14. MAKAN MALAM KELUARGA

1441 Kata
Arletha menuruni anak tangga dalam keadaan santai. Belum mandi dan masih mengenakan piyama. Wajahnya pun masih terlihat bengkak akibat baru bangun tidur. Dan sebagai pengangguran, tidak ada tuntutan untuk berdandan rapi di pagi hari. “Good morning,” sapanya kepada ayah dan neneknya. “Pagi Sayang,” balas sang nenek sambil menerima pelukan hangat dari cucunya. “Pagi kesayangan Papi. Gimana tidurnya?” tanya Andra. Arletha mengulas senyum. “Baik, Pi. Aku tidur dengan sangat nyenyak.” “Baguslah. Hari ini kamu ada kegiatan apa saja?” “Belum tahu. Kayaknya sih nggak ada,” jawabnya malu. Arletha duduk di kursi lalu tangannya dengan cepat mengambil roti panggang kemudian dioleh dengan butter. Tidak lupa, teh kesukaannya sudah tersaji di atas meja. Jangan harap gadis itu makan berat meski di sana dihidangkan nasi goreng dan nikmati oleh ayah serta neneknya. “Memang kenapa, Pi?” tanya lagi. Andra meletakkan cangkir kopi miliknya di atas meja. “Papi lupa kasih tahu kamu. Om River undang papi, kamu dan oma untuk datang makan malam. Tapi karena oma kurang enak badan kalau keluar malam, jadi Cuma kamu sama papi saja yang pergi.” “Makan malam? Kapan?” “Nanti malam, Sayang. Sebenarnya sudah dikasih tahu dua hari yang lalu, tapi Papi lupa kasih tahu kamu. Jadi gimana, kamu bisa ikut, kan?” Arletha memainkan garpu serta pisau roti di tangannya sambil berpikir. Entah kenapa ia mendadak gugup kalau harus datang ke rumah River dan bertemu dengan keluarga pria itu. “Kasihan kalau Papi kamu sendiri, Letha. Sebaiknya kamu temani, ya,” ucap sang nenek. Lalu gadis itu mengangguk pelan. “Iya Pi, aku bisa ikut kok.” Setelah sarapan, Arletha masih diam di meja makan. Melihat para art sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Niatnya tadi ingin membantu sekadar mencuci piring bekas sarapan, tapi mereka tidak mengizinkan. Jadilah Arletha duduk diam dengan pikiran menerawang. “Non Letha lagi mikirin apa?” tanya salah satu art bernama Wati. Gadis itu menggeleng. “Saya lagi bingung, Bi.” “Bingung kenapa, Non? Lagi ada masalah, ya?” “Bibi bisa bukin kue, nggak?” Wanita paruh baya itu mengangguk. “Bisa. Biasanya kalau di rumah ada acara, oma minta Bibi yang buat kue. Memang kenapa. Non?” “Kalau begitu, bantu saya buat kue ya, Bi,” ucapnya semringah. “Memangnya buat siapa, Non?” tanya Wati. “Kalau Non Letha mau makan kue, biar Bibi yang buat. Non Letha tinggal tunggu saja.” “Enggak, Bi. Ini bukan untuk saya, tapi untuk temannya Papi.” Arletha menjelaskan singkat maksudnya. “Jadi begitu, Bi. Kalau buatan sendiri, kesannya lebih spesial, kan? Tapi saya butuh bantuan Bibi.” Wati mengangguk paham. “Oalah, kalau begitu ayo, Non. Biar Bibi bantu Non Letha buat kuenya. Asal jangan minta dibantu buat kue khas Paris, Bibi nggak bisa.” Seketika Arletha tertawa renyah. “Ya mana mungkin, Bi. Nggak usah yang rumit, sederhana saja yang penting enak. Kalau terlalu rumit, nanti malah dikira beli.” “Baik Non. Jadi mau buat kue apa?” “Marble cake saja ya, Bi. Soalnya dulu mami pernah ajarin dan rasanya enak. Jadi saya mau buat lagi, tapi dibantu Bibi.” Wati mengangkat jempol tangannya. “Siap Non. Bibi siapin dulu bahan-bahannya, ya.” “Iya Bi.” Artetha berkutat di dapur bersama Wati. Tempat yang asing karena ia memang tidak bisa masak. Tetapi kali ini, ia justru memberanikan diri untuk membuat kue, yang akan dibawa ke rumah keluarga Chandrakala. “Non, temannya Tuan Andra sangat spesial, ya? Sampai-sampai Non Letha buat kue untuk buah tangan.” “Bukan spesial sih, Bi. Tapi papi memang dekat sama Mas River.” “Mas River? Oh masih muda, ya? Bibi kira seumuran Tuan Andra.” Arletha langsung menelan salivanya karena gugup. “Ya sudah dewasa tapi saya nggak enak panggil om karena dia masih kelihatan muda dan juga belum menikah.” “Oh jadi begitu.” *** Mobil yang dibawa oleh Andra sampai di tempat tujuan. Hal ini membuat Arletha yang duduk di sebelah ayahnya semakin tegang. Ia berusaha untuk tenang agar sang ayah tidak curiga. Karena jika ditanya, Arletha tidak punya jawaban mengapa merasa gugup seperti ini. Dengan mengenakan celana jin berwarna putih dan juga blouse biru muda, dipadukan dengan blazer warna senada dengan celana, Arletha nampak cantik. Penampilan yang sederhana namun tetap memperlihatkan selera fashionnya yang berkelas. Ditambah dengan riasan wajah yang simpel namun membuat siapa yang memandang akan menjadi kagum. “Kita masuk sekarang?” tanya Andra. Arletha mengangguk pelan. “Iya, Pi.” Sambil membawa cake di dalam paper bag dan juga buket bunga, Arletha berjalan tidak jauh dari ayahnnya. Ia benar-benar tidak paham mengapa bisa segugup ini. Padahal selama ini selalu bisa mengendalikan situasi meski bertemu dengan orang penting. Arletha dan Andra disambut hangat oleh River dan orang tuanya. Mereka sangat ramah, meski Andra sudah sangat lama tidak bertemu dengan ayah dan ibunya River. “Selamat malam, Pak Harja dan Bu Arimbi.” “Selamat malam Andra. Senang sekali akhirnya kamu bisa datang ke rumah kami,” ucap ayah River bernama Harja Chandrakala. Andra pun menyapa ibu dari River.. “Apa kabar Bu Arimbi?” “Baik Nak Andra.” Wanita itu beralih menatap Arletha. “Ini putri kamu?” “Iya. Ini Arletha, anak saya.” Arletha mengulas senyum ramah, lalu memberi salah, “Halo, saya Arletha. Senang bisa datang ke sini …” Ucapan Arletha menggantung karena bingung harus memanggil orang tua River dengan sebutan apa. “Ma, Pa, sepertinya Arletha bingung harus panggil dengan sebutan apa,” celetuk River. Arimbi tersenyum. “Panggil om dan tante saja. Jangan terlalu pusing dengan hal itu, Arletha.” “I-iya Tante, Om. Oh iya, buket dan kue untuk Om dan Tente,” ucapnya lembut. “Terima kasih, Arletha. Repot-repot bawa buket dan kue,” balas Arimbi. “Kue itu dibuat sendiri oleh Arletha,” ujar Andra. “Oh iya?” Arimbi terkejut. “Pasti rasanya enak.” “Buatnya dibantu sama bibi di rumah kok, Tante. Semoga Om dan Tante suka.” “Untuk saya?” Arletha malu dengan pertanyaan River. “Iya untuk Om juga.” “Om? Kita sudah sepakat kalau kamu panggil saya dengan sebutan mas.” Kening Andra mengkerut karena tidak tahu tentang hal ini. “Wah, sepertinya saya melewatkan sesuatu yang penting.” Harja dan Arimbi tertawa. “Sebaiknya duduk dulu. Kita bisa melanjutkan obrolan sambil minum teh.” “Langsung makan malam saja, Ma. Ini sudah waktunya, jangan sampai tamu penting kita terlalu lama menunggu,” ujar Harja. Akhirnya setelah ngobrol singkat sambil minum teh dan menikmati kue buatan Arletha, dilanjutkan makan malam bersama. Di meja makan pun obrolan masih berlanjut. Yang dibahas adalah bisnis dan Arletha hanya menjadi pendengar. “Jadi sekarang Nak Arletha sibuk apa?” tanya Arimbi. Arletha hampir tersedak ditanya demikian. Padahal pertanyaan wajar yang akan ditanyakan oleh setiap orang yang baru pertama bertemu. Tetapi ia merasa malu. “Sekarang masih santai, Tante. Masih mempertimbangkan beberapa hal sebelum lanjut mau apa ke depannya.” “Oh begitu. Ya sebaiknya memang ada kegiatan, biar tidak bosan di rumah. Masih muda dan punya banyak kesempatan, jadi harus terus mengembangkan diri.” “Iya Tante.” Setelah selesai makan malam, River mengajak Arletha berkeliling melihat suasana rumah orang tuanya yang cukup luas. Sedangkan Andra sedang berbincang-bincang dengan Harja serta Arimbi. Dan saat ini Arletha sedang berada di halaman samping, di mana ada kolam renang dan taman kecil di sana. “Mas River memang tinggal di sini atau ada tempat lain?” tanya Arletha. River menggeleng. Pria itu tengah berdiri di sebelah Arletha sambil memasukkan kedua tangannya pada saku celana panjang. Matanya terus menatap lawan bicara tanpa rasa canggung. “Saya lebih sering di apartemen. Mungkin semingga Cuma tidur dua malam di sini, sisanya saya di apartemen dekat kantor.” “Oh begitu. Jadi om sama tante Cuma tinggal berdua bareng art, ya,” gumam Arletha. “Benar sekali. Dan resiko menjadi anak tunggal adalah dituntut segera menikah biar cepat punya cucu. Jadi mereka tidak kesepian.” “Kalau begitu, nikah dong, Mas. Kan sudah mapan, umur juga cukup, mau cari apa lagi.” River tersenyum. “Kalau sudah waktunya, saya pasti menikah.” “Berarti calonnya sudah ada?” tanya Arletha santai. Belum sempat mendengar jawaban River, tiba-tiba Arletha bergerak dari tempatnya berdiri. Merasakan ada sesuatu yang merayap di kakinya. Sontak wanita itu menjerit sambil berlari ke arah River. Dan tanpa pikir panjang, gadis itu melompat hingga River refleks membawanya ke dalam gendongannya. “Mami!” River menahan tubuh Arletha yang terus bergerak bebas. Mencoba membuat gadis itu tenang dan berhenti menjerit. Mendekap kuat, agar tidak jatuh. “Arletha tenang, kamu aman dengan saya!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN