"Kamu harus tanggung jawab, Le. Tapi aku nggak bisa pindah keyakinan."
Leon mengendikkan bahunya. "Kalau gitu gugurin aja," ujar Leon tanpa merasa bersalah.
"b******k kamu, Leonardo!"
"Iya. Sudah tahu aku b******k, kenapa kamu mau sama aku?" ujarnya diakhiri tawa yang meremehkan. "Udah selesai, kan? Aku pulang dulu." Leon meninggalkan uang merah dua lembar di atas meja untuk membayar pesanan mereka, setelah itu dia berjalan keluar kafe tanpa menoleh ke arah Dara yang mulai meneteskan air mata.
Dara tidak tahu harus menceritakan masalah ini ke siapa, orangtuanya pasti akan marah jika mengetahui hal ini, teman-temannya? Tidak, itu bukan pilihan terbaik.
Apa aku harus gugurin kandungan ini?
***
Dara melangkahkan kakinya di koridor sekolah dengan lesu, kalau tidak ingat hari ini adalah ulangan harian matematika, dia tidak akan masuk sekolah. Yang anehnya, setiap inci langkah kakinya selalu dipandang oleh setiap pasang mata. Dara memperhatikan penampilannya dari atas ke bawah, tidak ada yang aneh.
Keisya, teman sekelasnya menghampiri Dara. "Dar, mending lo lihat mading, deh."
Dengan rasa penasaran yang tinggi, akhirnya Dara melangkahkan kakinya dengan cepat, dan masuk dalam kerumunan, hingga matanya dapat melihat langsung apa headline di mading tersebut.
Dara Ananda, seorang siswi dua belas IPA satu, kini sedang hamil.
Mata Dara membelalak, berita itu cepat sekali beredar, dia pun bingung siapa yang menyebarkannya.