“Ya ampun, Fit!” Parmi langsung berteriak girang begitu melihat Fitri berjalan ke koridor lantai tiga. Seminggu lebih sepertinya Fitri tak bekerja. Katanya urusan dia sangat mendesak berkaitan dengan ayahnya itu. Parmi hanya diberi tahu sedikit sekali mengenai apa yang terjadi. Padahal dia gencar sekali berkirim pesan juga meneleponnya. Bukan apa, Parmi khawatir dengan keadaan gadis itu. Apalagi terbayang saat punggung gadis itu memar. Parmi bergidik ngeri kalau ingat dan pikiran buruknya melayang-layang, jangan-jangan Fitri habis dipukuli sampai tak bisa beraktifitas. Makanya begitu mata Parmi melihat sosok gadis berambut hitam agak panjang ini, ia langsung menelitinya. Tak ada satu sudut tubuh pun yang lepas dari pandangan Parmi. Tak peduli kalau Fitri menatapnya dengan kebingungan. “