Hujan

1022 Kata
"Zen, lo pikir gue akan diam kalau dia datang lagi? Mending lo pergi sekolah sana! Gue sama Balinda bisa jaga ibu, kok." Ariska, kakak perempuan Zen berdiri bertolak pinggang di depan kamar tidur, sedangkan Balinda keponakan Zen sepertinya masih terlelap dalam mimpinya. Zen melirik sekilas ke Arah Ariska kemudian kembali memandangi yang selalu memiliki tatapan kosong di kala perasaannya tenang. "Aku enggak mau ambil risiko." Zen menggenggam tangan yang lalu mengusap rambut hitam berhiaskan sedikit rambut abu-abu di sela-selanya. "Enggak mau ambil risiko bukan berarti bolos sekolah! Gue tahu lo khawatir tapi sekolah juga penting." Ariska mulai kesal dengan sifat overprotektif Zen yang selalu berlebihan setiap kali orang itu muncul di dalam kehidupan mereka, sebelum orang ini adalah kisah masa lalu kelam mereka yang membuat sang ibu menjadi seperti sekarang. Tanpa pikir panjang Ariska menarik lengan Zen menyeretnya agar segera disiapkan dan di sana ada Maria yang mahasiswa tinggal di rumah mereka untuk merawat Ibu Zen sambil kuliah serta di saat Ariska bekerja di kafénya. "Aku bisa jalan sendiri." Zen menepis tangan Ariska lalu pergi menuju kamar. Di saat bersamaan Ariska tertawa kecil, sedangkan Maria hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Zen gengsinya tinggi dan Kak Ariska tahu itu, tapi malah pura-pura enggak tahu." Maria berdiri sesaat sebelum masuk mengantar sarapan ke kamar Ibu Zen. "Bagi gue dia cuma bocah yang masih butuh buat pahlawan, padahal dulu kita kecil dia nangis di bawah ketek gue." Ariska mengambil nampan memberikan makan diizinkan di tangan Maria. "Biar gue yang nemenin ibu makan. Lo bisa kerjain yang lain." Maria mengangguk dan segera pergi ke lantai satu. Ariska menatap ke arah Maria memastikan gadis itu telah pergi sebelum masuk ke dalam kamar izin. Ia memandang ke arah Wanita yang kemudian tersenyum. Meletakkan nampan di meja dekat tempat tidur, Ariska menarik kursi dan duduk di sisi ibunya lalu mengusap punggung tangan wanita itu. "Zen kita sudah semakin besar dan semakin bertanggung jawab, Bu hanya saja satu hal yang kutakutkan, yaitu kebenciannya terhadap para perempuan karena perbuatan ayah dan ...." Ariska membenamkan kepala di bahu ibunya--menangis pelan. Seperti menyadari kesedihan putrinya, Ibu Zen mengusap kepala Ariska dengan tatapan yang semakin sendu. Tidak ada suara di antara mereka dan Ariska sudah terbiasa dengan hal itu bahkan ia paham bahwa ibunya juga turut merasakan kesedihan atas nasib yang tidak berbeda jauh satu sama lain. "Aku berangkat. Telepon jika terjadi sesuatu." Suara Zen tiba-tiba memecah keheningan dan tanpa menunggu lagi Zen pergi meninggalkan kamar ibunya. Ia tidak suka pemandangan ini, yaitu melihat keluarganya bersedih akibat cerita masa lalu dan jika tidak memikirkan keluarga bisa saja Zen akan pergi untuk melaporkan perbuatan mereka kepada polisi. Namun, ia tahu bahwa Ariska tidak akan pernah menyetujuinya demi para perempuan perusak itu. *** Baru saja memarkir motor, sekali lagi Zen harus di hadapkan dengan sosok yang ia anggap merepotkan, yaitu sosok gadis cantik yang juga cukup sering mencoba untuk mendekatinya. Tanpa memedulikan keberadaan gadis itu, Zen melepas helm lalu segera pergi meninggalkan parkiran. "Zen, apa gue kurang cantik sampai lo perlakukan gue sama kayak cewek-cewek yang ngejar lo? Lo tahu, 'kan gue salah satu primadona ...." Gadis itu menghentikan kalimatnya dan melangkah lebar agar bisa menyusul Zen. "Zen, gue suka lo." Zen masih tidak peduli dan malah memasang earphone yang menandakan bahwa ia tidak ingin mendengar ocehan gadis tersebut. Namun, belum sempat memasang earphone dengan sempurna suara riuh mengalihkan perhatiannya. Di gerbang sekolah sekelompok cowok sedang berjalan di belakang tiga orang gadis dan salah satunya menggunakan sunglasses berbingkai corak macan. Gadis ber-sunglasses yang berpenampilan tidak sesuai dengan tampilan anak sekolahan itu terlihat seperti mencari seseorang tanpa peduli godaan mengolok dari para murid-murid cowok. Zen mengernyit sesaat mengetahui siapa gadis sunglasses itu kemudian segera memutar tubuh tidak ingin membuang waktu hanya untuk hal seperti demikian. "Cih, apaan, sih cewek norak itu? Dia yang nembak lo waktu festival itu, 'kan? Cantik juga gue." Merasa hanya membuang waktu, Zen kembali melangkahkan kaki menuju kelas setelah mendengar sayup-sayup perkataan gadis primadona yang mencegatnya di parkiran. Namun, baru beberapa langkah menjauh seseorang menegurnya. "Ciao bella, Kak Zen." Gadis sunglasses itu adalah Ran. Ia menurunkan sedikit kacamata dan memperlihatkan matanya yang berkedip beberapa detik ke arah Zen. "Akhirnya masuk sekolah juga. Wie geht es dir? Ah ... aku tahu kakak belajar bahasa jerman. Itu artinya apa kabar, 'kan?" Ran mengikuti langkah Zen, sambil memperbaiki tatanan rambut ponytail yang memiliki jambul khatulistiwa ala Syahrini. Zen tidak menghiraukan Ran yang dengan jiwa tidak patah semangatnya terus berusaha mengikuti langkah Zen, meskipun dia sendiri merasa kesulitan karena seragam yang kekecilan. "Ba-bagimana, Kak? Sudah su-suka padaku? Hari ini ... aku punya ha-diah lain buat Kak Zen." Sambil berjalan tergopoh-gopoh di sisi Zen, Ran berusaha merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Namun, seketika langkahnya terhenti ketika Zen sudah hampir memasuki kelas dan baru menyadari bahwa semua mata murid laki-laki sedang menatapnya. "Bunganya buat siapa, Cantik?" "Hari ini makin cantik aja. Jangan patah semangat buat ngejar Zen, ya." Ran memalingkan wajah ke arah suara tersebut, matanya melihat dua sosok cowok yang merupakan salah satu teman Zen--Rhoma dan Boim. Gadis itu mengangguk, mengacungkan jempol kemudian melirik ke arah jam kemudian segera berlari menahan lengan Zen. Terpaksa Zen berhenti sesaat karena tarikan Ran di lengannya cukup kuat. Mulai merasa kesal, Zen melepas sebelah earphone kemudian membalikkan tubuh sambil memasukkan kedua tangan di masing-masing saku celana abu-abunya. Ran mengeluarkan beberapa tangkai bunga lili hujan yang ia petik di perkarangan rumah dengan hiasan pita berwarna silver. Tangan gadis itu gemetar dan tampak sekali bahwa ia sangat gugup karena beberapa keringat jagung terlihat jelas di keningnya. "Sebuah batu karang, akan memberikan celah, se-telah terus-menerus diter-pa ombak. M-maksudku hati Kak Zen ju-ga akan seperti itu padaku k-karena aku adalah ombaknya." Ran menundukkan wajah di hadapan Zen setelah mendengar teriakan dari anak-anak cowok kelas XI Bahasa-1 yang menyoraki keberanian Ran. Zen bergeming melihat sekilas ke arah bunga lili hujan di tangan Ran. Ia tahu bahwa banyak orang yang memerhatikannya dan apa yang diinginkan gadis tersebut, sehingga tiba-tiba saja semua hening, menampakkan ekspresi terkejut setelah melihat apa yang dilakukan Zen terhadap bunga pemberian Ran. "Thanks," ucap Zen datar. "Yay!!!! Congratulation buat pasangan baru kita. Zen sudah enggak homo lagi!" Adit yang berdiri di dalam kelas tidak jauh dari pintu berteriak histeris sambil memeluk siapa saja yang ada di dekatnya. Anak-anak sekelas pun ikut bersorak gembira menyaksikan kejadian langka tersebut hingga mereka turut bertepuk tangan. Seketika Ran hanya bisa melongo turut terkejut dengan prilaku Zen. Ini terlalu cepat! A-apa akan secepat itu reaksi jambul khatulistiwa dan sapaan manja dari Syahrini? A-aku .... Brak!  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN