Sore ini, Ahmad ingin pergi ke sungai. Biasanya saat sore tiba, para pencari kerang ataupun pencari pasir kembali ke daratan. Rasa bosan terus mendorong Ahmad untuk pergi ke sungai. Sebenarnya kalau hanya ke sungai, Ahmad sudah beberapa kali melihat. Tapi untuk turun ke sungai, Ahmad memang belum pernah.
Ahmad bukannya tidak mau turun ke sungai selama ini. Ahmad hanya ingin menghargai istrinya yang selama ini selalu melarang Ahmad untuk turun ke sungai. Namun karena kebutuhan, Ahmad pun harus turun ke sungai untuk mencari penghasilan. Karena tabungan saat bekerja di kota mulai menipis. Sedangkan kebutuhan hidup harus terus dipenuhi demi jalannya kehidupan.
Suasana sungai lumayan ramai sore itu. Beberapa perahu singgah di pinggiran sungai. Para pencari kerang ataupun pencari pasir mulai menepikan perahunya satu persatu. Lalu mereka naik ke daratan. Rasa lelah jelas tergambar dari wajah-wajah para pencari nafkah. Namun di balik wajah lelah mereka tersimpan rasa senang saat mereka tiba di rumah. Rasa senang saat kembali berkumpul dengan orang-orang tersayang mereka.
Terlihat juga Tarno sedang menyandarkan perahunya di tepi sungai. Hasil pencarian kerang Tarno hari ini lumayan banyak. Usai menyandarkan perahunya, Tarno mulai memasukkan kerang-kerang hasil tangkapannya ke karung.
“Bantuni ndak Kang?” Ucap Ahmad menawarkan diri.
“Ndak usah Mas Ahmad, suwun! Ngapa Mas, main ke sungai? Apa ndak ngajar anak-anak ngaji?” Jawab Tarno menolak.
“Ndak Kang, tiap hari Jumat saya liburkan ngajinya. Ndak papa Kang, tak bantuni daripada cuma lihat.” Ahmad terus menawarkan diri.
“Gak usah Mas Ahmad! Aku biasa sendiri, paling nanti istri saya juga ke sini antar motor buat angkut kerang.” Tarno tetap saja menolak.
“Mas, Tarno wis biasa dewek! Ra sah direwangi cepet rampung!” Salah satu warga yang seprofesi dengan Tarno menimpali dengan bahasa Cilacap.
( Mas, Tarno sudah biasa sendiri! Gak usah dibantu cepat selesai! )
“Iya Pak.” Jawab Ahmad pada bapak tadi. Padahal Ahmad tak begitu ngerti bahasa istrinya. Ahmad pun hanya bilang iya.
“Memangnya kamu bilang iya, ngerti apa omongannya tadi?” Tanya Tarno pada Ahmad.
“Iya ndak sih, sekedar jawab aja! Memang Bapak tadi ngomong apa Kang?” Ahmad bertanya lalu tersenyum.
“Bapak tadi bilang sama kamu, ndak usah dibantu sudah biasa sendiri, cepat selesai!” Tarno menjelaskan.
Tarno pun geleng-geleng kepala mendengar ucapan Ahmad yang asal mengiyakan.
Seperti ucapan Tarno tadi. Tak lama Dewi datang menjemput Tarno. Dewi meninggalkan sepeda motor di pinggir sungai. Dewi pulang berjalan kaki sembari menenteng tempat bekal Tarno. Sepeda motor digunakan Tarno untuk mengangkut kerang ke rumah.
“Mas Ahmad, tawaranmu tadi masih berlaku kan?” Tanya Tarno pada Ahmad.
“Tawaran? Tawaran apa Kang?” Ahmad merasa bingung dengan ucapan Tarno.
“Tawaran bantuan.” Jawab Tarno sembari tersenyum.
“Oh iya Kang, saya bisa bantu apa?” Tanya Ahmad terlihat bingung.
“Tolong bantu saya angkat karung ke motor!” Jawab Tarno sembari tangan kanan menunjuk karung berisi kerang.
“Baik Kang!” Ahmad sembari mengangkat kedua ujung karung bersebelahan dengan Tarno.
“Abot juga ya Kang.” Ucap Ahmad kembali.
( Berat juga ya Mas )
“Lumayan lah, makanya aku minta tolong sama kamu! Mas Ahmad ndak usah ikut-ikut cari kerang segala berat terus capek! Kerja yang lain aja!” Sama seperti Sari yang tak ingin Ahmad mencari penghasilan di sungai.
Ucapan Tarno pun sama, meminta Ahmad untuk tidak mencari penghidupan di sungai. Apa alasan Tarno hanya itu? Atau memang alasan Tarno melarang Ahmad sama seperti apa yang ibu dekat musala bilang? Bahkan Sari juga beralasan sama? Kalau itu memang alasannya, Ahmad akan tetap mencari penghidupan di sungai.
“Namanya kerja ndak ada yang tak capek Kang! Tidur wae capek. Yang penting ada pendapatan buat dapur istri bisa ngepul terus, pekerjaannya juga halal. Aku ndak popo Kang! Mau kerja di darat, belum ada yang tawari! Yo wis, besok aku mau ikut cari kerang wae Kang!” Ahmad menyampaikan niatnya pada Tarno.
“Mbok kamu sabar dulu Mas, sapa tahu sebentar lagi ada kerjaan di darat! Memangnya de Sari ndak cerita sama kamu? Cerita soal peraturan pendatang baru yang ingin mencari penghidupan di sungai?” Tanya Tarno pada Ahmad.
“Lha gimana lagi Kang! Kebutuhan terus bertambah, sementara pemasukannya ndak ada. Satu-satunya jalan untuk menambah pemasukan yo itu Kang, ikut nyari kerang apa pasir! Cari pasir kan harus punya perahu, ya paling aku mau cari kerang saja. Kang Tarno boleh kan aku ikut?” Ahmad menawarkan diri untuk ikut mencari kerang pada Tarno.
“Tapi Mas, beneran saya takut eh!” Tarno menolak.
“Kang Tarno takut sama siapa? Takut sama larangan itu? Sudah Kang Tarno tenang saja, aku akan jaga diri baik-baik! Yang penting aku ada yang mengajari cari kerang dulu caranya piye?” Ahmad berusaha memberi kepastian bahwa Ahmad akan baik-baik saja.
“Iyo Mas, soalnya wis banyak kejadian! Beneran aku takut Mas!” Tarno terus menolak.
“Kejadian orang tenggelam! Dan korban tenggelam itu adalah warga pendatang! Kang, hidup mati seseorang itu Gusti Allah yang menentukan, bukan manusia ataupun peraturan. Kalau Gusti Allah sudah berkehendak apa pun bisa terjadi! Aku hanya yakin pada Tuhan!” Ahmad berusaha mempertahankan pendapatnya.
“Piye ya Mas? Tapi Mas Ahmad izin dulu sama de Sari! Kalau diizinkan ya sudah gak papa, Mas ikut saja.” Meski dengan perasaan takut, Tarno akhirnya mengiyakan permintaan Ahmad. Ahmad tak enak menolak permintaan Ahmad padanya.
“Baik Kang! Suwun Kang!” Hati Ahmad merasa senang dengan jawaban Tarno. Meski awalnya menolak, kini Tarno akhirnya menyetujui permintaannya.
“Kalau begitu, aku tak balik dulu! Mas Ahmad ndak pulang?” Tarno menyalakan mesin motornya.
“Iya Kang, tar lagi!” Jawab Ahmad pada Tarno. Ahmad masih ingin melihat orang di pinggiran sungai usai mencari kerang. Ahmad merasa dirinya sudah mulai jatuh cinta pada sungai. Ahmad seperti sudah lama mengenal sungai itu. Sungai yang baru dia jumpai saat dirinya tinggal di kampung ini.
***
Sari tengah mencari keberadaan Ahmad. Ahmad tadi hanya berpamitan untuk jalan-jalan sebentar. Namun hingga petang, Ahmad belum juga tiba di rumah. Sari sudah mencari ke rumah orang tuanya, namun tak menjumpai Ahmad. Sari menuju ruang shalat. Peci dan sarung suaminya berada di tempat. Berarti suaminya gak di musala.
Sari pun menuju rumah Tarno. Biasa Ahmad ke sana usai Tarno mencari kerang.
“Kang... Kang..., bojoku nang kene ora?” Tanya Sari dengan bahasa Cilacap.
( Mas... Mas..., suamiku di sini gak? )
“Ora luh. Mau sih nang kali, apa urung bali?”
( Gak. Tadi sih di sungai, apa belum pulang? )
“Apa nang kali? Urung. Nah ya wong wis Magrib ora kemutan bali! Ya wis, suwun Kang!” Sari berjalan cepat meninggalkan rumah Tarno.
( Apa di sungai? Belum. Iya gitu orang sudah Magrib gak ingat pulang! Iya sudah, makasih Mas! )
Mendengar suara Sari yang cukup kencang. Dewi, istri Tarno pun ke luar rumah.
“Ana apa Pak, ramai temen?” Tanya Dewi penasaran.
( Ada apa Pak, ramai banget? )
“Kae de Sari goleti bojone, jere urung bali!” Tarno menjelaskan pada istrinya.
“Itu de Sari cari suaminya. Katanya belum pulang! )
“Oh, loh mau kan nang kali!” Jawab Dewi cepat. Saat Dewi mengantar motor memang Ahmad tengah di pinggiran sungai.
( Oh, lah tadi kan di sungai! )
“Yaitu Bu, terus Bapak bali disit!”
( Yaitu Bu, terus Bapak pulang dulu! )
“Owalah ana-ana bae, moga cepet ketemu! Kana mbok ditiliki Pak, melas de Sari!” Dewi menyuruh Tarno untuk melihat Ahmad.
( Owalah ada-ada saja, moga cepat ketemu! Sana mbok dilihat Pak, kasihan de Sari! )
Tarno masuk ke dalam rumah untuk mengambil baju. Saat ini Tarno memang hanya mengenakan celana pendek serta kaos dalam. Cepat-cepat Tarno menuju rumah Ahmad dan Sari yang berada tak jauh dari rumahnya.
***
Saat Sari tiba di rumah, Ahmad pun tiba di rumah. Mereka berpapasan di jalan gerbang masuk rumah mereka.
“Bapak, dari mana saja? Ibu sampai pusing nyarinya?” Sari sedikit kesal dengan tingkah suaminya yang sudah membuat Sari cemas.
“Dari sungai Bu. Tadi bapak yang rumahnya paling tepi dari rumah kita ngajak ngobrol, Bapak kan ndak enak to Bu.” Ahmad memberi alasan.
“Tapi kan ndak sampai Magrib gini Pak! Yo wis kono mandi Pak, nanti ketinggalan Magrib!” Sari menyuruh suaminya cepat-cepat membersihkan badannya. Selain adan Magrib yang sudah lewat, Sari tak ingin suaminya sampai membawa sesuatu dari sungai. Apalagi Sari tahu tentang larangan pendatang yang tak boleh turun ke sungai. Ditambah suaminya yang berada di sungai hingga melewati Magrib tiba.
“Iya Bu, Bapak mau langsung mandi.” Ahmad cepat-cepat ke kamar mandi sesuai permintaan istrinya.
Tak lama Ahmad mandi suara iqomah pun terdengar dari musala kampungnya. Tanda untuk segera berdiri melaksanakan shalat berjamaah. Ahmad pun tak sempat shalat berjamaah di musala. Ahmad memilih melaksanakan kewajibannya di rumah.
Usai melaksanakan kewajibannya, Ahmad memilih menonton acara TV. Ada rasa yang berbeda pada tubuh Ahmad. Sejak pulang dari sungai tadi, tubuh Ahmad terasa berat. Ahmad pun malas melaksanakan kegiatan apa pun. Termasuk pergi ke musala untuk melaksanakan shalat Isya berjamaah. Ahmad memilih absen dan melaksanakan sendiri di rumah.
“Bapak kok tumben ndak ke musala?” Tanya Sari pada suaminya. Yang membuat Sari aneh, kenapa suaminya terus memegangi tengkuknya.
“Ndak tahu Bu, malam ini Bapak rasanya malas banget mau ke musala. Besok saja, tadi Bapak shalat sendiri di rumah.” Jawab Ahmad terlihat lesu.
“Bapak sakit? Mau Ibu keroki?” Tanya Sari pada Ahmad.
“Ndak usah Bu! Oh ya Bu, besok pagi Bapak mau ikut nyari kerang warga sini! Tadi sore Bapak ke sungai pengin lihat-lihat dulu. Dan Bapak sudah mantap untuk ikut mencari kerang di sungai! Ini kan musim kemarau, jadi cari kerang ndak usah jauh-jauh. Bapak bisa nyari di dekat-dekat sini saja!” Ucap Ahmad pada istrinya.
“Tapi Pak! Bapak sudah pikirkan baik-baik! Bapak mau ikut siapa, kan Bapak ndak punya perahu sama mesin?” Sari masih keberatan dengan keputusan suaminya. Sari tetap berusaha mencari alasan agar suaminya membatalkan niat untuk mencari kerang ataupun apa pun di sungai.
“Sudah Bu, Ibu tenang wae! Kita itu punya Tuhan. Bapak kan sudah bilang, musim kemarau Bapak bisa nyari di dekat-dekat sini saja. Tadi sore Bapak lihat, ada beberapa orang nyari di dekat sungai sini Bapak bisa gabung sama mereka.” Ahmad berusaha memberi pengertian pada istrinya.
“Yo wis, yang penting Bapak hati-hati! Jangan jauh-jauh dari teman-teman yang lain Pak!” Sari berpesan pada suaminya.
“Iya Bu. Yang penting besok pagi Ibu masak agak cepat saja! Ibu siapin bekal buat Bapak!” Ahmad memegang pundak istrinya.
Meski berat hati, Sari akhirnya merelakan suaminya. Ahmad berniat mulai besok pagi dia akan mencari kerang di sungai. Mencari penghidupan dari sungai dekat tempat tinggal mereka. Meski sudah beberapa orang yang melarang Ahmad, Ahmad tetap nekat untuk mencari penghasilan dari sungai. Ahmad seolah tak peduli aturan larangan yang sudah selama ini ditetapkan di kampung istrinya. Kampung yang saat ini sudah menjadi tempat tinggal Ahmad.