BAB. 13

1310 Kata
    “Jadi ini masalah kamu?” tanya Andra sembari menyesap teh hangat buatan Fitri. Semua orang yang tadi berkerumun di rumah gadis yang wajahnya masih sembab karena tangis tadi bubar semuanya. Menyisakan Pak Yono juga Bu Arum yang lagi temani Lia di kamarnya.     Gadis itu menangis ketakutan terus tapi sudah berhasil ditenangkan Bu Arum. Fitri rasa Lia sudah tertidur karena hari ini memang berat sekali mereka lewati. Entah Fitri harus merasa bersyukur atau makin tak enak hati karena tindakan Andra tadi.     Hal ini membuatnya kembali melamun padahal saat ia buatkan teh manis hangat untuk Andra juga kopi hitam untuk Pak Yono, dirinya hampir tersiram air panas karena lamunannya.     “Fit?” tanya Andra sembari tersenyum kecil. “Anak gadis enggak boleh banyak melamun, lho. Iya, kan, Pak?”     Yono yang ditanya hanya tertawa. “Benar itu, Pak.” Lalu berdeham pelan. “Tapi saya ucapkan banyak terima kasih atas bantuan Bapak. Saya enggak tau gimana nasibnya Lia karena yah surat itu benar-benar kelihatannya asli.”     Bibir Andra masih tersenyum. “Besok kita coba urus ke polisi, ya, Pak. Sudah merupakan tindak pemerasan juga.”     “Baik, Pak. Tapi maaf, saya boleh tau, Bapak kolega Fitri dari mana, ya?”     Kali ini Andra tak lagi tersenyum tapi tertawa. Lepas sekali. Seolah beban yang tadi ada di bahunya terlepas begitu saja. Padahal dirinya habis mengeluarkan uang 5 juta rupiah sebagai jaminan dan seminggu lagi akan diselesaikan secara kekeluargaan. Ia tak tau bagaimana caranya. Mungkin meminta bantuan kenalannya yang polisi?     Uang 5 juta tadi ia anggap sebagai pengulur waktu karena empat preman ini memaksa     Layak dicoba. Lagi pula sepertinya preman itu akan terus mendesak Fitri juga Lia karena memang berkaitan dengan uang.     “Saya ini rekan kerjanya Fitri di rumah sakit.”     “Eh? Beliau ini dokter, Pak Yono. Dokter Andra namanya.” Fitri yang tersadar dari lamunannya, segera membaca situasi dan mendengar dengan baik. “Beliau bisa dibilang atasan Fitri di kantor, Pak.”     Yono manggut-manggut paham.     “Sekali lagi Fitri ucapkan terima kasih, Pak.”     Andra mengangguk pelan. “Besok rencana kamu mau cari ayah kamu itu?”     Fitri menganguk. “Iya, Pak. Ini enggak bisa dibiarkan, kan. Besok aku minta Lia ke rumah temannya dulu biar aman. Sampai aku bertemu Ayah.”     Baik Pak Yono juga Andra mengangguk setuju. Mereka juga sepakat kalau ini memang harus segera diselesaikan oleh Amir. Jangan justru menjadikan Fitri juga Lia sebagai tumbal kesalahannya. Sementara Andra tau bagaimana Fitri dalam kesehariannya.     Gadis itu terlihat sederhana. Makan di kantin pun bisa dihitung jari lebih sering membawa bekal untuk makan. Sarapan pun sama seperti itu. menu-menu yang dibawa juga sederhana. Tampilannya tak ada yang mentereng. Mendadak Andra ingat saat punggung gadis yang duduk dalam keadaaan rileks ini terluka.     Terbuat dari apa ayahnya itu? Api? Tak memiliki hati sama sekali sepertinya.     “Kalau gitu kamu saya berikan cuti tiga hari, ya, Fit. Tapi ingat, setiap kali saya telepon kamu, kamu harus angkat.”     Fitri melongo.     “Kamu itu enggak dalam keadaan tenang. Emosi mencari ayahmu yang enggak jelas rimbanya. Dalam keadaan seperti ini juga. Kalau kamu enggak hati-hati, juga say enggak tau keberadaan kamu, kalau kamu kenapa-napa gimana?”     Benar juga. Akhirnya Fitri mengangguk lemah. “Baik, Pak.”     “Ya sudah, saya pulang dulu. Kamu istirahat yang cukup.”     Lagi-lagi Fitri mengangguk. Pamit pada Pak Yono untuk mengantar Andra hingga dekat masjid di mana tadi pria itu menjemputnya. Padahal Andra meninggalkan mobilnya di dekat kedai soto.     “Bapak tadi kenapa enggak bawa mobilnya, sih?” keluh Fitri begitu tau mobil Andra adanya di sana.     “Lho, kamu lupa kalau tadi makan dengan saya? Kamu pergi meninggalkan saya gitu aja, ho. Bayar juga belum,” gurau Andra dengan bibir terkulum kecil.     “Eh? Iya benar. Fitri belum bayar ya Allah. Fitri bayar dulu, deh.”     “Nah. Makanan yang sudah di perut harus dibayar. Jangan lupa.”     “Iya, Pak.” Fitri merogoh pelan kantung daster yang ia kenakan. Berucap syukur karena ada lembaran uang di sana. Setidaknya ia tak perlu kembali ke rumahnya mengambil uang.     Mereka berjalan sedikit beriringan. Fitri memilih menjaga jaraknya satu dua langkah di belakang Andra. Mengenakan pakaian batik lengan panjang yang masih terlihat licin dan rapi, Fitri kadang-kadang menikmati punggung pria itu. banyak sekali ucapan terima kasih ia ucap atas kedatangan Andra mala mini.     “Saya benar-benar berterima kasih, Pak,” ucap Fitri demikian pelan. ia tak menyadari kalau ucapannya itu didengar Andra yang mana sudah berhenti melangkah. Fitri yang tak siap kalau pria di depannya ini berhenti, langsung saja menabrak punggung yang tadi diam-diam ia perhatikan itu.     “Aduh!” pekiknya. “Bapak gimana jalannya?”     “Lho? Kok, kamu marah sama saya, Fit?” Andra terkekeh pelan. “Kamu itu jalannya di samping saya dong. Kenapa mesti di belakang. Kalau kamu ketinggalan gimana?”     Fitri merengut.     “Saya dengar ucapan kamu tadi.”     Wajah Fitri tau-tau memerah, menunduk cepat biar tak terlalu malu diperhatikan Andra seperti ini.     “Masalah kamu berat juga, Fit. Saya kasihan sama kamu.”     Ada perasaan yang tercubit di hatinya karena ucapan Andra barusan. Perasaan dikasihani yang sangat ia hindari. Sekuat apa pun ia berusaha rasanya memang perasaan kasihan pasti bakalan datang padanya.     Hal ini makin membuatnya menunduk.     “Tapi saya tau kamu pasti kuat menghadapi ini, ya.” Andra tak tau kenapa ada rasa yang besar sekali untuk mengucap kepala Fitri yang terlihat makin menunduk ini. “Saya doakan masalah kamu cepat selesai, ya. InsyaAllah, saya siap bantu kalau kamu butuh bantuan.”     Kelembutan tangan Andra saat mengusap rambut Fitri membuat degup jantung gadis itu terhenti sejenak. Ia merasa apa yang Andra perbuat, sangat menyentuh hatinya yang terdalam. Seluruh kebaikan hati Andra selama Fitri mengenalnya terbayang terus. Berputar sampai di titik ini.     Hal ini membuat Fitri berkaca-kaca. Kejadian demi kejadian yang menguras emosi serta pikirannya ini, membuatnya gampang menangis. Biasanya ia berusaha sekali untuk tegar. Bahkan saat ibunya meninggal, ia hanya menangis di hari pertama. Bukan karena ia tak sedih. Sungguh melihat ibunya dirawat di rumah sakit, mengeluh sakit ini dan itu, juga tak berdaya melawan penyakit. Hingga direlakan di hatinya agar ibunya tak ‘berat’ meninggalkan mereka berdua.     Tapi untuk hal yang akhir-akhir ini terjadi, sangat membuatnya lelah.     “Jangan nangis. simpan air mata kamu yang berharga. Kalau ayah kamu enggak bisa tanggung jawab juga, saya yang tanggung jawab, Fit.”     Fitri mengerjap yang membuat air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya keluar juga. Dibarengi dengan wajahnya yang mendongak karena kebingungan dengan apa yang Andra ucap tadi. “Fitri sudah banyak merepotkan Bapak. Biaya kuliah Lia saja Fitri sudah enggak terbayar bagaimana bayarnya. Gimana kalau semua masalah ini Bapak yang ambil alih?” Fitri pun menggeleng. “Sudah banyak hutang budi yang saya punya ke Bapak. Saya enggak mau merepotkan Bapak lagi.”     Andra tersenyum. “Dengan cara apa kamu bereskan semua ini, Fit? Saya mau tau.”     Sebenarnya Fitri juga tak tau bagaimana caranya untuk keluar dari masalah ini. Ia tak memiliki uang, bahkan kalau detik ini juga Andra meminta uang yang tadi dijadikan sebagai jaminan pun ia tak punya sama sekali.     Lagi-lagi Fitri menunduk. Menggeleng pelan sebagai jawaban adalah hal yang bisa ia lakukan sekarang.     “Ayo, kita jalan lagi. Tuh, mobil saya di depan. Kamu juga biar cepat pulang, kan? Istirahat. Besok kamu punya tugas, kan?”     Sebenarnya Andra tak tega membiarkan Fitri mencari ayahnya tapi ia memang butuh kehadiran ayahnya itu untuk membereskan semua kekacauan ini. Sungguh ia tak tega melihat Fitri seperti ini. Rasa ingin melindunginya demikian besar timbul tanpa bisa dikendalikan.     Gadis di depannya ini kembali mengangguk pelan.     “Jangan sampai kamu enggak angkat telepon saya, ya.” Sekali lagi tanpa peduli kalau Andra ini berlebihan tapi sorot mata gadis itu membuat pria ini benar-benar luluh. Sorot mata itu banyak sekali kesedihan dan rapuh. Rasa ingin melindungi gadis ini demikian kuat dan besar. Membuatnya kembali melanggar batas.     Ia usap pelan rambut Fitri. “Jangan buat saya khawatir, ya.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN