Tarno dan kedua rekannya terlihat betah di rumah Ahmad. Obrolan yang serius membuat mereka tak merasakan kalau malam sudah cukup larut. Ketiga rekan Ahmad seakan tak percaya dengan Ahmad yang bisa selamat dari ancaman buaya putih. Setahu mereka, siapa saja yang sudah mengganggu ketenangannya tidak akan luput dari kematian.
Banyak kejadian dengan korban tak selamat. Dari sebagian korban mereka yang nekat melewati larangan seperti Ahmad ini. Tapi kenapa Ahmad bisa selamat? Pertanyaan yang membuat penasaran ketiga rekan Ahmad ini terus terngiang di lubang telinga mereka.
“Oh ya Mas, selain mimpi buruk tentang buaya putih terus Mas Ahmad dikejar buaya langsung, Mas Ahmad pernah mengalami hal-hal lain gak di sungai?” Tanya Tarno ingin tahu.
“Apa ya?” Ahmad berpikir sejenak, mengingat beberapa kejadian yang sudah dia lewati selama dia tinggal di kampung.
“Oh ya, saya sudah dua kali mendengar teriakan, terus tangisan tengah malam dari arah sungai. Pertama kali dengar, saya kira seseorang yang minta tolong. Terus saya ke luar rumah. Tapi aneh, di luar sangat sepi tak ada satu pun orang lewat. Padahal jelas-jelas suara itu cukup kencang.” Ahmad melanjutkan ucapannya.
“Nah yang kedua itu kemarin malam, yang siangnya saya ketemu buaya putih itu. Saya sudah cerita sama istri saya. Istri saya melarang saya untuk kembali ke sungai. Tapi saya ngeyel, dan yaitu sorenya saya hampir jadi mangsa buaya.” Ahmad masih melanjutkan.
“Jadi Mas Ahmad sudah pernah dengar teriakan tengah malam dari arah sungai? Hati-hati Mas, Mas Ahmad jangan sampai mendatangi asal suara itu! Karena suara itu bukan manusia biasa seperti kita-kita ini. Biasanya kalau mendengar suara tangisan atau teriakan minta tolong, sebentar lagi akan ada korban di sungai.” Ucap Mijo menjelaskan pada Ahmad.
“Iya, sudah dua kali malah! Memang sudah ada buktinya, kok bisa menyimpulkan seperti itu?” Tanya Ahmad yang tak ingin menyambungkan pendengarannya dengan hal-hal mistis.
“Bukti, sudah banyak Mas! Kita ini dari lahir sudah di kampung, berbagai kejadian sudah kami lihat. Mas lihat saja, Sebentar lagi pasti ada korban lagi.” Mijo memperjelas ucapannya.
“Ya semoga saja itu hanya suatu kebetulan. Dan setelah saya mendengar suara itu, tidak akan terjadi apa-apa di sungai.” Ahmad menganggap kejadian itu tidaklah pasti. Semua kejadian itu atas kehendak Allah SWT.
“Loh Mas Ahmad ini gak usah ngeyel! Kita itu sudah sering menemui kejadian begini! Kalau menurut aku mala, Mas Ahmad gak usah ke sungai dulu! Bukannya kita gak suka Mas Ahmad gabung, kita hanya mencemaskan keselamatan Mas Ahmad. Biasanya kalau sudah mendengar tangisan, pasti akan ada korban meninggal. Kita cemasnya, karena Mas Ahmad adalah orang baru. Mas Ahmad juga bukan asli kampung sini. Kita takut kalau Mas Ahmad kenapa-kenapa! Dari beberapa kejadian yang sudah Mas Ahmad lewati, sudah bisa menjadi bukti.” Mijo yakin dengan pendapatnya.
“Bukannya saya ngeyel Kang. Saya hanya ingin menghidupi keluarga saya. Dan saya juga hanya percaya pada Tuhan. Saya yakin, segala sesuatu yang terjadi atas kehendak Tuhan.” Ahmad pun tetap pada pendapatnya.
“Sama saja, itu namanya ngeyel Mas! Aku itu peduli sama kamu! Kamu sudah menjadi warga sini, berarti warga kita juga! Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling membantu dan mengingatkan.” Mijo sedikit kesal karena Ahmad tak mau menurut dengan ucapannya. Padahal jelas-jelas ucapan Mijo untuk kebaikan Ahmad.
“Wis Kang, ndak usah berdebat lagi! Kang Mijo dan Ahmad sama-sama benar. Kang Mijo hanya ingin tak terjadi hal buruk dengan Ahmad. Ahmad sendiri hanya ingin menghidupi keluarganya.” Tarno menengahi.
“Iya Kang Mijo, Mas Ahmad. Di kampung kita memang ada larangan bagi pendatang baru. Tapi itu semua terserah orangnya. Kalau masih tetap ingin ke sungai ndak papa. Kita warga asli hanya mengingatkan. Kalau ada apa-apa itu sudah risiko!” Salah satu rekannya menimpali.
“Iya juga sih! Tapi ngomong-ngomong jam berapa ini? Kedua bola mata aku sudah mulai berat.” Mijo sembari mencari jam dinding.
“Iya ndak terasa, kita sudah ngobrol banyak. Wih sudah jam 11 malam. Iya sudah kita pamit ya Mas Ahmad. Mas Ahmad cepat sembuh!” Ucap Tarno sekalian berpamitan.
“Kita pamit ya Mas, banyak istirahat kamu biar cepat sehat!” Ucap Mijo berpamitan.
Ketiga rekannya pun kembali ke rumah masing-masing. Ahmad sendiri masih merasakan tubuhnya belum sehat sepenuhnya. Hawanya masih terasa dingin, tapi suhu tubuhnya masih cukup tinggi. Ahmad harus istirahat untuk beberapa hari.
***
Sudah hampir seminggu Ahmad masih terbaring di tempat tidur. Kesehatannya sudah mulai pulih. Namun tubuhnya masih terlihat lemas. Untuk aktivitas yang berat Ahmad belum sanggup. Ahmad hanya bisa jalan di sekitar rumah, itupun dengan pelan-pelan.
Sebenarnya Ahmad sendiri sudah sangat bosan berdiam terus di rumah. Ahmad sudah ingin kembali ke sungai. Tapi istrinya selalu melarang. Selain kesehatan Ahmad yang belum pulih sempurna, Sari juga mencemaskan keselamatan suaminya, Ahmad.
Dari beberapa kejadian yang sudah Ahmad lewati di sungai, Sari jadi khawatir. Sari takut peraturan larangan itu benar-benar akan dialami suaminya. Dari sakit inilah sudah bisa menjadi bukti. Ahmad sudah mulai menjadi korban larangan di sungai kampungnya.
Sari semakin melarang Ahmad ke sungai.
“Sarapan dulu Pak, nanti minum obat!” Perintah Sari pada suaminya.
“Iya Bu.” Ahmad meraih sarapan yang sudah disiapkan Sari.
“Kayaknya kondisi Bapak sudah mendingan, Bapak pengin ke sungai lagi.” Ahmad melanjutkan ucapannya.
“Apa Pak ke sungai? Ibu gak izinkan! Bapak ini gak kapok apa! Bapak gak takut, kalau buaya itu tiba-tiba menemui Bapak lagi? Pokoknya Ibu gak setuju! Lihat, gara-gara ke sungai Bapak jadi sakit begini!” Sari emosi mendengar Ahmad ingin kembali ke sungai.
“Tapi Bu. Bapak kan gak ke sungai sekarang-sekarang. Nanti kalau Bapak sudah sembuh, Bu?” Ahmad sedikit menjelaskan.
“Pokoknya Ibu gak setuju!” Sari berlalu meninggalkan Ahmad. Sari tak ingin mendengar apa pun alasan Ahmad. Bagi Sari keselamatan suaminya yang utama.
Ahmad bingung, harus bagaimana dia menjelaskan pada Sari. Saat ini, hanya di sungai satu-satunya penghidupan yang bisa dia jalani di kampung. Saat musim kemarau seperti ini, sawah dan kebun dibiarkan begitu saja. Karena di kampung istrinya, sawah dan kebun mengandalkan air hujan.
***
Sudah seminggu lebih, Tarno dan kedua rekannya mencari kerang tanpa Ahmad. Dari kejadian ini, Tarno dan kedua rekannya semakin yakin dengan peraturan larangan di sungai. Khususnya buat pendatang.
Padahal saat ada Ahmad, mereka berempat selalu mencari kerang bersama. Tapi mengapa dari keempat orang, hanya Ahmad yang mengalami kejadian buruk ini. Ahmad sakit hingga mingguan lamanya. Ketiga rekan Ahmad berharap semoga Ahmad tak lagi ikut mereka mencari kerang.
Mereka tak ingin ada hal lebih buruk yang akan dialami Ahmad. Seperti yang sudah banyak terjadi selama ini, yakni kematian. Mereka bersyukur, karena Ahmad hanya mengalami sakit. Meski sakit yang cukup panjang. Tapi bagi mereka, Ahmad beruntung, karena nyawanya masih bisa selamat.
Dari cerita Ahmad juga, mereka dan warga jadi yakin bahwa kejadian-kejadian ganjil yang sering terjadi selama ini bukan hanya isapan jempol semata. Kejadian ganjil itu benar adanya. Dan bisa dijadikan pertanda akan hal yang akan terjadi nantinya.
Tarno dan kedua rekannya sendiri belum pernah menjumpai buaya putih secara langsung. Hanya bisa mendengar cerita dari orang-orang yang katanya sudah pernah menjumpai. Jangankan menjumpai langsung, memimpikan saja belum pernah mereka alami. Tapi Ahmad yang baru dua hari mengais rezeki di sungai, beberapa kejadian sudah dia alami.
Dari sini warga pun yakin, kalau pendatang seperti Ahmad memang dilarang ke sungai. Karena hal buruk pasti akan dialaminya.
“Kang, melihat kejadian Ahmad saya jadi yakin kalau pendatang memang dilarang ke sungai!” Ucap rekan Tarno pada Tarno dan Mijo.
“Ya memang benar, Ahmad saja yang suka ngeyel kalau kita bilangi! Padahal ini semua kan demi kebaikan dia!” Mijo sedikit sewot.
“Padahal dia baru dua hari ya? Beberapa hal buruk sudah dia lewati. Kita yang sudah berpuluh-puluh tahun bergelut dengan sungai belum sekalipun ketemu sama yang namanya buaya putih.” Ucap rekannya pada Mijo dan Tarno.
“Kalau bisa sih jangan sampai kita bertemu! Ngeri, bayangi saja sudah takut! Apalagi kalau sampai bertemu beneran! Serem!!” Ucap Tarno menimpali.
“Tapi Ahmad masih beruntung loh, bukan nyawanya yang melayang!” Mijo asal berucap.
“Hush... jangan ngomong gitu! Gak boleh, ini kan di sungai harus jaga lisan!” Tarno melarang Mijo berucap sembarangan.
“Ngomong-ngomong gimana kabar Ahmad? Aku belum pernah nengok lagi.” Mijo kembali bertanya.
“Kurang tahu, sudah seminggu lebih loh!” Jawab rekan yang lain.
“Mudah-mudahan Ahmad sudah sehat seperti sedia kala. Terus terang, kalau aku sih penginya Ahmad ndak usah ke sungai lagi! Mending dia cari kerja lain, demi keselamatannya!” Meski keras di antara kedua rekannya, Mijo perhatian.
“Iya, semoga saja. Ya kalau boleh terus terang, aku juga maunya begitu! Tapi itu kan terserah Ahmad. Dia yang akan menjalani. Kita ini cuma teman sekaligus tetangga yang hanya bisa menasihati. Keputusan tetap ada pada Ahmad. Kalau dia pikirkan keselamatan, pasti dia akan memilih tak ke sungai lagi! Tapi ya kita gak tahu! Kita lihat saja besok kalau Ahmad sudah sembuh. Apa keputusannya?” Tarno menimpali.
“Kamu benar Kang. Yah semoga keputusan Ahmad adalah keputusan yang terbaik buat dirinya!” Rekan satunya menimpali.
“Tapi kalau boleh jujur, aku itu belum percaya sama Ahmad yang bisa selamat dari buaya putih itu! Apa Ahmad itu punya kelebihan lain dibanding kita-kita?” Tiba-tiba Mijo kembali membahas perihal yang dialami Ahmad.
Kalau dilihat dari kemampuan berenang buaya dengan manusia memang sangatlah jauh. Tidak mungkin manusia bisa mengalahkan kemampuan buaya di atas air yang memang sudah menjadi habitatnya.
“Kita ndak tahu Kang, ya mungkin hanya kebetulan dia selamat.” Jawab salah satu rekannya lagi.
“Wis ndak usah bahas masalah itu lagi! Sekarang kita cari kerang lagi! Ingat anak istri kita sudah menunggu di rumah!” Tarno menimpali.
Ketiganya pun kembali turun ke sungai untuk mencari kerang. Meski salah satu rekan mereka, Ahmad sudah mengalami kejadian buruk. Ketiganya tak punya rasa takut. Semua itu mereka lakukan demi memenuhi kewajiban mereka kepada anak dan istri. Halangan apa pun akan mereka hadapi demi sebongkah rezeki.
Yang pasti mereka bisa pulang dengan membawa hasil demi mengepulnya asap dapur istri. Pantang bagi mereka untuk pulang dengan tangan kosong. Demi anak istri mereka taruhkan nyawa di tengah dalamnya sungai yang menjadi sumber penghasilan mereka. Sungai yang konon banyak mengandung mistis. Mereka sudah banyak melihat bukti. Dan kali ini, teman mereka sendiri yang sudah mengalami, yakni Ahmad.