7 tahun--Penyesalan

1175 Kata
Semua tinggal rasa sesal. Lara berdiri di dekat jendela kamar. Ben, setiap kali mereka bertemu akan melakukannya lagi dan lagi. Tidak akan ada jeda, sekalipun tidak akan pernah ada jeda di antara mereka. Ben sudah pernah bilang kalau dia berjanji akan menikahi Lara nantinya. Begitu dia selesai melakukan pekerjaannya dan juga semua urusannya kelar. Maka Lara harus siap-siap menikah. Lara berkhianat pada orang tuanya yang sudah mempercayainya untuk menjaga diri. Usianya baru saja dua puluh tahun, tapi ia sudah melakukan ini—karena cinta bodoh itu. Rela melakukan segalanya demi sang kekasih. Tapi Lara tidak bsia berbuat apa-apa selain menuruti dan melayani Ben setiap kali diminta. Pasalnya pria itu juga mengatakan kalau dia akan menikahinya nanti, mereka memang selalu baik-baik saja setiap kali bertemu. Tidak akan pernah ada pertengkaran, mereka selalu mesra. Tapi ketika sedang sendiri, hati Lara dipenuhi dengan sebuah tanya yang begitu menyesakkan. Hatinya terluka. Pikirannya kacau. Menyesal? Sudah tidak ada gunanya lagi. Berapa kali mereka melakukannya? Sudah tidak terhitung lagi Ben mengajaknya bercinta yang mengatakan bahwa dia akan tetap bertanggung jawab. Lara merasa jijik pada dirinya sendiri. Kalau meninggalkan Ben, sudah pasti bahwa tidak semua pria bisa menerimanya dengan baik ketika dia sudah menjadi bekas pria lain. Lara juga merasa bodoh, mau saja disentuh oleh pacarnya sendiri. Hari ini dia akan bertemu dengan Ben juga. Pria itu selalu dekat dengan orang tuanya Lara, segala urusan pun selalu dibantu oleh orang tuanya Lara agar mereka bisa berteman dengan baik—atau mungkin bisa menjadi keluarga. Begitulah pikir papanya waktu itu. Tidak lama kemudian Lara keluar dari kamar dan menemukan sosok pria dewasa itu sedang berada di ruang tamu bersama papanya Lara. “Om, Tante, aku pamit dulu, ya.” Orang tuanya Lara memberikan izin karena sangat percaya bahwa Ben bisa menjaga Lara dengan baik. “Mau ke mana kita?” “Katanya mau cek rumah, hari ini aku mau ajakin kamu lihat rumah baru.” “Lho?” Lara sudah pasti senang mendengarnya. Di perjalanan Ben sesekali memegang tangannya ketika dia sedang menyetir. Sampai di sana mereka berdua turun dan melihat rumah itu. Tidak akan ada kata selain kata bahagia ketika Lara melihat rumah milik Ben. Yang artinya mereka akan menikah sebentar lagi. Mereka masuk ke dalam rumah yang mungkin jauh dari kata besar dibandingkan dengan rumah orang tuanya Lara. “Ra, aku beneran beli ini untuk kita.” Ben menggandeng tangannya. “Aku udah mulai tinggal di sini kok.” Raut wajah Lara begitu bahagia. “Kamu serius?” “Iya.” Ben melihat Lara begitu senang dengan rumah ini. Walaupun belum semua perabot ada di sini. “Aku belum beli perabot untuk dapur sih. Aku kan makannya beli, bawa piring dua biji aja dari rumah orang tua. Yang penting aku nggak numpang sama orang tua. Ini juga beberapa barang aku bawa dari apartemen.” Lara mengangguk cepat. “Kamu beneran, kan?” Ben mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. “Ra.” Dia memutar tubuhnya Lara lalu memberikan cincin itu. “Aku punya hadiah buat kamu.” Lara melihat sebuah cincin yang sangat indah ketika kotak itu dibuka oleh Ben. “Aku lamar kamu. Tapi janji jangan khianati aku!” Lara mengangguk cepat. “Aku mau, sangat mau.” Ben memasangkan cincin yang sangat indah itu ke jari manisnya Lara ketika mereka sedang berhadapan. Ben mencintai kekasihnya juga sudah lama. Tapi soal menyentuh, entah dia masih belum paham kenapa bisa merusak Lara. Tiba-tiba terasa sangat nyaman sekali pelukan itu. “Aku janji abis ini kita cepetan nikah. Biar kamu dan aku nggak begini terus.” Lara mengangguk kemudian dibalas senyuman oleh Ben. “Cincinnya dijaga! Aku nggak mau milikku diambil orang.” “Iya sayang iya. Aku usahakan jaga kok.” Lara tersenyum lalu memeluk Ben dengan nyaman ketika pria itu mencium keningnya. Meskipun rumah ini tidak begitu besar, setidaknya Ben sudah berusaha untuk menuruti kemauannya. “Mau lihat ruangan lain?” “Emangnya ada yang lain?” “Aku beli lemari untuk tempat n****+ kamu sayang.” Ben membuka kamar yang ada disebelah. “Nanti di sini aku kerja, kamu di sana baca buku. Kamu kan suka baca buku, jadi aku beliin lemari. Nanti kita ke toko buku buat beli isinya.” Lara tersenyum, “Itu tempat apa?” Lara menunjuk ke sebelah yang terlihat ada pintu juga. “Itu buat aku naruh barang-barang untuk kerjaan aku. Pokoknya nggak boleh berantakan.” “Oh gitu. Terus nanti aku minta sofa yang tunggal ya, maksudku yang tempat rebahan gitu, buat baca. Kamu bolehin?” “Besok kita beli bareng kalau aku libur kerja.” “Janji lho.” Lara semangat ketika Ben sudah mempersiapkan ini semua. Ben memeluknya dari belakang. “Kita nggak masalah kan kalau pestanya nggak besar? Uang aku tinggal beberapa, aku kan beli rumah sama perabot. Jadi kalau misal aku adain sederhana ... maksudku kita tetap resepsi. Terus uangnya kita tabung juga untuk masa depan. Siapa tahu kamu hamil, melahirkan, punya anak. Banyak banget kebutuhan kita. Mungkin undangan seratus orang gitu, keluarga besar sama teman-teman kita aja.” Lara mengangguk. “Iya tergantung kemampuan kamu aja. Papa juga bilang gitu kok. Jangan paksain kamu katanya. Yang penting orang tua kamu juga udah kamu kasih tahu.” “Udah kok. Mama sama Papa udah tahu, katanya ya tunggu kamu lulus. Sebentar lagi sayang. Tapi kalau kamu mau aku nggak masalah kok kalau kamu masih kuliah, tapi nanti sibuk sama tugas.” Lara berbalik ketika sudah melepaskan pelukannya Ben. “Sayang ... kalau aku mau jadi penulis. Kamu bolehin nggak?” “Boleh aja, kan aku nggak pernah minta kamu kerja. Yang penting kamu bisa jadi apa yang kamu mau. Terserah mau kerja atau nggak. Aku nggak masalah, cuman kalau kamu ada kegiatan aku lebih senang lagi. Misal di rumah lakukan apa kek. Yang penting kamu nggak bosan.” Lara melepaskan pelukannya begitu menerima telepon dari papanya. “Ada apa, Pa?” “Ra, bisa nggak kamu nginap di rumah teman kamu? Akses jalan satu-satunya ke tempat kita tuh jembatannya rusak. Kebawa arus, lagi hujan. Makanya ini Papa mau ke sana juga.” Lara panik, tentu. Dia harus tinggal di mana ketika jalan satu-satunya yang menjadi akses untuk pulang ke rumahnya tiba-tiba putus. “Ah iya, Pa. Nanti Lara bilang sama Ben buat nganterin.” Papanya menutup telepon kemudian Lara terlihat tidak tenang. “Kenapa sayang?” “Jembatannya putus.” Tidak lama setelah itu papanya mengirimkan foto jembatan putus yang terlihat arus sungai juga sangat deras. “Nggak ada korban?” “Nggak tahu, Papa mungkin dikirimin sama warga sana. Tahu kan mereka kompak banget. Ini tuh dulu bersih banget, terus makin ke sini malah kotor aja.” “Terus tadi Papa bilang apa?” “Nginap di rumah teman.” Ben tersenyum melihat kekasihnya malah cemberut. “Udah kita tidur sini aja. Nggak ada pilihan lain.” “Tapi Papa bilang di rumah teman.” Ben mengacak rambut kekasihnya. “Kamu tuh ya. Aku nggak bakalan apa-apain kamu kok.” Lara khawatir kalau dia diperlakukan lagi seperti itu oleh Ben. dijadikan pemuas nafsu lagi. Sejujurnya Lara paling takut hamil.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN