BAB. 12

1578 Kata
    Fitri duduk dengan gelisah. Soto daging yang ia pesan belum juga disentuh untuk dicicipi apalagi dimakan. Padahal aromanya menggugah sekali selera. Potongan jeruk di dekatnya juga makin menambah rasa ingin cepat menghabiskan mangkuk soto yang terdiri dari kuah santan, potongan daun bawang, kentang, juga irisan daging tipis. Tak lupa juga ada emping sebagai pelengkapnya.     Untuk rasa, Soto Mang Kumis paling laris di sekitar rumah Fitri. Langganannya banyak. Antrinya juga cukup panjang baik yang makan di tempat atau dibungkus untuk disantap di rumah. Tak terkecuali Andra juga Fitri yang mengambil duduk di sudut paling dalam. Tak terlalu banyak gangguan yang mereka terima.     “Makan, Fit. Sayang, lho, nanti nasinya nangis.”     Fitri mau tertawa tapi tak bisa. Di depannya ini pria yang rasanya bertingkah makin aneh seolah bersikap tak terjadi apa-apa padahal Fitri sepanjang jalan sudah cerewet banget bertanya, ada apa, keperluannya apa, kenapa ke sini?     Tapi jawabannya … hanya tersenyum sambil menggeleng pelan.     “Kenapa perempuan itu selalu enggak sabaran?” katanya.     Menyebalkan sekali pikir Fitri mengenai Dokter Andra ini.     “Kalau kamu enggak mau makan, saya tahan kamu selama mungkin, lho, Fit,” katanya lagi. mangkuk sotonya sudah habis tersisa kuah di mana ia ambil kerupuk yang tersaji di depannya. Lalu memakan kerupuk itu dengan santainya. “Fit, makan.”     Kali ini suaranya tak main-main. Ada perintah yang demikian tegas terdengar oleh Fitri ditambah sorot mata Andra tak sesantai sebelumnya. Walau mulutnya bergerak mengunyah kerupuk yang ia celup-celupkan pada sisa kuah sotonya itu, perhatian Andra seratus persen pada Fitri yang kini menarik pelan mangkuknya.     Memberi beberapa tambahan seperti kecap juga sambal dan tak lupa perasan jeruk. Pelan, ia mencicipi kuahnya untuk koreksi rasa. Sekiranya sudah enak, barulah ia makan pelan-pelan. Soto Mang Kumis memang tak pernah bohong memanjakan lidah pelanggannya. Pantas lah kalau selalu ramai pengunjung.     “Fitri sudah makannya. Sekarang tinggal Dokter kasih tau kenapa malam-malam ke sini.”     Andra yang tengah memainkan ponselnya, melirik sekilas pada mangkuk soto yang tadi masih penuh. Tersisa sedikit lagi tapi tak mengapa, gadis itu yang terpenting sudah makan. “Kalau di luar rumah sakit saya minta kamu panggil saya dengan sebutan?”     “Bapak,” ulang Fitri.     Langsung mendapat anggukan senang dari Andra. “Kalau nurut, kan, tambah cantik di lihat.”     Fitri bersungut kesal.     “Saya enggak ada maksud apa-apa, Fit. Tapi izin kamu tadi itu bikin saya curiga. Apa yang terjadi, hem?”     Cepat Fitri menggeleng. “Enggak ada apa-apa, Pak.”     Andra tak percaya begitu saja. saat Fitri keluar ruangannya, meninggalkan ia juga sang istri yang bicara mengenai kemajuan rumah sakit juga beberapa laporan lainnya, Andra masih sempat mendengar suara Fitri yang gemetar ketakutan itu. Pikirannya langsung tidak fokus dan gampang sekali teralih padahal diskusi yang lagi dilakukan bersama Naima ini penting.     Entah kenapa senyum Fitri tadi ditambah satu tentengan yang diberikan gadis itu malah terbayang di kepalanya. Tapi berganti bukan Fitri yang tersenyum manis sampai lesung pipinya terlihat, melainkan bayang wajah Fitri yang menangis ketakutan.     Selesai bicara dengan Naima, istrinya itu pamit pulang. Tak mencurigai apa-apa malah sebagian bolu buatan Fitri dibawa olehnya. Meninggalkan Andra yang bersiap untuk mengurus sesuatu. Bilangnya pada Naima, ia harus mengunjungi satu seminar dulu barulah akan pulang. Naima tau dan percaya, kalau suaminya ini memang orang yang cukup sibuk.     Tak ada kecurigaan sama sekali. Istrinya itu hanya bilang, “Papa hati-hati nyetirnya, ya. Kalau perlu pakai supir, Pa.”     Andra menolak. Katanya, “Kalau pakai supir, belum tentu dia mau nyanyi-nyanyi kayak Papa.”     Memastikan istrinya sudah tak ada lagi di lingkungan rumah sakit, Andra bergegas menemui Parmi. Dengan sedikit mendesak ia bertanya di mana keberadaan Fitri dan apa yang terjadi.     Parmi saat dimintai tolong untuk memberi kabar pada bagian administrasi dan menggantikan dirinya untuk berjaga setelah jam kerja di ruang Dokter Andra selesai, tau detail permasalahan apa yang menimpa rekan kerja yang dianggapnya seperti adik itu. Tapi ia tak menyangka kalau DOkter Andra sendiri yang turun langsung untuk bertanya mengenai Fitri.     Lalu bergulir lah cerita kalau adiknya ini dalam keadaan genting. Ada orang menagih hutang ke rumahnya. Adiknya entah dijadikan jaminan atau apa, Parmi kurang jelas di bagian ini karena Fitri tadi menjelaskan cukup buru-buru. Tapi yang terpenting, ada beberapa preman ke rumahnya menagih utang dan membuat keributan di sana.     “Saya minta alamat Fitri kalau begitu, Parmi.”     Parmi jadi kebalakan juga kebingungan. Untuk apa Dokter Andra meminta hal itu padanya.     “Waktu saya enggak banyak, Parmi.”     “Eh, iya, Dok. Maaf, Dok. Sebentar saya kasih tau.” Parmi lalu menuliskan alamat yang ia dapatkan dari bagian administrasi kepegawaian di sini. Juga menuliskan patokan terdekat dari alamat rumah Fitri.     “Terima kasih.” Andra segera memasukkan alamat yang baru saja ditulis Parmi ke kantung kemejanya. “Saya duluan, Parmi.” Lalu ia melenggang pergi. Tujuannya rumah Fitri dan berharap ia tak terjebak macet karena jam sekarang jam orang-orang pulang kerja. Biasanya penumpukan alur kendaraan cukup banyak dan sebagian besar membuat kemacetan di beberapa titik.     Tinggal di kota besar resikonya memang seperti itu. Macet, polusi, panas teriknya keterlaluan, juga ragam penyakit yang bertebaran.     Apa yang Andra takutkan terjadi. Ia terjebak macet tapi enggan rasanya berbalik arah. Ia harus tau dan memastikan apa yang Parmi sampaikan itu benar atau tidak. Masalah uang kuliah Lia sudah ia bereskan. Lalu apa lagi? Apa Fitri memiliki banyak hutang di luar sana?     Seingat Andra biaya pengobatan ibunya juga masih dalam tahap cicilan oleh Fitri. Jadi uang itu untuk apa? Ditagih preman? Ya ampun, entah kenapa Andra jadi sedikit ngeri.     Tapi yang ditanya, malah menjawab tidak ada apa-apa? Habis sudah sabar yang Andra punya. “Biasanya, kalau perempuan itu bilang enggak ada apa-apa justru la—“     Ucapan Andra terjeda oleh dering ponsel milik Fitri. Saat gadis itu melirik ponselnya, raut wajah tenangnya hilang. Berganti dengan kepanikan. “Ya, Lia?”     Andra tak terlalu mendengar apa ucapan lawan bicara yang rupanya adik dari Fitri. Tapi melihat perubahan wajah pada Fitri, Andra bisa duga kalau terjadi sesuatu.     Lagi.     “Kakak ke sana sekarang.” Fitri langsung bangun, cepat melangkah seolah lupa kalau ada Andra. Sorot matanya panik sekali. Andra membuntuti saja. Jarak kedai soto dengan rumah Lia cukup jauh tapi bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tak ingin mengambil resiko karena Andra tak tau situasi apa yang lagi terjadi, ia pilih meninggalkan mobilnya sembari membuntuti Fitri.     Jalan gadis itu setelah berlari. Untung Andra terbiasa bersepeda juga lari pagi jadi bisa mengimbangi gerak Fitri yang cepat ini. Kalau tidak, mungkin dirinya sudah ngos-ngosan karena paru-parunya dimakan usia.     Fitri sudah tak memikirkan sekitarnya. Ia hanya kepikiran dengan adiknya yang bilang kalau preman itu datang lagi. padahal besok ia baru akan mencari ayahnya. Meminta Lia untuk menginap entah di mana yang terpenting mereka berdua aman dulu. Tapi ternyata, desakan mereka ini sepertinya tak lagi main-main.     Fitri kalut. Sepanjang langkahnya juga ia menangis. Tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nantinya. Kalau mereka semua memaksa bagaimana? Sementara tadinya, Fitri mau menyerahkan sertifikat rumah saja sebagai jaminan. Kalau pun harus dikosongkan, Fitri tak masalah asal diberi waktu untuk merapikan rumah ini dulu. Membawa barang-barang yang sekiranya berharga.     Sebagai tembusan agar preman itu tak lagi ke rumahnya. Juga melunasi hutang yang tak tau juntrungannya dari mana.     Tapi sayangnya, sertifikat itu juga lenyap.     Ayahnya sungguh amat sangat keterlaluan!!!     Begitu Fitri tiba di pekarangan rumahnya, lagi-lagi ia temui dalam keadaan ramai. Ada Pak Yono juga Bu Arum yang terlihat memeluk Lia yang sudah menangis sementara empat preman yang pernah Fitri temui itu, terus mendesak mereka.     “Bayarnya pakai apa kalau begitu? Utangnya banyak, lho. Dan ini,” Si Botak langsung melempar satu surat yang sudah tak rapi lipatannya itu pada Pak Yono. Fitri yang melihat itu langsung mengambilnya. “Nah, ada anaknya yang paling besar. Tanggung jawab kamu! Ini uang bukan daun atau gratisan! Enak banget Amir pakai uang Bos tapi enggak mau ganti. Orangnya juga di mana pula! Sialan!” makinya.     Fitri tak peduli. Air matanya ia hapus langsung dan fokus membaca satu demi satu tulisan yang ada di sana. Lalu ia merasakan Lia yang gemetaran karena takut juga Pak Yono yang bergerak mendekatinya.     “Apa itu, Nak?”     Fitri mendongak. Ia sudah selesai membacanya. Hatinya miris sekali. Di situ tertera kalau Amir selaku si penerima piutang tak bisa membayar lunas semua cicilan berikut bunganya, maka anaknya, Lia dijadikan jaminan sebagai pekerja tanpa dibayar di kafe yang dijalankan si Bos.     Tak dijelaskan secara terperinci pekerjaan apa yang dimaksud tapi tertera bayarannya untuk melunasi hutang kalau-kalau Lia yang dijadikan jaminan. Sebulan bayaran yang akan Lia terima sekitar dua juta rupiah.     Mata Pak Yono membulat kaget. Tak percaya kalau Amir seenaknya berbuat seperti ini. Ditanda tangani secara sah dari kedua belah pihak. Sinting! Makinya dalam hati. Tidak ada ayah yang setega ini terhadap anaknya terkecuali Amir. Yono rasa begitu.     “Jadi jelas, kan? amir enggak sanggup bayar. Lia jadi jaminannya. Kerja di kafe. Sampai lunas semua hutangnya.”     “Ini p********n!” pekik Fitri tak terima.     “Mau p********n atau enggak, bukan urusan gue! lo tanya sama ayah lo yang jaminkan si Lia. sudah ah, jangan banyak omong. Gue capek di sini. Ayo.” Si kepala plontos tadi makin menggertak. Tangannya segera saja menarik Lia tapi cepat, Fitri menahannya. Adegan tarik menarik pun terjadi yang membuat tiga preman tadi mendekati Fitri.     “Lo jangan main-main, Perempuan. Kalau lo enggak mau adik lo ini dibawa, lo sediakan uangnya.”     “Ta-tapi?”     “Ada apa ini?” tanya seseorang yang membuat Fitri menoleh cepat. Bukan hanya Fitri, tapi semua orang yang ada di halaman rumah gadis berlesung pipi ini.     “Bapak?” lirih Fitri sepelan mungkin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN