Tamara, gadis cantik yang semakin hari semakin kekurangan tata krama itu menghentak-hentakkan kaki menjauhi ruangan mantan tunangannya. Ia mendapati Rama sedang bertatap-tatapan atau langsung saja biar tidak ada yang ditutup-tutupi, nyaris berciuman dengan sekretarisnya. Menjijikkan.
Tamara merasa benar-benar dipermalukan oleh laki-laki yang sangat dicintai dan digilainya itu. Gadis itu yakin jika Rama hanya berusaha agar Tamara menjauhinya dengan menjalin hubungan konyol dengan sekretaris culunnya. Bahkan cowok itu meminta antek-antek salonnya untuk menyulap si culun menjadi gadis paling bersinar di acara perayaan bergabungnya Fandi Corp. dengan perusahaan pamannya, duh si Culun benar-benar membangkitkan hasrat untuk mem-bully yang sudah lama terkubur dalam hati Tamara.
“Syialan! pakai mata kalian dasar pekerja rendahan," teriak Tamara saat dua orang office boy yang asik bergosip tidak sadar telah menghalangi jalannnya. Beruntung Tamara tidak bersinggungan dengan kulit melarat milik mereka. Amit-amit.
Dengan langkah besar Tamara menuju mobilnya dan berniat melampiaskan amarahnya pada pegawai salon miliknya yang membantu mengubah itik kudisan itu menjadi angsa cantik. Memang tidak masalah jika itik itu berubah jadi cantik karena tentu saja kecantikan buatan milik unggas menjijikkan itu tidak akan pernah menyamai kecantikan milik Tamara. Dan pegawai itu akan bertangung jawab untuk mengembalikan uang sialan yang diterimanya dari Rama sebelum mendapat pemecatan. Tamara bersumpah akan membuat pegawainya melemparkan uang yang Rama berikan pada mereka tepat pada wajah tampan itu. Cih.. kekayaan Tamara tidak akan berkurang atau pun bertambah dengan uang yang Rama gunakan untuk gundiknya. Tamara sangsi bahwa cewek itu belum diapa-apakan, Rama ‘kan bbedebah tanpa otak. Tapi tetap Tamara cinta kok, tenang saja.
“Anak kesayangan Om Fandi aja bisa kulenyapkan, apalagi sampah satu ini,” gumam Tamara yang keluar dari area kantor milik Rama. Ketika ia sudah duduk di balik kemudi, ponselnya berkedip-kedip diikuti dengan getaran yang semakin membuat perasannya jengkel.
“Apa kau benar-benar jadi pengangguran disana??? Mengganggu saja,” teriak Tamara pada seseorang yang menelfonnya. Tidak tepat, sangat tidak tepat orang itu mengajaknya bicara saat ini.
“Apa kamu masih meragukan perasaanku?” Tanya Rama pada Bunga yang berada di ambang pintu. Hari ini tampaknya benar-benar hari syial bagi Rama karena Tamara datang mengacaukan suasana dan berakibat pada Bunga yang tiba-tiba saja meragukan keseriusannya menjalani hubungan.
“Aku hanya tidak ingin istrimu shock saat tau suaminya memiliki istri lain nanti.”
Ini yang ditakutkan Rama, padahal sudah lebih tiga tahun tapi Naya masih menjadi batu sandungannya. Kenapa Naya tidak pergi sambil membawa semua masalah yang ada saja?
“Dan kamu tau aku tidak bisa menceraikan dia karena mertuaku akan dengan sangat senang hati mencabut semua topangan sahamnya dan membagikannya pada panti asuhan di seluruh pelosok negri, sementara Papaku sendiri akan bertepuk tangan melihatku” ya Rama bukan tidak mau menceraikan Naya, nasib perusahaannya bergantung pada hubungannya dengan wanita yang entah masih hidup atau tidak itu. Dan jika Papanya sampai mendengar kata cerai ia bisa langsung dipecat dan ditendang, jauh dari semua fasilitasnya yang ia nikmati selama ini. Sedangkan ia tau untuk bersama Bunga tak cukup hanya dengan cinta saja karena mereka butuh uang untuk memastikan ibu gadis itu tetap bernafas melalui semua alat bantu yang sewaktu-waktu dibutuhkan.
“Aku tidak butuh uang, Ram, cukup kamu,” ucap Bunga lirih.
“Aku juga mencintai kamu, Sayang,” ucap Rama seolah-olah barusan Bunga menyatakan cintanya padahal gadis yang sedang menahan air matanya itu ingin Rama mengerti bahwa uang bisa dicari, tapi tidak dengan kebersamaan mereka.
>>>
“Kamu yakin punya waktu selama itu?” tanya orang di telfon pada gadis bermata sipit dan berkulit bersih yang tampak makin cantik dengan tubuhnya yang ramping.
“Yakin, Mbak.. aku hanya harus menyelesaikan skripsi dan setelahnya waktuku bahkan lebih banyak,” jawab Angel, nama cewek cantik itu, pada telfon genggamnya mengabaikan tatapan tajam seseorang. Hidupnya benar-benar melelahkan dan mulai saat ini ia akan mengharamkan waktunya untuk mengurusi orang itu.
“Oke, kamu bisa datang ke alamat yang ada disana kan?” lagi, wanita itu melontarkan kalimat tanya.
Angel mengangguk kemudian menyadari bahwa lawan bicaranya tidak akan mengetahui jawabannya barusan. “Kapan, Mbak?”
“Sore ini,” jawab si wanita yang Angel yakin tidak teralu tua itu.
“Oke, Mbak, makasih ya, Mbak.. udah repot-repot telfon juga,” ucapnya tak enak hati, masalahnya tadi Angel sempat mengabaikan dering hapenya karena ia melihat Daniel berjalan dari jauh dan tepat menuju padanya. Beruntungnya tadi hatinya tergerak untuk menjawab panggilan telfon itu di dering ke tiga, mungkin memang sudah rejekinya juga.
“Cowok lain lagi,” itu bukan kalimat tanya tapi pernyataan. Bersamaan dengan itu Daniel merampas telfon genggam milik Angel dan menghempaskannya. Di depannya Angel hanya menampilkan tampang tak peduli. Tapi jauh di dalam hatinya gadis itu ingin menangis. Hape yang sudah tak tertolong itu belum lunas dan sekarang dia harus mencari pekerjaan lain agar bisa melunasi bangkai hapenya dan membeli yang baru.
“Kenapa tidak patahkan tangan dan kakiku saja?” tanya Angel dengan suara yang ia jaga mati-matian untuk tidak terdengar bergetar.
“Tunggu, tunggu sampai kesabaranku habis dan aku akan membuatmu lumpuh, tak bisa menghubungi mereka dan hanya ada aku,” ucap Daniel dan berlalu begitu saja, meninggalkan Angel dan bangkai hape yang belum lunas. Beginilah hidup Angel, hape saja ia dapatkan dengan cara kredit.
Setelah menyelesaikan ujian terakhirnya di semester tujuh Angel bergegas menuju halte. Ia harus menemui orang yang akan mempekerjakannya. Sadar dimana ia sedang berdiri Angel juga sadar jika orang yang akan memberinya pekerjaan adalah orang berada. Kaki letihnya terus menyusuri jalan lengang sambil mencari rumah sesuai dengan alamat yang ada di selembar kertas. Tadinya semua informasi itu ada di ponselnya tapi ya, seperti yang semua orang ketahui, Daniel sudah membuatnya kehilangan benda itu. Tidak kehilangan dalam arti sesungguhnya karena ponsel itu masih berada di dalam ranselnya. Hilang fungsinya saja. Juga hilang semua uang yang akan ia hasilkan di masa depan untuk membayar benda itu. Kini Angel belajar untuk membeli ponsel langsung pada tokonya saja alih-alih pada sejenis lintah darat yang ia kenal di daerah tempat tinggalnya. Kalau ia beli di toko resmi mungkin gadis itu masih bisa memanfaatkan yang namanya garansi bukan?
Ini sudah ke tujuh kali Angel memencet bel. Kakinya sudah tak mampu menopang berat tubuhnya, ah iya, dia juga belum makan seharian ini. Rasa-rasanya hidup ini akan lebih sempurna kalau dirinya mati saja. Kembali mengulangi kegiatan memencet bel, akhirnya seseorang membukakan pintu. “Cari siapa, Nak?”
“Saya punya janji sama Mbak pemilik rumah ini, Pak,” jawab Angel sambil menahan sakit di telapak kakinya.
“Oh, mari.. silahkan masuk dulu,” ajak pria itu membukakan pintu lebih lebar. Dan hanya dengan senyum sopan dari pria tua ini Angel merasakan harinya menjadi sedikit lebih baik. Di hidupnya yang tidak penting ini, Angel tidak berharap tiba-tiba diberi harta berlimpah atau justru pangeran berkuda putih yang berdiri di depan pintu kontrakannya. Ia hanya berharap dunia bisa sediki lebih lunak dan menghadirkan manusia-manusia baik hati. Dan hilangkah pria bernama Daniel dalam hidupnya untuk selamanya.
Begitu masuk lebih jauh ke dalam rumah, Angel disambut oleh sepasang anak kecil yang asik bermain. Dia disuruh duduk saja sambil menyantap cemilan juga minuman yang disuguhkan bapak-bapak tadi.
“Where is Mommy? I want Mommy, now!" ucap bocah laki-laki yang duduk tak jauh dari bocah perempuan yang sibuk sendiri dengan kegiatannya. Angel takjub mendengar bahasa inggris bocah itu. Dulu ia mengenal bahasa inggris saat kelas empat dan lihat betapa spektakulernya dunia saat ini. Bocah baru lahir saja sudah berbahasa inggris. Mungkin besok anak ini tidak akan melalui yang namanya tes TOEFL berkali-kali sebagai syarat untuk wisuda seperti yang ia lalui. Bayangkan saja, hidupnya sudah susah dan otaknya tidak bisa mengerti dengan kesusahannya. Otaknya terus saja membuat Angel kehilangan uang yang ia dapatkan dari bekerja hanya untuk gagal lagi dan gagal lagi dalam test TOEFL.
“Manja,” celetuk bocah satu lagi yang sibuk memandikan barbienya dalam panci berukuran sedang. Angel yakin shampo yang digunakan bocah itu adalah milik mamanya. Tak mau berdiam diri saja Angel mendekati mereka dan mengajaknya bicara.