"Apa kalian gila, hah?” Aku menjerit histeris sampai bangkit dari dudukku. Kutatap mereka dengan sangat tajam. Tatapanlu seakan membara, tapi mereka bahkan tak bergeming sedikit pun. Seakan-akan, mereka memang tak peduli perasaanku.
Membenci keadaan, mengapa aku harus dilahirkan dari rahim seorang wanita yang tega menjual putri sulungnya demi putri bungsu kesayangannya.
Aku mereka tidak dihargai, bahkan oleh ibu kandungku sendiri.
“Anak durhaka. Jangan berani-beraninya membantah, Ibu, ya Ria?” Ibu berdiri. Tatapannya lebih tajam, melotot dan menusuk tepat ke jantungku. Aku seakan kehilangan kekuatanku bahkan untuk berdiri tegap, melawan kehendak Ibu yang selalu penuh kuasa atas hidupku.
“Sejak dulu kau memang nggak pernah menjadi anak yang berguna buat Ibu. Kamu selalu memalukan Ibu.”
“Maksud Ibu?”
“Kau jelek! Lihat wajahmu, nggak secantik adikmu. Otakmu juga nggak secemerlang Lia. Kau bahkan cuma lulusan SMA. Itupun nilaimu pas-pasan.”
Aku menarik napas dalam. “Memangnya salahku kalau wajahku nggak secantik Lia, hah? Nilaiku juga pas-pasan karena Ibu memberiku segudang pekerjaan rumah yang nggak pernah habisnya. Di saat aku mau belajar, Ibu menyuruhku mencuci dan menyetrika baju. Bahkan saat aku mau minta kuliah, Ibu juga memintaku membantu Bapak jaga toko. Terus Lia? Ibu bahkan memberinya kursus bahasa Inggris yang sangat aku inginkan. Juga memanggilkan ya guru privat untuk mendongkrak nilainya? Sedangkan aku? Aku harus berjuang sendirian untuk mengejar ketertinggalan nilaiku, Bu?"
Kali ini aku berhasil mendebatnya. Takkan kubiarkan dia terus melukai perasaanku. Meski aku anak kandungnya, setidaknya aku juga masih punya perasaan. Tolong berilah aku sedikit empati. Aku merasa ibuku memang selalu tak adil padaku. Meski begitu, tak pernah sekali pun aku bisa membenci dirinya.
“Jangan menyalahkanku, Ria. Sejak dulu memang kau selalu membuat malu.”
“Iya, aku emang anak nggak berguna. Puas?” Aku berteriak untuk pertama kalinya melawan Ibu.
“KARENA ITU BUATLAH DIRIMU BERGUNA DENGAN HAMIL ANAK ADIKMU DAN SUAMINYA!” Suara ibu tak kalah tinggi dari suaraku. Kami saling berlomba meninggikan suara. Entah siapa pemenangnya, tapi aku merasa tak adil atas perlakuan Ibu.
“AKU MENOLAKNYA!”
Tamparan keras mendarat di pipiku. Airmata meleleh. Aku memegangi bagian wajahku yang terasa peruh dan menyakitkan. Namun tidak semenyakitkan luka di hatiku yang mungkin tak berdarah, tapi sunggu melukai.
“Kau lihat kakakmu, dia memang selalu bikin ibu sakit jantung oleh kelakuannya. Dasar anak durhaka!” Ibu mengelus dadanya. Berpura-pura mendapat serangan jantung. Wanita paruh baya yang melahirkanku melayang dan terjatuh ke atas sofa sambil memegangi dadanya. Tubuhnya bergetar, matanya membelalak.
“Ibu?” Lia berteriak panik. Dengan sigap dia memeluk ibunya yang juga ibuku. Aku hanya bergeming di tempatku berpijak. “Teteh, tolong Ibu.” Lia menyadarkanku dari lamunanku. “Tolong panggil ambulans, CEPAT!”
Dengan sigap aku menelepon layanan darurat.
Tak berselang lama, ambulans klinik datang dan membawa ibu ke unit gawat darurat rumah sakit terdekat.
***
“Bagaimana kondisi Ibu kami, Dok?” Lia dan aku menghampiri seorang dokter yang baru muncul dari bilik ruang IGD.
Petugas medis itu membuka masker di wajahnya, “Syukurlah Ibu kalian masih bisa diselamatkan. Jadi kondisinya sekarang mulai stabil. Serangan jantung yang dia alami tidak begitu membahayakan dirinya.”
Haruskah aku mengucap syukur seperti yang diucapkan adikku atas selamatnya Ibu dari serangan jantung yang mungkin bisa membahayakan nyawanya.
“Teh?” Lia menyadarkanku dari lamunan gilaku. Sulit bagiku mengucap syukur atas kondisi ibuku yang membaik.
Hatiku terlanjur terluka oleh perlakuan Ibu. Sehingga, aku bahkan tak peduli jika Ibu berpindah ke alam lain.
“Teteh baik-baik aja, ‘kan?” Lia terlihat mengkhawatirkan kondisiku. Dia memang lembut dan baik hati sejak dulu, membuatku iri oleh hidupnya yang selalu mulus, seakan Tuhan enggan memberinya cobaan sedikit pun.
“Ayo kita lihat kondisi Ibu!” ajak Lia.
Aku meragu sejenak, enggan untuk masuk ke ruang perawatan. Tapi Lia menarik tanganku. Aku terpaksa mengikutinya.
“Ibu?” Lia menangis sambil memeluk ibu yang berbaring lemah di atas brankar rumah sakit. “Hiks, jangan tinggalin Lia, Bu.” Isakan tangis Lia menggema di penjuru udara.
“Sudah, sudah, nggak usah nangis. Jelek tau. Ibu nggak suka lihat kamu nangis!” Ibu menepuk punggung adikku, suaranya terdengar lembut dan penuh rasa keibuan—berusaha menenangkan tangisan putri kesayangannya.
“Ngapain kamu di sini?” Saat melihatku, ibu berkata sinis. Seolah ia memang tidak mengharapkan kehadiranku.
“Ibu, nggak boleh gitu. Teh Ria juga khawatir sama kondisi Ibu.”
“Tapi, dia yang udah bikin Ibu kolaps, Li. Malas ibu lihat mukanya. Nyebelin!”
“Istigfar, Bu. Mau gimana pun, dia juga anak Ibu.” Lia begitu lembut menenangkan emosi ibu saat melihatku.
“Teh, kita di luar aja yuk. Ibu mungkin mau istirahat.” Lia menggandengku. Membawaku ke kursi tunggu rumah sakit. Kami duduk di sana. Menghela napas dalam.
“Maafin Ibu dan aku, ya Teh?” Lia tiba-tiba meminta maaf.
Aku menoleh ke arahnya. Alisku melengkung dalam, tak mengerti alasan mengapa adikku harus meminta maaf padaku.
“Ibu hanya ingin menyelamatkan pernikahanku dan Mas Ferry.”
“Maksud kamu?” Aku semakin tak mengerti ucapannya.
“Lia?” Kami menoleh ke arah suara seseorang memanggil nama adikku. Dari kejauhan kami melihat sosok yang kukenal sangat baik. Lelaki itu berlari di sepanjang lorong. Wajahnya terlihat khawatir.
Di belakangnya, seorang wanita berpakaian elegan mengikutinya dengan langkah anggun. Sebuah kipas tangan, bergerak di depan wajahnya. Mengibaskan poni yang melengkung sempurna di dahinya.
“Mas Ferry?” Lia berdiri menyambut kedatangan suaminya. Aku hanya menundukkan pandanganku darinya. Takut pesonanya semakin melenakan diriku.
“Ada apa? Katanya kau di rumah sakit? Tapi kenapa jauh sekali?” Ferry terlihat cemas. Dia memegangi wajah adikku Lia. Sungguh lelaki itu masih luar biasa, tak heran mengapa aku begitu memujanya dulu.
“Ibu sakit, Mas. Kayaknya kena serangan jantung.”
“Ibumu sakit lagi, hah? Kayaknya emang keluargamu itu keluarga penyakitan. Pantas aja anaknya nggak bisa hamil-hamil.” Suara sengit dan sinis terdengar dari perempuan berkebaya dengan penampilan elegan.
“Ibu!” Ferry menegur ibunya. Ia merasa wanita itu sudah cukup keterlaluan.
Sayangnya bukannya diam, wanita itu semakin sengit menyindir adikku Lia.
“Yah, emang kenyataannya begitu. Buktinya sudah lima tahun kalian menikah, tapi kalian bahkan nggak berhasil punya anak. Lagipula ngapain kamu bertahan sama istri mandul macam istrimu!”
Kupikir ibuku adalah wajah bermulut pedas yang pernah aku temui, ternyata aku salah. Ucapan wanita itu lebih mengiris tajam dibandingkan ucapan ibuku.
Wajah Lia memucat mendapati sindiran pedas dari wanita yang menjadi ibu mertuanya. Aku pun iba padanya.
“Udah Fer, ceraikan dia. Anaknya aja udah nyusahin. Ditambah lagi ibunya nyusahin. Emang dasar keluarga nyusahin,” celetuk wanita itu, seakan tak puas melukai hati adikku,
“Nyonya, tolong jaga ucapan Anda!”
“Ini lagi. Anak yang nggak berguna mulai berani ngelawan.” Wanita itu berkata sambil mengibaskan kipasnya di wajahnya. Sikapnya begitu arogan.
“Apa mau Nyonya?” Aku berani menantangnya demi membela adikku.
“Tentu saja. Melepaskan putraku dari keluarga nggak berguna seperti keluarga kalian!”
“Maksudnya?”
“Ya tentu saja. Adikmu mandul. Ibumu penyakitan. Sekarang kamu yang kurang ajar berani melawanku.”
“Kau ingin keturunan, ‘kan?”
Matanya melirik sekilas ke arahku, “Memangnya bisa, hah? Bahkan adikmu mandul. Kau tahu itu ‘kan?”
“Aku akan menggantikannya mengandung cucumu!” kataku mengejutkan semua orang termasuk diriku. Senekad itu aku demi melawan wanita arogan dan angkuh itu. Akan kubuktikan kalau aku akan berhasil melahirkan anak untuk putranya.
“Teteh?” Lia berusaha menyadarkanku. Sayangnya tekadku sudah bulat. Aku harus membuktikan pada wanita itu kalau keluargaku bukan keluarga rendahan seperti yang dia katakan.
***