bc

Belenggu Cinta Adik Ipar

book_age18+
4
IKUTI
1K
BACA
love-triangle
BE
family
confident
tragedy
bxg
secrets
like
intro-logo
Uraian

Jatuh cinta pada adik iparmu sendiri? Apa yang ada di pikiranmu saat adikmu yang memintamu menikahi suaminya demi memberinya keturunan. Sedangkan perasaanmu yang dulu pernah ada, ternyata tumbuh semakin kuat. Apa daya jika waktu ternyata membuatmu terbelenggu oleh cinta terhadap adik iparmu sendiri?

Mampukah kau bertahan di tengah pernikahan mereka. Menjadi istri kedua adik iparmu sendiri yang kini juga mulai menaruh rasa padamu. Membuatmu goyah. Akankah kau menjadi racun bagi pernikahan adikmu sendiri? Sedangkan ada cinta baru yang muncul tanpa kau sadari.

Siapakah yang kau pilih pada akhirnya? Menjadi madu untuk adikmu sendiri atau memilih lepaskan cinta yang semakin menjeratmu.

chap-preview
Pratinjau gratis
Episode 1 - Ide Gila
"Hamillah anak adikmu, Ria. Buatlah dirimu sedikit lebih berguna di keluarga ini." Andai saja aku tahu ibuku akan datang ke rumahku malam itu, aku bersumpah tidak akan kubukakan pintu rumahku untuk mereka berdua. Jika ternyata kedatangan mereka hanya untuk melukai perasaanku. Sayangnya, semua itu terlambat. Nasi sudah menjadi bubur, percuma aku menyesalinya. Toh segalanya sudah terjadi padaku. Aku hanya bisa meratapinya. ~ Suara ketukan pelan terdengar di depan pintu rumahku yang mungil dan sederhana. Meski begitu, tidak ada satupun yang tahu kalau rumah itu adalah milikku. Setelah mematikan kompor, aku bergegas menuju pintu dan membukanya. Alangkah terkejutnya aku saat kutemukan sosok Ibu dan adikku berdiri di sana, menungguku datang. “Ibu? Dek Lia?” Antara kaget dan sedikit tidak percaya, aku benar-benar terkejut melihat kemunculan mereka setelah tiga tahun lamanya aku mengasingkan diriku. “Kamu, nggak mau nyuruh Ibu masuk, Ri?” celetuk Ibu, ketus seperti biasa. Sejak dulu aku mengenal Ibu memang selalu ketus denganku. Beda sekali sikapnya dengan adikku Lia. Dia selalu lembut dan penuh kasih. Tapi tidak denganku. Entah apa salahku padanya, dia seakan membenci diriku bahkan mungkin kebenciannya telah tumbuh sebelum aku dilahirkan. Aku seperti anak kandung yang ditirikan olehnya. Terkadang aku berpikir kalau aku ternyata memang anak tiri, tapi fakta bahwa aku adalah anak mereka tak terbantahkan lagi. “Tumben, Ibu datang?” “Emangnya Ibu nggak boleh datang, hah?” tukas Ibu masih ketus. Wajahnya cemberut, Lia menepuk lengannya pelan, mengisyaratkan agar mengubah sikapnya yang dingin terhadapku. “Maaf, ya Teh Ri. Ibu sedikit nggak enak badan hari ini.” Lia angkat bicara, mewakili Ibu meminta maaf atas sikapnya yang dingin. Setidaknya adikku satu itu memahami benar kelakuan Ibu yang terkadang terlalu menyakiti hati. Aku tersenyum getir, seharusnya Lia memang tak perlu meminta maaf atas kelakuan Ibu yang terlampau egois, tak jarang aku harus menanggung rasa sakit atas sikap maupun ucapannya. Saking seringnya Ibu memperlakukanku dingin, aku seakan sudah kebal oleh sikapnya yang ketus. “Oh iya, ngomong-ngomong di rumah ini nggak ada kulkas apa?” Alisku berkerut dalam, sedikit tak mengerti maksud ucapan Ibu yang menyimpan banyak isyarat. Seperti memecahkan teka-teki yang sulit, aku harus membaca isi pikirannya yang rumit. “Ibu!” tegur Lia, wajahnya memerah menahan malu. “Begini Teh,” Lia adikku coba angkat bicara, tapi Ibu langsung memotong ucapannya. Sontak perhatian kami teralihkan padanya, “Ibu haus, Ri. Masa iya kamu nggak ada inisiatif ngasih Ibu minum, atau apa kek, namanya juga Ibu udah capek-capek ke sini. Rumah kamu itu jauh lho, Ri. Mana udik lagi tempatnya. Kampungan gitu.” “Ah, iya, Bu.” Aku bergegas pergi ke dapur, tanpa sempat menyembuhkan telingaku akibat ucapannya yang sinis dan menyakitkan. Aku memang sengaja pindah jauh dari rumah, mengungsi di tempat yang jauh dari keramaian demi secuil kedamaian yang aku butuhkan. Luka di masa laluku. Belumlah sembuh, tapi keluargaku tiba-tiba muncul lagi membawa luka baru untukku. Sebagai anak yang berbakti aku tak pandai melawan. Hanya pasrah pada keadaan dan menerima apa yang telah mereka gariskan untukku meski harus berdarah dan menyimpan luka. Aku harus kuat sebagai putri pertama di keluarga ini dan juga sebagai kakak tertua bagi Lia, adikku yang malang. Dengan sigap aku menyeduhkan teh melati favorit Ibu. Dua cangkir kusiapkan, menatanya apik di atas nampan. “Silakan, Bu.” Aku menaruh cangkir tersebut sangat hati-hati. Berusaha untuk tidak bersikap ceroboh yang bisa membuat Ibu murka. Ibu menampikkan pandangannya dariku, berusaha enggan melihatku. Seakan jijik padaku, entah apa alasannya. “Diminum dulu, Li, Bu,” kataku sambil tersenyum gugup. Ibu mengambil cangkir, menyeruputnya sekilas. “Cuih, manis banget! Kau mau ngebunuh Ibu, Ri?” Ibu membanting cangkirnya, kesal. “Ibu!” Lia menegur ibunya yang juga ibuku. Tapi sepertinya Ibu lebih mendengarkan teguran Lia, adikku dibandingkan aku. Memang selama ini aku tak pernah menjadi anak yang dianggap. Aku seperti hantu, hidup di sekeliling mereka, tapi tak kasat mata. Aku selalu bisa menjadi makhluk gaib di pandangan mereka. Mungkin bagi mereka aku sudah mati. “Ibu mau tukar minumannya?” Lia bertanya lembut. Sepertinya stok kesabarannya masih melimpah ruah. Berbeda denganku yang cuma bisa diam, enggan untuk merespon atau bersikap sok baik pada wanita yang telah melahirkanku, tiga puluh dua tahun lalu itu. “Kalo gitu, Ibu mau air putih aja!” gumam Ibu pada Lia. Lia berdiri, “Biar aku saja, Teh.” Dia berinisiatif mengambil minuman untuk Ibu. Aku membiarkannya pergi ke dapur. Wajah Ibu yang masam berubah kecut, bibirnya mencibir, “Gimana mau dapat suami. Bikin minuman aja nggak becus!” Sering sekali aku mendapat cibiran darinya. Hatiku sudah kebal dari mulutnya yang tajam. “Sini, Lia. Cepat bawa minum. Ibu udah mau mati kehausan.” “Iya, Bu. Sebentar Lia ambil minuman dulu buat Ibu.” “Tuh, liat, tuh, adik kamu. Mana geulis, manis, cekatan, dan ngertiin Ibu. Kamu?” “Maksud Ibu apa sih datang ke sini cuma buat banding-bandingin aku sama Lia?” Aku sangat tersinggung oleh ucapan Ibu. “Sejak dulu Ibu emang selalu ngebangga-banggain Lia. Aku mah cuma sampah di mata Ibu!” ujarku sengit. Lia muncul dari arah dapur, membawa secangkir teh buatannya. “Ibu,” adikku menegurnya. Ibu mengatupkan mulutnya rapat, “Ma-af, Lia. Ibu tadi keceplosan.” Nada suara ibu melembut. Aku nyaris meneteskan airmata melihat perubahan sifatnya. Seperti biasa, Ibu hanya akan mendengarkan ucapan Lia. Sejak dulu, memang ibu selalu memperlakukan kami berbeda. Karena itulah aku mengalah dan memilih pergi dari rumah karena tak kuat menghadapi kebencian ibu padaku yang tanpa alasan. “Sebenarnya apa sih maksud kedatangan kalian?” tanyaku semakin tak sabar. Gerah dengan kehadiran mereka yang memanaskan hati dan pikiranku. “Begini, Teh. Ada hal yang harus Lia bicarakan ke Teteh.” Setelah menyerahkan cangkir minuman, Lia lantas duduk di sofa, tepat di sebelah ibu. Aku menyadari kegelisahan yang ditunjukkan Lia tanpa sengaja. Kegugupannya menyalakan alarm peringatan di kepalaku. “Soal apa?” Sudah kuduga pasti ada sesuatu yang membuat mereka mendatangiku. Satu hal yang amat kubenci jika mereka sampai terpaksa datang. “Udah, Lia. Nggak usah basa-basi. Malas Ibu.” Ibu memotong ucapan adikku yang baru akan membuka mulutnya. “Ria, pokoknya kamu harus memberikan rahim untuk adikmu Lia.” “Apa!?!” Aku tercekat, kehilangan kata-kata. Seketika aku mendadak tuli mendengar ucapan ibuku yang begitu menyakitkan hati. “A-apa maksudnya itu?” Suaraku bergetar, berusaha mencerna apa yang baru saja kudengar. “Mem-berikan rahimku?” Aku tercekat sampai nyaris tak mampu berbicara. “Ah, begini, Teh.” Lia berusaha mencairkan suasana yang seketika menegang. Suhu udara seakan memanas. Aku bahkan nyaris kekurangan suplai oksigen kalau saja kipas angin di ruang tamuku mendadak berhenti berputar. “Sudah lima tahun Lia menikah, tapi dia belum juga mendapat keturunan. Jadi daripada mereka berpisah karena keluarga Ferry menuntut Lia memberi mereka keturunan. Ibu pikir gimana kalau kau yang hamil anak mereka? Setidaknya kau bisa menjadi anak yang sedikit lebih berguna, Ria. Karena selama ini kau hanya bisa menyusahkan saja hidupnya. Pokoknya Ibu pengen kamu hamil anak mereka. Titik!" Seperti biasa ucapan ibu selalu menyakitkan hati. Aku yang sudah terbiasa nya tak kuasa mendengar ucapannya kali ini. “A-pa?” Hanya itu respon yang keluar dari mulutku secara spontan. Aku bahkan sampai kehabisan kata-kata mendengar ucapan Ibu yang tidak masuk akal. Bahkan aku berharap telingaku tuli seketika sehingga tidak harus mendengar kata-kata yang terdengar sangat melukai harga diriku. Sungguh teganya ibu dan adikku mengorbankan perasaanku. Apakah mereka tidak memedulikanku? ***

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook