Baper

1762 Kata
Setelah melihat apa yang dilakukan Zen, seketika suasana berubah menjadi hening. Ran hanya bisa terdiam, menatap ke arah bunga lili yang berakhir di bak sampah setelah Zen membuangnya tanpa belas kasihan sedikit pun. Tidak ada sederet kata yang keluar dari bibir Zen bahkan jika hanya sekadar permohonan maaf. "Kak Zen," bisik Ran. Zen tidak mendengar, tapi tahu apa yang dipikirkan Ran karena setelah melihat sepintas gadis itu hanya bergeming dan tanpa membuang waktu lebih lama Zen memutuskan untuk menjauh dari Ran. Ia pikir urusannya telah selesai serta tindakannya barusan sudah berhasil membuat Ran paham. "Zen!" teriak Adit ketika Zen ingin meninggalkan Ran setelah menyakiti harga dirinya. "Elo, apa-apaan?! Lo, bener-bener enggak punya hati!" Tanpa pikir panjang Adit memutar tubuh Zen agar menghadap dirinya lalu mencengkram kerah baju Zen, bahkan refleks tangan kanan Adit terkepal dengan sangat erat seakan siap untuk di arahkan ke wajah Zen. Suasana menjadi riuh di antara mereka berdua, beberapa diantaranya ada yang berusaha melerai dan beberapa ada yang menyoraki agar mereka berkelahi--memberikan tontonan gratis di pagi Hari. Rhoma serta Boim berlari mendekati dua temannya, berusaha melerai sebelum keduanya berkelahi. "Adit, ingat jabatan lo di sini! Dan Zen, elo itu manusia enggak berhati, ya!" Boim berusaha menjauhkan keduanya. Namun, Adit masih saja mengelak karena ingin memukul Zen. "Lo bener-bener keterlaluan, Zen! Awalnya gue diem aja lo nolak, tapi hari ini gue enggak bisa diam." Adit melayangkan sebuah tinju ke wajah Zen. Namun, tinju itu tertahan oleh tangan Rhoma yang tiba-tiba menahan tangan Adit. "Ingat jabatan lo, Dit. Kalian berdua partner di sekolah, kelas bahkan kalian sahabatan." Rhoma menatap Adit kemudian Zen secara bergantian. Ketika melihat ke arah Zen, dia juga merasa kesal karena tidak ada ekspresi penyesalan di wajah Zen. "Itu bukan urusan lo." Zen menepis cengkaraman tangan Adit di kerah bajunya kemudian melangkah masuk ke dalam kelas tanpa meminta maaf. Adit berdecak kesal, urat-urat kemarahan masih terlihat jelas bahkan bahunya masih naik turun akibat luapan emosi yang memengaruhi ritme pernapasan. "Sabar, Dit." Boim dan Rhoma menepuk bahu Adit. Adit tidak menjawab. Namun, langsung bergegas mengambil bunga lili hujan milik Ran yang dibuang Zen di bak sampah kemudian segera menghampiri Ran. Ia bisa melihat gadis itu tertunduk dan tentu saja sedang bersedih atau bahkan menangis. Sebuah pemandangan paling buruk bagi Adit adalah melihat seorang perempuan menangis. "Ran," panggil Adit, sambil menyentuh bahu Ran kemudian mengarahkan bunga lili hujan tersebut ke arah Ran. "Maaf, tentang tindakan Zen. Please, jangan nangis karena gue enggak suka lihat cewek nangis." Ran mengangkat wajahnya dan melihat Adit sudah berdiri sangat dekat dengannya, bahkan cowok itu merendahkan sedikit punggungnya hingga Ran menjadi mudah melihat Adit. "Jangan buang air mata lo buat orang lain dengan begitu mudahnya karena air mata lo berharga." Adit berkata lembut kemudian tersenyum sambil mengusap air mata di pipi Ran. "Ini bunga lo. Mau diambil atau buat gue aja? Tenang bakalan gue jaga, kok karena lo berharga." Menaikkan alis beberapa detik, Adit bisa melihat wajah Ran yang memerah. Manis sekali, pikirnya. "A-aku ... b-ba ...." Adit menepuk bahu Ran hingga membuat ucapan gadis itu terputus. "Bunganya buat gue karena gue mau dan gue suka hadiah dari cewek manis nan lucu." Tanpa sadar Adit mencubit pipi Ran lalu melangkah mundur seiring suara bel pertama berbunyi. Sambil melangkah mundur, Adit menyempatkan diri untuk berteriak, "Jangan sedih lagi dan tetap semangat, gue di sisi lo!!" Refleks wajah Ran memerah dan tubuhnya memanas. Rasa marah akibat perlakuan Zen barusan kini sirna setelah mendapatkan sikap manis dari Adit, tentu saja di waktu bersamaan dewi batin Ran menjadi semakin bersemangat. Ran menepuk kedua pipi berulang kali lalu tersenyum lebar menampakkan deretan gigi, sambil terus-menerus mengulang ucapan Adit yang mengatakan bahwa dia harus tetap semangat, manis, lucu, berharga dan satu hal terpenting ia tidak menyangka bahwa Adit bersedia berada di sisinya. Baru beberapa hari dan kepopuleran sudah berada di depan mata. Kak Adit juga ... suka padaku! Tidak, tidak, tidak, misi utamaku adalah Kak Zen. Itu kata Dea dan Alice. Ran menggeleng cepat sekadar untuk menyadarkan diri kemudian terus-menerus menepuk pipinya. Tiba-tiba sebuah sentuhan lembut terasa di punggung Ran. "Ran, lo baik-baik aja?" tanya Alice wajahnya tampak khawatir karena ia juga menyaksikan perlakuan Zen terhadap Ran. "Gila parah itu si Zen." Dea melipat tangan di atas d**a, sambil menatap ke arah kelas Zen yang sudah mulai sepi. Ran mengangguk. "Semangatku semakin berkobar. Kak Adit, suka padaku!" Mata Ran berbinar. Namun, Alice segera menoyor kepala Ran. "Lo fokus sama Zen dulu, popularitas Adit itu enggak ada apa-apanya dibandingkan popularitas Zen. Ayo ke kelas, istirahat nanti kita lanjutkan lagi." Alice menarik tangan Ran, sedangkan Dea hanya diam mengamati Ran dengan tatapan kesal, tetapi juga mengejek. Lo terlalu b**o sampai enggak tahu kalau kita buat malu dan lo terlalu polos, cih enggak mungkin banget Adit suka sama lo. Dea tersenyum miring. *** "Kalian enggak ada niat buat teguran, gitu?" tanya Boim yang duduk di belakang Adit. "Kalian ini ketua dan wakil, loh alih-alih satu paket orang berpengaruh di kelas sama sekolah jadi kalau kalian perang dingin begini kita warga sipil bakalan kena dampak." Rhoma ikut angkat suara yang duduk di belakang Zen, sambil sesekali mencolek bahu pemuda itu. Namun, Zen tetap fokus pada tugas dari guru Bahasa Inggris karena berhalangan hadir. Adit mengedikkan bahu, menoleh sejenak ke arah Zen lalu membuang muka seperti anak kecil yang sedang merajuk. "Gue kesel sama Zen, gue murka. Dia jahat banget sama cewek kesayangan gue, padahal dia lucu, polos, dan tulus suka Zen." Adit meletakkan kedua tangan di depan wajah layaknya seseorang yang sedang menangis. "Tapi ... tapi ... dengan jahatnya Zen buang bunga itu di depan mata semua orang tanpa memerhatikan perasaan Ran. Adit ikut terluka Zen," Menggeser tubuh, Adit berlagak seperti sedang menangis. Namun, Zen tidak peduli dan memilih untuk mendiamkan akting murahan Adit. Gue tahu seberapa bencinya elo sama perempuan, tapi satu hal yang masih janggal di otak gue. Kenapa harus perempuan di saat orang-orang yang tersakiti adalah keluarga lo yang perempuan, seharusnya lo malah jadi pelindung perempuan bukan pembenci mereka. Adit menoleh lagi tidak peduli bahwa Rhoma dan Boim hanya bisa mengembuskan napas melihat tingkah lebay Adit yang sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. "Sudah selesai sandiwaranya?" tanya Zen tanpa melihat ke arah Adit. Adit mengembungkan kedua pipi lalu kembali membuang muka. "Harusnya lo minta maaf ke Ran karena sudah bikin dia nangis atau setidaknya bilang ke gue kalau lo enggak mau ngomong langsung." "Buang-buang waktu." Zen menutup buku kemudian bangkit dari kursinya. "Mau ke mana, Zen?" tanya Rhoma, Adit, dan Boim bersamaan karena mereka berpikir hal yang sama di waktu bersamaan--berpikir bahwa Zen akan menuruti keinginan mereka untuk meminta maaf pada Ran. Berhenti sejenak sebelum melangkah, Zen menatap cepat ke arah tiga temannya yang sedang berbinar kemudian melangkah ke luar kelas tanpa mengucapkan kata. Tidak ada yang salah. Sambil terus melangkah menuju toilet Zen harus melewati kelas X IPA-1 dan tatapannya tertuju pada seorang gadis berjambul khatulistiwa yang mengganggunya tadi pagi sedang duduk sendiri di bangku depan kelas--seakan mendapat hukuman dan tidak diijinkan untuk mengikuti pelajaran. "K-kak Zen, a-ada ... maksudku a-ada apa?" Ran yang tidak sengaja melihat Zen berjalan ke arahnya langsung berdiri menyambut kedatangan Zen dengan tatapan berbinar dan wajah yang berseri-seri. "Bunganya akan kuganti kalau kakak enggak su ...." Ucapan Ran terhenti tepat ketika Zen tidak menghiraukannya bahkan malah berjalan lurus melewati Ran seakan tidak ada siapa-siapa di sana. "Kak Zen, aku ada di sini!" Ran mengeraskan sedikit suaranya hingga membuat Zen menoleh sesaat karena suara gadis itu tentu saja akan menarik perhatian sekolah yang sedang dalam jam pelajaran. "Bisa diam?" Zen menatap Ran dingin. Ran mengangguk lalu melangkah lagi agar bisa berjalan di sisi Zen. "Aku sudah pikirkan matang-matang tentang ini dan aku enggak akan menyerah. M-maksudku a-aku ya ... aku enggak akan menyerah." Ran tersenyum kikuk ke arah Zen yang tiba-tiba saja berbelok menuju toilet cowok. Ran tertunduk sesaat. "Aku dikacangin," bisiknya lalu segera pergi menuju toilet cewek untuk membersihkan make up dan kembali ke kelas. Beberapa kali Ran mencuci wajah di westafel dan beberapa kali juga Ran memandang pantulan wajahnya di cermin untuk melihat apakah make up tersebut sudah bersih atau belum. Hampir lima menit waktu yang ia habiskan di toilet cewek dan hasilnya kini wajah Ran kembali polos tanpa make up tebal bahkan jambul khatulistiwa juga turut layu karena terkena air. Aku lupa bawa tissue atau sapu tangan. Ran mengelap wajahnya dengan telapak tangan yang basah, meski tidak membantu sama sekali setidaknya tetesan air di ujung dagu akan berkurang. Menengok ke kanan dan kiri, Ran berharap bisa bertemu dengan Zen lagi. Namun, lorong kelas tampak kosong begitu pula dengan keadaan toilet cowok. "Ran," panggil seseorang yang terdengar tidak asing hingga membuat punggung Ran menegang karena kaget. Menoleh, Ran langsung bereaksi kaku terkejut karena tiba-tiba Adit menghampirinya terlebih lagi cowok tampan itu masih mengingat namanya dengan sangat baik. "Lo baik-baik aja? Make up lo dihapus, dimarahin guru, ya?" Adit terkekeh, sambil menepuk-nepuk bahu Ran. "Ran, Ran, lo jadi cewek manis banget bikin gue gemes. Asal lo tahu, sebenarnya elo itu sudah manis banget enggak pake make up, tapi karena mungkin itu gaya lo, gue cuma bisa bilang semoga sukses." Malu-malu Ran mengusap tengkuknya, ia suka mendengar pujian Adit dan dia tahu bahwa pujian itu menandakan bahwa Adit suka padanya. Namun, saat ini misinya bukan untuk mendapatkan Adit melainkan mendapatkan Zen--ia tidak mau merusak misi dari hasil belajarnya mendongkrak popularitas beberapa bulan lalu bersama Dea dan Alice. "M-maaf, Kak. A-aku pergi dulu." Buru-buru Ran berlari meninggalkan Adit bahkan tanpa membiarkan pemuda itu mengucapkan sepatah kata. "Yaelah, malah kabur, padahal gue 'kan ganteng," bisik Adit mengusap dagu dan bertolak pinggang. "Lo lucu, Ran gue jadi makin, deh." Sebuah senyuman mengembang di wajah Adit, matanya tertuju pada satu arah yaitu memandang punggung Ran yang berlari semakin jauh. Sambil berlari kembali ke kelas, hati Ran tidak berhenti bersorak penuh kegembiraan bahkan dewi batinnya selalu menari dengan membawa panah cupid yang siap ditembakan ke hati Ran. "Aku cantik, aku cantik, Kak Adit suka padaku, Kak Adit suka padaku." Ran bernyanyi sambil melompat lalu memutar tubuh sebelum mendekati pintu kelasnya. "Kehidupan populer sangat menyenangkan. Seperti kata Dea 'dapatkan Kak Zen kemudian buat skandal dengan Kak Adit lalu puncak popularitas akan berada dalam genggaman' yay." Ran bersorak pelan kemudian mengetuk pintu meminta izin untuk masuk ke kelas. Tanpa disengaja tatapan Ran tertuju pada Lea yang sedang menatapnya. Namun, buru-buru ia mengalihkan pandangan. Karena aku mau popularitas jadi aku harus mengorbankan hal lain. Ran kembali duduk di kursi dekat meja Dea dan Alice lalu mereka tampak sedang melakukan toast. Lea mengamati dengan tatapan muak karena Ran begitu bodoh. "Jangan sampai lo terlalu baper dan ngebuat lo sakit hati, Ran," bisik Lea kemudian melanjutkan aktivitasnya mendengarkan penjelasan guru kimia. Ia sudah memutuskan untuk tidak peduli dengan Ran. Namun, melihat kepolosan Ran terkadang membuatnya khawatir terutama setelah tahu bagaimana respon murid-murid cowok terhadap dirinya khususnya Zen dan Adit. Gue enggak tahu Adit nolong lo tulus atau hanya buat ngolok-ngolok elo dan gue juga enggak tahu Zen sejahat itu karena sifat bawaan atau karena muak sama lo, tapi gue khawatir sama lo, Bodo.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN