Ahmad memang masih merasakan lelah. Lelah setelah seharian mencari rezeki di sungai. Apalagi pekerjaan ini baru Ahmad jalani. Rasa lelah dan kaget bercampur jadi satu. Namun Ahmad tak pernah mengeluh. Ahmad juga tak pernah merasakan lelah agar bisa menjadi berkah.
Saat azan Magrib berkumandang, Ahmad cepat-cepat ke musala untuk melaksanakan shalat Maghrib berjamaah. Usai shalat Maghrib, Ahmad mengajar iqra beberapa anak yang ikut shalat berjamaah petang itu. Meski hanya beberapa anak, Ahmad bersyukur setidaknya masih ada yang mau belajar mengaji. Ini semakin menjadi tantangan Ahmad untuk terus melanjutkan niatnya berbagi ilmu agama yang sudah dia dapatkan di pondok pesantren dulu.
Bagi Ahmad ilmu yang terus diasah justru akan semakin melimpah. Dan Ahmad ingin ilmu agama yang sudah dia pelajari selama ini bisa bermanfaat bagi orang banyak. Tidak mudah bagi Ahmad untuk bisa masuk ke dalam hati warga. Hati warga yang sudah terlanjur percaya dengan kepercayaan yang ada dalam lingkungannya. Hati warga yang sudah terlanjur mengikuti kebiasaan dari lahir di tempat tinggalnya.
Namun semangat Ahmad terus berkobar. Meski halangan sering saja menghadang, Ahmad tak pernah gentar berjuang. Berjuang demi jalan kebenaran serta diridhai Tuhan.
“Mas Ahmad apa ndak capek, seharian cari kerang, sorenya masih ngajar ngaji?” Tanya salah satu ibu jamaah.
“Piye yo Bu, capek-capek seneng.” Ahmad tersenyum.
“Untung ada Mas Ahmad yang mau mengajari anak-anak ngaji di sini. Kalau ndak, kasihan anak-anak. Bagaimana nanti kalau mereka sudah dewasa tanpa bekal agama dari kecil.” Ucap Jamaah lainnya.
“Itu tandanya Tuhan masih sayang dengan warga kampung sini. Saya hanya menjalankan apa yang seharusnya saya lakukan.” Jawab Ahmad kembali tersenyum.
“Tapi kan tetap saja Mas Ahmad yang sudah bawa pengaruh baik pada anak-anak sini. Sebagian anak sini sudah mau ngaji. Ya alon-alon Mas, sabar!” Ucap salah satu jamaah lain.
“Nggih Bu. Saya akan berusaha sebisa mungkin agar anak-anak di kampung sini mengerti pendidikan ilmu agama.”
( Nggih : iya )
Acara ngaji anak-anak pun sudah usai. Waktu shalat Isya pun telah tiba. Ahmad meminta salah satu anak untuk mengumandangkan azan. Ahmad ingin anak laki-laki di kampungnya bisa mengumandangkan azan. Untuk melatih keberanian anak, khususnya laki-laki Ahmad pun membuat jadwal azan. Dengan jadwal azan, anak laki-laki akan mengerti tanggung jawab masing-masing. Anak-anak yang tidak bisa ataupun tidak berani azan pun jadi punya keberanian.
***
Pekerjaan yang cukup berat membuat Ahmad jadi memperbanyak porsi makannya. Sebenarnya Ahmad tak berniat untuk menambah porsinya, namun karena tenaganya yang butuh banyak asupan membuat pola nafsu makannya bertambah. Malam itu, Ahmad pun masih menyantap makan malam.
Ahmad terlihat begitu lahap menikmati setiap masakan yang Sari sajikan. Sari sendiri sangat senang dengan perubahan pola makan yang dialami suaminya. Masakan Sari selalu saja habis setiap harinya.
“Bapak ini sekarang makannya banyak ya? Ibu seneng, nek kayak gini tiap hari.” Ucap Sari pada Ahmad usai menyantap makan malam.
“Iyo eh Bu, bawaannya lapar terus. Nyapo ya Bu?” Ahmad mengiyakan sembari balik bertanya lagi.
“Mungkin sekarang kerjanya kan beda Pak. Tenaganya lebih banyak terkuras. Gak kaya di kota, kerjanya santai, tempatnya juga dingin. Di sini Bapak harus berhadapan dengan terik matahari langsung. Habis kepanasan, Bapak harus melawan dinginnya air sungai saat menyelami kerang.” Sari menjelaskan.
Saat di Surabaya, Ahmad memang bekerja di sebuah PT perdagangan barang dan jasa. Kerjanya di dalam dengan ruangan berpendingin. Tentu sangat jauh terbalik dengan pekerjaan Ahmad saat ini. Kulit tubuh Ahmad juga mulai mengalami banyak perubahan. Kulit yang tadinya bersih kini mulai terbakar.
“Bener kata Ibu. Di sini kerjanya butuh tenaga ekstra. Otomatis porsi makannya juga ekstra.” Ahmad tersenyum renyah.
“Iya kalau Bapak merasa gak sanggup, ndak usah dilanjutkan Pak. Ibu ndak papa, untuk sementara Bapak nganggur dulu di rumah.” Sari justru menginginkan Ahmad berhenti dari mencari penghidupan di sungai. Karena dari awal Sari memang tidak setuju suaminya menggantungkan hidup di sungai.
“Ndak Bu, Bapak senang kok kerja seperti ini. Bapak jadi dekat sama warga sini. Kenal sama orang-orang sini.” Ahmad tak setuju dengan ucapan istrinya.
“Ya itu sih terserah Bapak. Ibu mung bisa manut. Tapi tadi di sungai Bapak ndak ngalami apa-apa kan? Maksud Ibu, Bapak ndak merasakan apa-apa yang aneh saat di sungai?” Sari masih saja cemas dengan suaminya yang ingin tetap mencari rezeki di sungai.
“Ibu ini ndak usah punya pikiran macem-macem! Hal-hal aneh apa, ndak ada apa-apa Bu!” Ahmad menenangkan istrinya. Karena hari pertama Ahmad mencari kerang memang tak terjadi apa-apa.
“Yo wis Bu sudah malam. Bapak mau tidur dulu ngantuk! Besok Bapak mau kerja ke sungai lagi!” Ahmad bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan Sari sendiri di ruang TV.
“Iya Pak. Ibu mau beres-beres dulu biar besok pagi ndak buru-buru!”
Sari menyiapkan sayuran yang akan diolah besok pagi. Besok pagi Sari tinggal masak saja, karena sayuran sudah dibersihkan. Sari cepat-cepat ke kamar menyusul suami dan putrinya. Sari memang sedikit penakut. Sari masih terbawa kebiasaannya di kampung yang segala sesuatunya dihubungkan dengan mistis. Alhasil saat Sari sendiri seperti ini, pikirannya justru jadi tak tenang.
***
Malam ini sinar rembulan cukup terang. Maklum saja sebentar lagi bulan purnama akan segera tiba. Meski sinar rembulan cukup terang, suasana kampung saat malam hari tetap saja sepi. Seperti malam ini. Malam yang hanya dipenuhi suara-suara binatang kecil di malam hari.
Keluarga Ahmad sudah terlelap semua. Hawa dingin serta hembusan angin malam itu cukup terasa kuat. Sari dan Ifah bisa tetap tertidur lelap. Berbeda dengan Ahmad yang terus gelisah. Rasa lelah di tubuh Ahmad tak membuatnya tidur lelap. Entah ada apa dengan malam yang indah ini. Malam yang disinari sinar rembulan begitu terang.
Untuk kedua kalinya, Ahmad kembali mendengar suara di tengah malam. Suara yang sama saat Ahmad pertama kali tinggal di kampung ini.
“Tolooong.... tolong!” Suara rintihan yang membuat siapa saja yang mendengar merasa merinding.
Ahmad berusaha tenang. Seolah dirinya tak mendengar apa pun di lubang telinganya. Namun, suara itu kembali terdengar. Bahkan tidak hanya suara saja, kali ini terdengar suara tangisan juga.
Bulu kuduk Ahmad mulai merinding. Namun, Ahmad justru penasaran. Ahmad pun beranjak dari tempat tidurnya. Ahmad berusaha mencari arah sumber tangisan itu berada. Ahmad ke luar rumah. Ahmad berusaha memasang lubang telinganya benar-benar agar bisa mendengar jelas asal tangisan tersebut.
“Hiks... hiks... tolooong!” Tangisan itu kembali terdengar.
Ahmad semakin yakin, kalau asal suara itu berasal dari sungai. Melihat keadaan luar yang sepi, tak mungkin kalau itu tetangganya yang menangis. Kalau asal tangisan itu dari tetangga, pasti orang-orang sudah berdatangan. Ini sama sekali tak ada satu pun orang ke luar rumah.
Ahmad kembali ke dalam rumah untuk mengambil alat penerang atau senter. Ahmad ingin memastikan sebenarnya ada apa di balik tangisan orang di tengah malam itu. Ahmad menyinari jam dinding yang tergantung di tembok ruang tamu. Jam menunjukkan pukul 12 lewat 10 menit dini hari. Jam di mana orang bilang banyak makhluk lain yang berkeliaran. Namun, Ahmad tak berhenti, dirinya masih saja ingin ke sungai karena penasaran.
Ahmad memantapkan niatnya untuk ke sungai tengah malam. Ahmad kembali membuka pintu rumah. Ahmad pun ke luar lalu mengunci pintu dari luar.
“Klek” Suara pintu dikunci Ahmad.
Sebelum Ahmad pergi, Sari ternyata terbangun lebih dulu. Sari terbangun karena mendengar suara pintu dibuka seseorang. Niatnya Sari ingin membangunkan suaminya. Namun, suaminya justru sudah tak ada di tempat tidur. Sari pun bangun mencari keberadaan suaminya.
Sari melihat keberadaan suaminya dari nyala senter yang ada di tangan Ahmad. Senter yang akan Ahmad gunakan sebagai penerang di jalan untuk menuju sungai. Melihat suaminya berniat pergi di jam tengah malam seperti ini, cepat-cepat Sari mengejarnya. Karena Sari tahu, Ahmad bukanlah penakut. Yang dia takuti hanyalah Allah semata. Dan Ahmad adalah orang yang selalu penasaran dengan sesuatu yang hanya terdengar dari katanya. Ahmad tak akan percaya sebelum dia melihat dengan mata kepalanya sendiri.
“Pak... Bapak mau ke mana?” Teriak Sari memanggil suaminya dari depan pintu.
“Ibu!” Ahmad terlonjak kaget mendengar teriakan Sari. Bagaimana Sari bisa tahu kalau dirinya saat ini berada di luar.
“Ehm, ndak Bu. Bapak... Bapak pengin ke sungai.” Jawab Ahmad sedikit gugup. Ahmad tahu istrinya pasti akan melarang.
“Apa Pak... ke sungai? Bapak ini mimpi apa sih? Ini jam berapa Pak? Ini tengah malam, untuk apa Bapak ke sungai?” Sari pun tak kalah kaget mendengar jawaban suaminya.
“Memangnya kenapa Bu nek Bapak malam-malam begini ke sungai? Bapak hanya ingin melihat saja!” Ahmad tetap ingin ke sungai.
“Gak boleh Pak! Bapak masuk sekarang!” Sari berjalan cepat mendekati Ahmad. Dengan kedua tangannya, Sari menarik tangan kiri Ahmad kembali ke rumah.
“Tapi Bu.” Ahmad berusaha menolak.
“Masuk Pak! Ndak usah aneh-aneh!” Sari terus mengajak Ahmad masuk ke rumah.
Ahmad pun mengikuti Sari. Ahmad masuk ke dalam rumah. Rasa penasarannya semakin memuncak. Kejelasan yang ingin dia pastikan harus gagal karena kedatangan Sari.
“Bapak duduk sini! Ibu ingin bicara sebentar!” Ucap Sari pada Ahmad. Sari mengajak Ahmad duduk di ruang tamu.
“Pak... Bapak sebenarnya mau ngapain malam-malam mau ke sungai?” Tanya Sari lagi pada suaminya.
“Tadi Bapak dengar orang teriak minta tolong lalu menangis. Bapak penasaran, sepertinya arah datangnya dari sungai. Bapak mau lihat saja Bu” Ahmad menjelaskan.
“Apa Pak? Teriakan, tangisan!” Sari terlonjak kaget.
“Bapak ndak usah dengarin Pak, apalagi Bapak sampai mendekati! Pokoknya apa pun yang Bapak dengar dari sungai biarkan saja! Ibu gak mau sesuatu terjadi.” Sari melanjutkan ucapannya.
“Memangnya ada apa Bu? Bapak dengar suara ini gak cuma sekali saja Bu, Bapak kan ingin tahu. Terus anehnya lagi kenapa di tengah malam ada orang menangis juga?” Ahmad ingin mendengar penjelasan istrinya.
“Iya Pak, memang sebagian warga sini sudah sering mendengar teriakan itu. Tapi kalau tangisan itu terdengar di tengah malam, biasanya akan ada sesuatu yang buruk akan terjadi di sungai. Misalnya akan ada korban di sungai.” Sari menjelaskan.
“Oh jadi sudah sering Bu, warga mendengar suara itu? Ibu yang benar saja, masa suara tangisan bisa dijadikan tanda hal buruk. Sesuatu yang buruk itu kejadiannya tidak diketahui! Dan hanya Tuhan yang Maha Mengetahui. Bukan dari tanda tangisan! Ibu ini ada-ada saja.” Ahmad tak percaya dengan penjelasan istrinya.
“Ya ndak sering juga Pak. Dan gak semua orang juga bisa mendengarnya! Bapak ini sudah tanya, giliran dijawab ndak percaya! Sudah Pak, kita tidur saja sudah malam! Mending besok Bapak gak usah ke sungai lagi!”
Sari sedikit kesal karena suaminya tetap ngeyel pada pendiriannya. Sari memang percaya segala sesuatu yang terjadi atas kehendak Tuhan. Tapi dari semua kejadian yang sudah berulang kali, membuat Sari yakin dengan pendapat itu.
“Kok gak ke sungai lagi sih Bu! Bapak mau tetap ke sungai! Maafkan Bapak, Bu?” Ahmad tahu kalau Sari kesal dengan ucapannya.
“Bapak ini, mbok sekali-kali nurut sama Ibu kenapa! Jangan Ibu terus yang nuruti Bapak!” Sari masih menampakkan kekesalannya.
“Maafkan Bapak, Bu? Tapi kali ini gak bisa, Bapak mau tetap ke sungai.” Ahmad mengejar Sari yang pergi duluan ke kamar.
Sari kembali ke ranjang tempat tidur. Sari sudah malas mendengar kenekatan suaminya. Mungkin dengan kekesalan seperti ini, Ahmad akan berhenti untuk ke sungai.
Melihat Sari kesal, Ahmad memilih diam. Jika Ahmad terus memaksa, Sari akan semakin naik darah. Ahmad pun memilih kembali ke ranjang tempat tidur. Ahmad berharap kekesalan Sari hanya malam ini. Besok pagi Sari sudah kembali mengizinkan Ahmad pergi ke sungai.