengan Chilla yang bahkan tidak pernah mendengarkan perkataannya sama sekali. Keadaan di mobil akhirnya menjadi hening. Toni memilih fokus menyetir mobilnya, sedangkan Chilla sibuk melihat pemandangan di luar jendela mobil yang menampilkan jalanan kota Jakarta di malam hari. Karena masih sedikit terpengaruh oleh alkohol, perlahan Chilla mulai mengantuk dan akhirnya terlelap dengan sendirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN