8. MASIHKAH CEMBURU?

1643 Kata
“Jadi om yang malam itu, teman papi kamu?” Valen nyaris jatuh dari mesin treadmill begitu mendengar penuturan Arletha. Untung kedua tangannya masih berpegangan sehingga bisa menjaga keseimbangan saat berada di atas mesin yang tengah berjalan tidak terlalu kencang. Raut terkejut sekaligus penasaran belum beranjak dari wajahnya. Malam ini Arletha dan Valen memutuskan untuk pergi ke gym, sekadar mencari kegiatan baru karena sama-sama penat dengan kehidupan masing-masing. Jadilah ide dari Valen ini disetujui oleh Arletha. Dan syukurnya tempatnya belum terlalu ramai, padahal jika malam hari tempat langganan Valen ini selalu ramai pengunjung. “Kok kamu nggak cerita, Ta?” “Ya sekarang kan sudah cerita. Gimana, sih?” “Maksudnya kenapa baru cerita sekarang,” protes Valen. Akhirnya ia memutuskan mematikan mesin yang digunakan untuk berolahraga agar bisa fokus bertanya. “Padahal kejadiannya sudah lama.” “Belum juga lewat satu bulan, baru dua minggu kurang. Lagian kamu juga sibuk sama masalah perjodohan orang tua kamu. Dan aku juga sibuk sama urusan patah hatiku.” Arletha mulai mengurangi kecepatan pada mesin treadmill yang posisinya ada di sebelah Valen. Lalu mengusap keringatnya dengan handuk kecil yang diletakkan di atas alat olahraga itu. “Iya juga, sih. Pas banget kamu sama aku ribet masalah hidup. Tapi cerita lagi dong, gimana reaksi om itu pas tahu kamu anaknya papi Andra?” “Aku kan nggak tahu kalau dia yang nolong waktu lagi mabuk. Jadi dia yang sadar lebih dulu terus dengan polosnya ngebongkar rahasiaku di hadapan papi. Dan parahnya lagi, ternyata dia orang yang sempat aku tabrak waktu di bandara.” Arletha bercerita mengenai kejadian di pesta malam itu. Bagaimana Andra marah dan kecewa hingga berujung pada rasa bersalah serta penyesalan yang mendalam. Cerita Arletha membuat Valen juga merasa tidak enak karena ikut berbohong. “Ya ampun, berarti aku juga harus minta maaf sama papi kamu, Ta. Karena aku juga terpaksa berbohong demi bantu kamu,” gumam Valen sedih. Mendengar ucapan Valen, justru membuat Arletha tersenyum geli. “Nggak perlu karena papi tahu kamu begitu atas permintaanku. Lagi pula, memangnya kamu berani ketemu papiku dan minta maaf atas kesalahan yang sebenarnya bukan kemauan kamu.” “Ya berani nggak berani, sih. Walaupun sudah kenal lama dan papi kamu orang yang baik, tapi aku masih nggak lupa gimana murkanya om Andra waktu tahu kamu pulang jam 10 malam karena acara kampus.” “Masih saja ingat kejadian itu,” ujar Arletha sambil tertawa kecil. Keduanya mencoba alat yang lain sambil terus melanjutkan obrolan tentang pertemuan Arletha dengan River. Topik yang sangat menarik bagi Valen, secara ia tahu paras dari River cukup menarik bagi kaum hawa. “Terus menurut kamu, gimana om River? Dia ganteng kan, sesuai sama yang aku ceritakan.” Arletha mengangkat ringan bahunya. “Lumayan.” “Nggak, bukan lumayan tapi memang ganteng. Nggak nyangka kalau dia seumuran sama om Andra. Padahal kelihatan lebih muda.” “Memang dia lebih muda, kok.” Valen terkejut. “Oh iya?” “Kenapa antusias begitu, sih?” tanya Arletha sinis. “Andai nggak ada drama perjodohan, mungkin aku mau sama om River,” ucapnya santai. Kening Arletha mengekerut dengan ekspresi geli. “Sejak kapan doyan sama om om?” “Aku nggak pernah bilang nggak doyan. Apalagi kalau omnya model om River, mau banget. Dewasa tapi masih kelihatan muda. Ganteng dan mapan, kurang apa lagi?” “Dih!” “Nggak usah jijik begitu. Sekarang cari pasangan yang nyaman dan pengertian serta mapan. Bukan Cuma modal tampang ganteng dan muda. Contoh mantanku dan mantanmu, semuanya nggak ada yang beres,” ujar Valen sebal. Arletha berdecil sinis. “Siapa juga yang mau cari pasangan. Single and happy yang paling penting.” “Asal jangan jadi pewaran tua. Atau jangan-jangan kamu juga berakhir sama dengan aku. Sama-sama dijodohin.” “Ogah ya! Papiku bukan tipe jadul kayak mama papa kamu.” “Sialan!” Saat Arletha hendak beranjak dari Elliptical machine, matanya menangkap sosok yang tidak asing baginya. Tubuhnya membeku dengan raut wajah terkejut. Siapa sangka ia harus bertemu lagi dengan wanita yang telah membuatnya merasakan sakit hati atas pengkhianatan. Apalagi ia belum menerima permintaan maaf dari wanita yang merupakan sepupunya. “Arletha, kamu di sini.” Vivi berjalan mendekati Arletha dan Valen. Wanita itu juga sama terkejutnya. Ada gerak-gerik canggung yang ditunjukkan. Entah malu atau mungkin tidak nyaman. “Kamu nge-gym di sini juga?” “Baru kali pertama,” gumam Arletha dingin. Vivi pun mengangguk. “Pantas saja, aku baru lihat kamu pertama kali.” “Aku yang ajak dia ke sini. Lagian dia baru balik dari Paris, wajar kamu nggak pernah lihat,” Valen menimpali dengan sinis. “Dunia memang sempit ya. Aku kira kamu tahu tempat ini dari Bas. Soalnya dia sering ke sini dan katanya, dia juga mau ke sini,” gumam Vivi. Valen tersenyum sinis. “Iya, dunia sempit sampai pacar adik sendiri di embat. Kayak nggak ada cowok lain saja. Padahal pramugari yang katanya berkelas, tapi malah mau jadi selingkuhan.” “Kamu nggak usah nyindir dan ikut campur!” “Ya gimana dong, gemes sama muka tebal yang sampai sekarang nggak minta maaf dan sadar diri kalau salah.” “Sudah, Val. Nggak perlu buang tenaga buat berdebat,” ucap Arletha. Matanya masih menatap sinis terhadap Vivi. “Sampah dan tempatnya, memang pasangan yang cocok.” Kedua tangan Vivi mengepal dengan ekspresi marah tidak tertahan. “Jangan sok paling tersakiti, Ta. Saat Bas butuh dukungan, kamu sibuk kejar ambisi. Saat Bas butuh kamu, apa kamu ada? Justru aku yang selama ini bantu dia bangkit dari keterpurukan. Jadi jangan sok suci dengan bilang aku dan Bas seperti sampah dan tempatnya. Kamu sendiri juga harus sadar diri.” Arletha terdiam, bukan karena merasa kalah tapi tidak percaya dengan pembelaan kakak sepupunya. Niatnya pergi olahraga untuk menenangkan diri dan menyegarkan pikiran, justru hatinya dibuat panas. “Kamu juga tahu kalau mamaku dan keluarga besar marah sama aku. Jadi rasanya itu sudah cukup sebagai balasan. Jalani hidup masing-masing dan jangan lagi menyudutkan aku.” “Ya Tuhan, aku sampai nggak bisa berkata-kata,” ujar Valen. “Nggak usah ngomong, nggak ada yang minta pendapat kamu,” sahut Vivi. Arletha tidak tahan lagi. Ia menghela napas, demi menahan emosinya agar tidak meledak. “Apa kamu masih mengharapkan Bas?” tanya Vivi pada Arletha. “Ayo bicara di luar. Nggak enak ganggu orang yang ada di sini,” ajak Arletha. Vivi mengikuti arah langkah Arletha. Ternyata gadis itu mengajaknya pergi ke basement untuk bicara. Sementara itu, Valen dengan sigap mengikuti, berjaga-jaga agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. “Jawab pertanyaanku, Ta. Kamu masih berharap sama Bas? Aku butuh ketegasan kamu karena hubunganku dan Bas jadi gantung.” Arletha menatap tajam sosok yang berdiri di hadapannya. Lalu tanpa rasa kasihan, sebuah tamparan melayang ke pipi Vivi. Sontak membuat wanita itu terkejut sambil menahan pedih di wajahnya. Namun Arletha, nampak puas bisa melakukannya. “Kenapa kamu nampar aku?” “Jawaban atas pertanyaan kamu. Sedikit pun aku nggak berharap sama Bas, jadi ambil saja untuk kamu.” “Tapi kamu nggak perlu tampar aku!” Vivi mengerang penuh emosi. Sikap anggunnya menghilang, berganti dengan kemurkaan. “Pantas Bas berpaling dari kamu. Selain karena butuh dukungan, dia mungkin muak sama sikap kasar dan kekanak-kanakan kamu.” “CUKUP!” “Nggak akan cukup biar kamu sadar. Kamu Cuma anak manja yang selalu minta belas kasihan papi kamu, biar semua keinginan kamu terpenuhi. Nggak cocok sama Bas yang hidupnya mandiri.” “Kamu!” Tangan Arletha terangkat dan siap melayang ke wajah Vivi. Emosinya sudah tidak bisa dibendung dan kakak sepupunya dianggap pantas menerima perlakukan kasar darinya. “Arletha!” Keinginan Arletha terhenti ketika mendengar suara dari seseorang. Gadis itu menoleh dan mendapati Baskara berjalan cepat ke arahnya berdiri. “Jangan bersikap kasar lagi! Rasanya kamu sudah keterlaluan sama Vivi.” Arletha terdiam ketika mendapat delikan tajam dari Baskara. Bukan takut, tapi ini kali pertama mendengar nada tinggi serta ekspresi marah dari pria itu. Dan Baskara melakukannya demi melindungi Vivi. “Sejak kapan kamu sekasar ini? Apa belum puas meluapkan semuanya sama aku?” “Bas, selingkuhan kamu yang duluan,” celetuk Valen. Tangan Arletha terangkat, meminta Valen diam dan tidak ikut campur. Lantas salah satu sudut bibirnya terangkat, menunjukkan senyum penuh luka. “Aku kasar sama orang yang sudah buat aku sakit hati. Apa aku salah? Apa aku harus nangis dan meraung karena disakiti sama kalian berdua?” “Bukan begitu, tapi semuanya sudah selesai, kan?” Arletha mengangguk. “Ya, semua sudah berakhir. Kita bertiga sudah nggak ada urusan lagi. Tapi aku nggak pernah bisa terima saat dia berusaha menghinaku.” Baskara melihat Vivi yang nampak sedih sambil memegang pipinya. Seakan ingin mengadu kalau terluka karena Arletha. “Sebelumnya dia sudah tampar aku. Dan ternyata belum puas,” ucap Vivi dengan nada lirih. Lantas Baskara menarik tangan Vivi, menggenggamnya erat di hadapan Arletha. “Aku harap ini yang terakhir kalinya. Aku nggak bela siapa-siapa, Ta. Tapi aku nggak mau kamu bersikap kasar. Karena aku mengenal kamu sebagai Arletha yang baik dan penuh kelembutan. Jadi jangan lagi seperti ini.” Baskara membawa Vivi pergi dari hadapan Arletha. Sementara itu, Arletha masih diam dengan kedua tangan mengepal. Matanya berkaca-kaca tapi sekuat tenaga tidak membiarkan air matanya keluar begitu saja. “Dasar sinting! Emang kalian berdua cocok, sama-sama tukang selingkuh,” teriak Valen. “Kenapa si Bas nggak datang nggak pas mulutnya Vivi lemes, biar dia tahu kalau ini bukan salah kamu, Ta.” Valen menghampiri Arletha yang diam di posisinya. Raut wajahnya dingin dengan tatapan mata kosong namun kerkaca-kaca. “Ta, kamu nggak apa-apa, kan?” Arletha menggelengkan kepalanya pelan. “Aku nggak apa-apa, Ta. Tapi rasanya sesak dan sakit.” “Sabar ya, Ta. Kamu jangan pikirin apa yang Vivi katakan. Dia dan Bas sama-sama nggak penting.” “Tapi kenapa rasa sakit itu muncul lagi, Val? Aku nggak mungkin cemburu lihat Bas bawa Vivi pergi, kan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN