04. Larangan Pendatang

1618 Kata
Suara azan Subuh telah menggema. Tanda panggilan kepada umatnya telah tiba. Ahmad pun berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. Cepat-cepat Ahmad ke musala agar tak tertinggal shalat berjamaah. Sampai di musala, Ahmad kembali dikagetkan dengan jamaah yang berjumlah tiga orang saja. Dan dari tiga orang itu, ketiganya dari kaum ibu. “Yang lain ke mana Bu?” Ucap Ahmad pada jamaah. “Sibuk mungkin Mas.” Jawab salah satu ibu jamaah. “Berarti belum azan ini?” Tanya Ahmad lagi. “Urung Mas. Azan tadi dari masjid tetangga.” Jamaah lain menimpali. Ahmad pun mengumandangkan azan. Suara lembutnya seolah menghipnotis pendengarnya. Ahmad menjadi imam pagi itu. Dengan tiga orang jamaah sebagai makmumnya. Usai shalat subuh, seperti biasa tak lupa Ahmad membaca ayat suci Alquran. Suara Ahmad terdengar merdu dalam melantunkannya. Hingga membuat jamaah yang mendengarnya takjub dan tenang. Ahmad memang hanya membaca beberapa ayat, namun dia selalu lakukan rutin. Ahmad cepat-cepat ke luar dari musala. Ahmad ingin secepatnya menuju rumah Tarno. Karena biasanya, di jam subuh seperti ini Tarno dan Dewi tengah merebus kerang hasil pencarian kemarin. Pagi-pagi juragan sudah mengambil kerang ke rumah pencari kerang masing-masing. “Kok buru-buru Mas, ngendi?” Tanya seorang ibu jamaah yang masih menunggu Ahmad mengaji. ( ngendi : ke mana ) “Eh, Bu belum pulang? Iya ini Bu mau tempate Kang Tarno ndelok thoe. Nunggu apa Bu, belum pulang sendiri?” Tanya Ahmad sembari keluar dari pintu musala. “Urung Mas. Mau matiin lampu dulu! Lha ngopo thoe kok dilihat?” Ucap ibu jamaah yang tinggal di sebelah musala. ( Urung : belum ) “Bukan mau lihat Bu, tapi pengin ikut nyari thoe kang Tarno! Pengin buat lauk, uenak eh Bu!” Ahmad menjelaskan. “Apa Mas golet thoe? Aja Mas, aja! Temenan manut aku!” Ucap ibu dengan bahasa khas Cilacap. Ibu jamaah tadi tersontak kaget mendengar Ahmad yang berniat mencari kerang di sungai. ( Apa Mas nyari kerang? Jangan Mas, jangan! Beneran percaya aku! ) “Kenap Bu, aja maksudnya jangan? Memangnya kenapa? Bukannya siapa saja boleh mencari kerang di sungai? Gak ada larangan kan?” Ahmad pun tak kalah kaget mendengar ucapan ibu tadi. Karena penasaran, Ahmad pun duduk di sebelah ibu jamaah yang masih menunggunya di musala. “Apa istrimu gak cerita Mas?” Nek orang jauh itu dilarang mencari apa saja di sungai! Mau golet pasir, golet thoe ndak boleh Mas! Itu sudah peraturan dari dulu!” Ibu tadi sedikit menjelaskan. ( Mau cari pasir, cari kerang gak boleh Mas! ) Ahmad pun semakin dibuat penasaran. Memangnya siapa yang melarang? Sungai kan milik umum, semua orang bisa mendatangi sungai. Mengambil apa saja di sungai, asal gak merusaknya. Mendengar ucapan ibu tadi membuat Ahmad teringat ucapan Sari. Sebagai warga kampung asli, pasti Sari sudah paham dengan larangan ini. Larangan kalau orang jauh tak boleh mencari sesuatu di sungai. Pantas saja selama ini Sari tak pernah setuju Ahmad mencari kerang. Tapi kenapa Sari tak pernah menjelaskan alasannya. “Ndak Bu! Istri saya cuma selalu bilang, kalau saya ndak boleh ke sungai! Istri saya ndak pernah cerita soal larangan itu. Kalau boleh tahu, memangnya kenapa kok bisa ada peraturan seperti itu? Dan siapa juga yang sudah buat peraturan itu Bu?” Tanya Ahmad ingin lebih tahu. “Nek yang buat peraturan itu, saya ndak begitu paham siapa orangnya. Yang jelas, peraturan itu sudah dari nenek moyang dulu. Mas mau tahu kenapa bisa ada peraturan larangan itu? Karena tiap korban di sungai berasal dari jauh. Kayak Mas Ahmad ini. Makanya ndak usah mencari apa-apa di sungai Mas! Mending kerja di darat saja lebih aman!” Ibu tadi menjelaskan. “Jadi gitu ya Bu. Matur nuwun infone Bu! Terima kasih Ibu sudah mengingatkan. Nek gitu saya pamit dulu, takut istri saya nyariin!” Ahmad berpamitan pada ibu tadi. “Temenan kue Mas! Manut saya! Ndak usah ke sungai!” Ibu tadi kembali mengingatkan. ( Beneran itu Mas! Menurut sama saya! ) “Nggih Bu. Assalamuallaikum!.” ( Iya Bu ) Sepanjang perjalanan pulang dari musala, Ahmad berusaha memahami ucapan ibu tadi. Ahmad masih saja penasaran, kenapa hanya orang jauh yang menjadi korban dari sungai yang selama ini menjadi sumber penghidupan warga? Secepatnya Ahmad akan kembali meminta penjelasan pada istrinya di rumah. *** Sari tengah sibuk memasak di dapur. Sementara Ifah sedang menonton kartun di TV. Tidak seperti biasa Ifah selalu tidur lagi usai shalat Subuh. Meski baru 4 tahun, Ahmad dan Sari sudah mengajarkan lima waktu pada Ifah. Ahmad dan Sari berharap, kelak Ifah remaja sudah tahu kewajibannya sendiri. “Bapak kok baru pulang, mampir ke mana?” Ucap Sari pada Ahmad usai menjawab salam dari suaminya. “Gak ke mana-mana Bu! Tadi ngobrol sebentar sama ibu yang rumahnya sebelah musala itu.” Jawab Ahmad pada istrinya. “Oh ya Pak, Ibu sudah belikan Bapak kerang tadi sama kang Tarno. Sebentar Ibu masak. Bapak maunya dimasak apa? Cabai hijau, digoreng tepung, apa disemur?” Tanya Sari memberikan pilihan pada suaminya. “Di cabai hijau wae Bu, kayak kemarin! Ibu dah ke tempat kang Tarno to? Bapak niate mau ikut cari kerang sama kang Tarno! Bosan Bapak di rumah.” Ahmad kembali menyampaikan keinginannya untuk mencari kerang di sungai. “Ndak usah Pak, ini kerangnya sudah ada! Sudah sana Bapak temani Ifah saja, lagi nonton TV sendirian!” Sari tetap melarang. “Iya Bu. Sebenarnya ada hal yang pengin Bapak bicarakan sama Ibu! Tapi Ibu masih sibuk, engko wae! Ibu terusin saja masaknya, Bapak temani Ifah dulu!” Ucap Ahmad sembari berlalu meninggalkan Sari. ( engko wae : nanti saja ) “Hal? Hal opo Pak?” Tanya Sari pada Ahmad. Namun Ahmad sudah berlalu, hingga tak mendengar lagi ucapan Sari. “Owalah Pak, takiro masih di sini!” Sari geleng-geleng kepala. ( takiro : saya kira ) Sari kembali melanjutkan masaknya. Rasa lapar sudah mulai menghinggapi perutnya. Begitupun dengan ucapan suaminya yang ingin bicara suatu hal membuat Sari cepat-cepat menyelesaikan masaknya. *** Sarapan pagi sudah siap dihidangkan Sari. Sari dan keluarganya pun memulai sarapan bersama pagi itu. Suasana kehangatan keluarga kecil Ahmad sangat terasa. Meski hidup sederhana, senyum kebahagiaan selalu menghiasi keluarga Ahmad. Usai sarapan, Sari mengantar Ifah ke sekolah. Dan kini Sari telah kembali tiba di rumah. “Pak, tadi pagi bilang ada hal yang mau dibicarakan sama Ibu! Piye Pak?” Tanya Sari pada Ahmad. “Oh ya, Bapak malah lupa! Gini loh Bu, Bapak mau tanya! Selama ini Ibu melarang Bapak ke sungai, apa karena ada larangan buat pendatang untuk mencari penghidupan di sungai?” Ucap Ahmad pada Sari. Sari yang tiba-tiba mendengar ucapan itu dari suaminya merasa kaget. “Siapa yang bilang Pak?” Jawab Sari berusaha menutupi. “Ibu yang dekat musala itu Bu tadi pagi. Ibu jawab dulu pertanyaan Bapak barusan, apa bener Bu?” Ahmad kembali bertanya karena pertanyaannya belum dijawab Sari. “Iya, Ibu cuma mengikuti aturan saja Pak! Karena kita sekarang tinggal di kampung. Dan tinggal di kampung jauh berbeda dengan hidup di kota yang serba bebas dan modern.” Jawab Sari menjelaskan. “Bapak tahu itu Bu. Terus kenapa Ibu gak terus terang sama Bapak mengenai larangan itu? Bapak kan suami Ibu! Bapak juga akan tinggal lama di kampung! Jadi Bapak juga harus tahu peraturan-peraturan yang ada di kampung ini.” Ahmad tak suka dengan Sari yang menutupi masalah ini dari Ahmad. “Maaf Pak, bukannya Ibu gak mau terus terang. Ibu tahu, kalau Ibu cerita semua ini Bapak pasti gak akan percaya! Karena Ibu tahu, Bapak orang beragama. Bapak selalu menganggap semua karena Tuhan. Jadi Ibu mending menutupi saja dari Bapak. Biarlah Bapak tahu semua ini dari orang lain!” Sari memberi alasan pada Ahmad. “Kita kan suami istri Bu, harus saling terbuka! Bapak kan sudah mau mengikuti Ibu untuk tinggal di kampung Ibu. Pastinya sebagai warga asli Ibu tahu apa saja yang ada di kampung. Jadi Bapak mohon sama Ibu, tolong Bapak dikasih tahu apa saja yang boleh dan tak boleh dilakukan di kampung ini! Kalau sesuai dengan ajaran agama, Bapak akan ikuti. Tapi kalau aturan itu berlawanan dengan agama, Bapak minta maaf karena Bapak gak bisa mengikutinya!” Ahmad memberi pengertian pada istrinya. “Baik Pak, sekali lagi Ibu minta maaf! Ibu akan cerita semua masalah peraturan di sungai yang sudah turun-temurun. Ibu sih ndak tahu, siapa awal yang menetapkan peraturan ini. Namun karena seringnya kejadian. Membuat warga yakin dengan peraturan yang sudah umum di masyarakat kampung sini.” Sari mulai bercerita. “Dari sekian banyak kejadian, sebagian besar dari korban di sungai adalah orang jauh. Para korban adalah orang-orang yang tetap nekat ke sungai meski sudah mendapat peringatan warga. Mereka pun tak ada yang selamat dari ganasnya sungai yang menjadi sumber penghasilan kampung sini. Dan Ibu ndak mau Pak, kalau Bapak ikut nekat mencari penghasilan di sungai! Itulah kenapa Ibu selalu melarang Bapak pergi ke sungai. Ibu takut, sesuatu akan terjadi pada Bapak!” Sari melanjutkan ceritanya. “Kok bisa ya ada peraturan seperti itu? Hanya karena sebagian dari korban adalah pendatang, terus peraturan itu berlaku secara turun-temurun. Ibu ini kok y percaya saja sama hal seperti itu! Yang namanya hidup mati seseorang ada di tangan Tuhan bukan dari peraturan manusia. Dan mungkin kebetulan saja yang menjadi korban adalah pendatang. Karena pendatang kan belum tahu seluk beluk sungai bagaimana. Ibu... Ibu... kok ya zaman sekarang masih percaya begitu!” Ahmad tersenyum mendengar penjelasan istrinya, Sari. “Tapi Pak, Sari tetap khawatir kalau Bapak ke sungai! Ndak usah ikut-ikut nyari penghasilan di sungai ya Pak!” Sari tetap melarang. “Lihat nanti Bu! Kalau Bapak belum ada pekerjaan, Bapak akan tetap mencari penghasilan di sungai. Karena saat ini hanya di sungai satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup kita Bu!” Ahmad tetap saja ingin bekerja di sungai. Ini yang ditakutkan Sari dari suaminya. Ahmad gak bakal percaya dengan hal seperti ini. Ahmad selalu menganggap sesuatu secara nyata. Suaminya pasti akan tetap pergi ke sungai untuk mencari penghasilan. Dan Sari tak akan bisa melarang meski sudah berusaha dengan berbagai alasan. Saat ini Sari hanya bisa menurut dengan suaminya. Karena keputusan tetap pada suaminya, Ahmad. Sari hanya bisa berdoa semoga tidak terjadi hal buruk dengan suaminya saat di sungai nanti. Semoga yang diucapkan suaminya tentang peraturan yang ada itu salah. Karena yang menentukan umur seseorang adalah Tuhan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN