Episode 4 - Gosip Ibu-ibu Kampung

1006 Kata
“Selamat pagi, Teh.” Sapaan hangat terdengar dari adikku Lia saat aku baru keluar kamar menuju area dapur untuk mengambil segelas air. “Tumben Teteh jam segini baru bangun?” tanyanya lagi. “Teteh lagi halangan, jadi nggak perlu bangun buat solat.” “Oh gitu.” “Kau sendiri gimana?” Aku menyesali pertanyaanku, karena kulihat tetesan air di rambut adikku, Lia. Sepertinya semalam mereka habis bercinta, di malam pernikahanku. Entah mengapa hatiku terpilin melihat wajah sumringah Lia dan senyum lebar yang menghiasi bibirnya. Seharusnya aku tidak mengharapkan apapun di malam pernikahanku, iya 'kan? Tapi tetap saja ada lubang sebesar Blackhole yang seakan mengisi ruang di hatiku yang semakin hampa. “Aku lapar,” ujarnya sambil menyantap roti isi coklat favoritnya. “Teteh mau?” Ia menawarkan sarapan untukku. “Nggak usah. Teteh nggak biasa sarapan roti. Biasanya di sini ada yang jual nasi uduk nggak?” Sejak dulu aku memang tidak suka sarapan roti. Aku lebih suka makan nasi uduk atau lorong sayur buat mengisi kekosongan perut. “Ada kok Teh, di warung Mbok Iyem. Teteh lurus aja nanti di ujung jalan ada yang jual nasi uduk.” Lia memberiku instruksi. Segera aku meluncur ke penjual nasi yang dimaksud. Perkampungan rumah Lia memang asing buatku. Meskipun mereka sudah lima tahun menikah, sejujurnya aku tidak pernah mengunjungi adikku dan suaminya sekali pun. Ini pertama kalinya aku berkunjung ke rumah ini. Aku merasa canggung dengan para warga sekitar yang menatapku penuh rasa ingin tahu. Sesuai petunjuk yang diberikan Lia adikku, aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju warung nasi uduk Mbok Iyem. Seperti rumah perkampungan lainnya, banyak ibu-ibu berkumpul di warung tersebut. Tengah asyik menyantap sarapan mereka yang hanya terdiri dari beberapa gorengan dan lontong. “Eh, kayaknya saya baru lihat wajah si Teteh, deh,” sahut wanita bertubuh besar yang sibuk melayani pesananku. Aku menduga wanita itu adalah Mbok Iyem, sang pemilik warung. “Eh, iya, Buk. Saya baru pindah ke sini kemarin.” “Oalah, istri baru Mas Ferry, ya?” celetuk ibu lainnya yang mengenakan hijab panjang tapi sayang mulutnya tidak berhijab sama sekali. Aku tertegun, dari mana mereka tahu soal itu. “Kok kayak kaget gitu. Jangan heran, di kampung ini ayam tetangga mati aja kita sekampung pada tau,” celetuk salah satu ibu yang tengah sibuk bergosip ria. Padahal baru kemarin sore aku melangsungkan pernikahan, paginya seluruh ibu-ibu di kampung tahu berita mengejutkan tersebut. Sungguh aneh, tapi nyata terjadi. Aku merasa heran mendengar mereka sudah mengetahui status pernikahanku. “Tapi, sayang ya? Padahal sudah berjilbab, cuma kelakuannya itu lho, minus.” Tanpa sengaja aku mendengar gosip yang sedang mereka bicarakan tentang diriku. “Emangnya kenapa, Bun?” komentar ibu lainnya. Aku tak begitu jelas ibu yang sama yang berbicara, karena aku hanya memasang telingaku tanpa melirik ke arah mereka sedikit pun. “Dia itu, kakak kandung yang tega nikung adeknya sendiri, lho.” Astagfirullah aku hanya bisa membatin mendengar mereka membicarakan diriku dengan sangat jelas. “Ih, malu-maluin,” timpal ibu lainnya. Mbok Iyem hanya melirik iba ke diriku. Aku tersenyum getir ke arahnya. “Jadi berapa, totalnya?” Aku mengeluarkan dompetku untuk membayar nasi uduk pesananku. “Tujuh ribu, Teh.” Kukeluarkan selembar yang seratus ribu. “Aduh, kayaknya Mbok nggak ada kembalian, deh. Di bawa aja dulu.” “Jangan Mbok, nanti dia kabur lagi. Terus nggak bayar. Kayak adeknya noh. Utang dimana-mana.” Mbok seakan mengerti isi hatiku. Dia terpaksa mengambil uangku dan berjalan masuk ke dalam rumah. “Enak, Neng? Ngerebut laki adek sendiri?” celetuk ibu yang tak kukenal itu. Aku tak bergeming. Kukatupkan mulutku rapat-rapat, enggan menjawab pertanyaannya yang tak berguna. Aku tak mengira lingkungan tempat adikku tinggal sama sekali tidak kondusif. Lagipula, aku heran, darimana mereka tahu berita soal pernikahan siriku. Padahal jelas kemarin aku tidak mengundang siapa pun selain kerabat dan pak RT. Mungkinkah pria itu yang membongkar berita pernikahan siriku? “Eh, kita kudu ati-ati. Jangan sampai laki kita juga kena jampe-jampe darinya.” Ibu lainnya mulai memprovokasi. “Dih, amit-amit. Kayak cakep aja.” “Tapi, laki sekarang ‘kan nggak perli cakep. Yang penting goyangan asoyy!” celetuk ibu lainnya. “Ah, ibu bisa aja.” Telingaku panas mendengar ocehan mereka yang merusak indera pendengaranku. Aku berharap Mbok segera muncul dan aku bisa langsung pulang tanpa perlu mendengar gosip mereka. Tak berselang lama Mbok muncul membawa uang kembalian. “Ini, Teh. Kembaliannya.” Mbok menyerahkan uang yang sudah terlipat berantakan. Tanpa sempat menghitungnya aku lari meluncur pergi, kembali ke rumah adikku. “Neng, selamat ya? Jadi istri siri!” teriak salah seorang Ibu tanpa tahu malu, sengaja membuatku risih mendengarnya. “Bahaya nih kalo kampung kita sekarang ada pelakor,” timpal ibu lainnya. Aku hanya bisa menulikan pendengaranku. Menahan diri agar tidak terpancing oleh mereka. *** “Kenapa Teh?” Lia menghampiriku, bingung melihat wajahku yang pucat dan jantungku yang berdebar kencang. “Ah, nggak pa-pa kok,” sergahku. Malas menceritakan hal yang baru saja aku alami bersama ibu-ibu di perkampungan ini. “Udah beli nasi uduknya?” tanyanya lagi. “Eh, iya udah.” Aku buru-buru ke kamar. Kuputuskan menyantap sarapanku di dalam kamar saja, alih-alih harus semeja dengan adik dan iparku yang kini menjadi suamiku. “Eh, Teh.” “Ng, apa?” Aku menghentikan langkahku sejenak sebelum memasuki kamar. “Kayaknya Teteh harus sabar deh, soalnya tadi aku nggak sengaja dengar kalau ibu-ibu di kampung mulai gosipin Teteh.” “Iya, gak pa-pa.” Aku tak mau ambil pusing. “Tapi Teteh beneran nggak pa-pa? Soalnya Teteh dibilang pelakor sama mereka.” “Teteh gak pa-pa kok. Lagian Teteh mana pernah peduli omongan mereka. Toh kita lebih tahu niat hati Teteh yang sebenarnya. Kau nggak usah cemas lagi ya?” Seharusnya aku yang perlu dihibur bukannya malah menghibur. Terkadang aku membenci diriku yang terlalu sayang pada adikku sampai aku tidak memedulikan perasaan dan hidupku sendiri. Aku terlalu banyak berkorban untuknya. Tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Setidaknya aku hanya tinggal fokus dengan kehamilan anak mereka. Setelah itu, tinggal menata kembali hidupku yang telah hancur. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN