Bab 3

903 Kata
Chilla terlihat duduk di sebuah sofa yang ada di dalam salah satu private room yang ada di sebuah club di Jakarta. Saat ini di tangannya ia memegang sebuah gelas kecil berisi minuman alkohol yang kemudian ia habiskan dalam sekali tegukan. Sebenarnya Chilla bukanlah wanita yang pandai mengonsumsi alkohol, maka dari itu walau baru menghabiskan setengah botol, kepalanya benar-benar sudah terasa begitu pusing dan kesadarannya juga semakin menipis. Di tengah kondisi Chilla yang saat ini sudah setengah mabuk, pintu ruangannya tiba-tiba terbuka dan terlihat wanita dan pria yang masih bisa ia kenali masuk ke dalam ruangan tersebut. Chilla langsung memberikan senyuman menyambut mereka berdua. "Eh, calon kakak ipar aku udah pada dateng," sapa Chilla dengan suara serak sambil tersenyum seorang pria dan wanita yang menatap khawatir pada dirinya. Mereka adalah bagas Mawardi kakak dari Antoni Mawardi dan istrinya Arumi Naswa. "Kamu kenapa jadi mabuk kaya gini sih? Ada apa?" Tanya Arum khawatir. Ia segera duduk di samping Chilla dan merangkul wanita yang terlihat sempoyongan itu. Melihat Arum yang menatapnya khawatir membuat ekspresi Chilla yang tadinya tersenyum padanya mulai berubah. Chilla menatap sendu penuh kesedihan pada Arum dan airmata mulai jatuh membasahi kedua pipinya. "Ini semua karena adik ipar kamu. Apa aku kurang cantik sampai dia tetap aja bersikap dingin sama aku?" ujar Chilla sambil mulai terisak. "Udah, udah jangan nangis dong. Kamu kan udah tahu sifat Toni kaya gimana," ujar Arum. Ia segera memeluk Chilla dan mengusap kepala gadis itu. "Toni ngelakuin apa lagi sampai kamu harus mabuk kaya gini Chilla?" Tanya Bagas. "Aku kesel soalnya dia deket dan perhatian banget sama teman perempuannya yang namanya Raras itu. Dia emang bilang kalau hubungannya sama Raras cuma sebatas teman, tapi cara dia memperlakukan Raras bahkan lebih baik dibandingkan cara dia memperlakukan aku yang notabene adalah tunangannya sendiri," gerutu Chilla meluapkan semua kekesalannya pada kakak iparnya itu. Chilla kemudian kembali menatap ke arah Arum dengan airmata yang semakin deras mengalir di pipinya. "Apa salah aku marah ngelihat dia senyum sama Raras, sedangkan sama aku dia selalu menampilkan wajah datar? Terus apa salah kalau aku marah dia selalu sigap menemui Raras kalau perempuan itu minta tolong, tapi kalau aku yang telpon harus nunggu aku ancem dulu baru dia mau datang?" Arum tidak tahu harus berkomentar apa mendengar cerita Chilla. Sejujurnya jika dirinya yang berada di posisi Chilla, tentu saja ia akan merasa sakit hati diperlakukan seperti itu. "Jadi kamu mabuk-mabukkan di sini karena wanita bernama Raras itu?" Tanya Bagas. Chilla memberikan anggukan pada Bagas. " Lebih tepatnya aku berantem sama Toni, soalnya dia bohong sama aku kak. Setelah jemput dia di bandara aku ngajakin makan siang tapi dia nolak karena kecapean katanya, dia nyuruh aku langsung pulang soalnya dia mau istirahat. Tapi ternyata dia bohong dan nggak istirahat, begitu aku pergi dia malah pergi makan siang sama perempuan itu," adu Chilla. Bagas mendengus kesal mendengar laporan Chilla. Ia segera merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel miliknya untuk menelpon adiknya itu. Setelah bunyi dering ke dua sambungan telepon mereka akhirnya terhubung. "Dimana kamu?" Tanya Bagas dengan nada datar pada Toni. "Lagi di rumah kak, ada apa?" "Datang ke sini sekarang dan jemput tunangan kamu. Kalau nggak datang, kamu yang akan kakak seret buat temuin dia," perintah Bagas dengan nada tegas. Toni terdengar menghela nafas. "Oke, oke Kakak kirim alamatnya sekarang. Aku ke sana," jawab Toni. Dengan lembut Arum meraih kepala Chilla untuk bersandar di pangkuannya. Walau sudah berhenti terisak namun air mata masih mengalir di pipi wanita itu. Dua puluh menit menunggu Toni akhirnya tiba di tempat tersebut. Pria itu segera masuk ke dalam ruangan dimana ada Bagas dan Arum yang menemani Chilla saat ini. "Dateng juga kamu akhirnya," ujar Bagas sambil menatap tajam pada adiknya itu. "Kenapa dia bisa ada di sini sih?" Tanya Toni sambil menatap Chilla yang bersandar di bahu kakak iparnya Arum dengan mata yang terpejam. "Nggak salah kamu nanya kaya gitu?" Tanya Bagas dengan nada tajam. "Harusnya kamu tahu Chilla bisa berakhir di sini karena siapa.” "Kakak tahu Toni dulu kamu rela berkorban menawarkan diri untuk menggantikan kakak menikahi Chilla. Tapi, kalau kamu memang tidak sanggup lebih baik batalkan saja perjodohan itu, soal masalah kedepannya biar Kakak dan Gerald yang akan mengurusnya nanti. Jangan memaksakan diri dan akhirnya menyakiti Chilla yang memang tulus mencintai kamu," lanjut Bagas menjelaskan. "Nggak perlu kak, aku bisa urus sendiri masalah ini. Sekarang yang jadi tunangan Chilla adalah aku, jadi biar aku yang bertanggung jawab sendiri untuk hubungan kami kedepannya.” Setelah mengatakan itu Toni berjalan menuju ke arah sofa tempat Arum dan Chilla duduk. Ia segera membungkuk di hadapan Chilla dan meraih tubuh wanita itu ke dalam gendongannya. Chilla yang tengah mabuk tentu saja tetap mengenali aroma parfum di tubuh Toni. Di tengah kesadarannya yang sudah mulai hilang, ia mengangkat kedua tangannya melingkari leher Toni dan memeluknya erat sambil membenamkan wajahnya di ceruk leher pria itu menikmati aroma tubuh Toni yang selalu menjadi aroma kesukaannya. “Kakak sama Arum lebih baik pulang, Chilla biar aku yang urus,” ujar Toni menatap sepasang suami istri itu bergantian.Setelah itu ia kemudian berjalan keluar dari ruangan tersebut dengan membawa Chilla yang ada dalam gendongannya. Bagas sudah akan berjalan menyusul Toni, namun Arum istrinya dnegan cepat menahan tangan Bagas. “Biarin mereka nyelesaiin sendiri masalah dalam hubungan mereka. Toni udah dewasa, jadi kamu nggak perlu ikut campur lagi sama keputusannya,” nasehat Arum pada suaminya itu. Bagas akhirnya hanya bisa menghembuskan nafas pasrah dan memberikan anggukan menyetujui perkataan istrinya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN