Bertemu Lagi

1193 Kata
“Huuffft.” Lara pulang kuliah sambil melempar tasnya kemudian berbaring di sofa ruang tamu. “Kenapa kamu pulang muka kusut gitu?” mamanya yang menghampiri ketika Lara tidur di sofa. “Telat ke kampus, dimarahin. Boleh kos ya, Ma?” “Bilang sama Papa kamu. Kalau Mama sih setuju aja, kamu bukan satu kali aja ini terlambat. Udah sering. Kalau gini izin aja sama Papa kamu. Biar kamu nggak telat lagi ke kampus.” Lara sangat malas ketika telat pasti akan dimarahi lagi, dia akan mencari kos ke tempat lain. “Tadi Ben telepon Mama.” “Ngapain?” “Pulang lah, dia nanyain kamu. Katanya nomor kamu nggak aktif.” Lara berbalik, katanya satu bulan. Tapi ini baru tiga minggu. Ben pulang secepat itu. “Ma, Papa belum pulang kerja?” “Belum lah. Mama juga baru pulang dari cafe shop. Nanti kamu kelola abis itu, jangan cari kerja deh. Mama nggak mau bikin kamu capek-capek cari kerja. Ohya Ben lamar kamu, kan? Kenapa nggak bilang?” Lara tertawa ketika memperlihatkan cincinnya ketika mamanya bertanya demikian. “Hehehe ... aku lupa bilang, Ma.” “Papa senang lho tadi Mama langsung telepon waktu kamu masih di kampus. Ben juga udah beli rumah, kan? Jadi kapan nih? Nggak usah lama-lama. Kalau Ben nanti ngajakin nikah, ya nikah aja. Mama sama Papa setuju kok.” Lara tersenyum ketika orang tuanya menyetujui pernikahannya dengan Ben. “Aku udah beli perlengkapan dan yang lainnya, Ma. Ben yang ngajak, terus katanya dia mau isi dulu untuk rumahnya.” “Iya, Ben juga nabung di Mama kok. Dia transfer ke rekening Mama. Jadi kamu nggak usah khawatir.” Lara meraih tasnya. “Ma mau mandi dulu, ya.” “Iya nanti Ben ke sini. Katanya mau ngasih kamu sesuatu.” Lara bergegas mandi, ketika Ben tidak mengabarinya tapi langsung mengabari orang tuanya. Sore harinya, terdengar suara mobil papanya. Lara keluar kamar dan menghampiri mamanya di dapur. “Ma, Papa kok cepet pulang?” Lara menyiapkan untuk makan malam mereka. Dia juga menuangkan air minum dan juga sudah menyiapkan semuanya. Papanya biasanya pulang jam delapan malam lebih. Namun sekarang lebih cepat dibandingkan biasanya. Terdengar pintu diketuk. Lara menoleh. “Eh bukan Papa, Ma.” Dia meletakkan gelas itu. “Iya sebentar.” Lara membuka pintu dan melihat ada Ben yang berdiri di depannya. “Eh kamu beneran ke sini?” Ben langsung menariknya lalu menutup matanya. “Aku kasih kejutan ke kamu.” Lara memegang tangan Ben ketika matanya ditutup oleh pria itu. Berjalan ke suatu tempat. Mereka berdua berhenti. “Kamu bisa tebak aku kasih apa?” “Hmm bunga?” Ben berbisik di telinganya, mereka sudah terbiasa seperti ini. Selama masih tahap wajar, orang tuanya Lara tidak keberatan. “Nggak.” “Sepatu?” “Nggak sayang.” “Terus apa dong?” Ben menurunkan tangannya ketika memberikan mobil untuk Lara. Mobil jenis hatchback berwarna putih di depannya masih baru. “Ben ...” Mamanya Lara keluar ketika Lara memeluk Ben ketika diberikan mobil oleh pria itu. Ben buru-buru melepaskan tangannya Lara dan tersenyum canggung ke arah mamanya Lara. “Mobil siapa, Ben?” “Aku beliin untuk Lara, Tante. Biar dia pakai kuliah. Aku naik jabatan, aku kasih hadiah ini untuk dia.” “Makasih, ya.” Lara bahagia ketika mendapatkan hadiah dari pria itu. “Ben, kamu kok repot-repot segala?” “Nggak apa-apa, Tante. Kan Lara calon istri aku. Jadi mau gimanapun juga aku harus tetap bahagiakan dia.” Lara tersenyum ke arah mamanya ketika memamerkan kunci mobilnya yang diberikan oleh Ben. “Boleh buka?” “Iya, boleh kok.” Lara melihat bungkusannya pun masih belum dibuka. “Kamu nggak usah ngasih kejutan gini juga aku udah bahagia.” “Aku naik jabatan, aku pelatihan waktu aku ke luar kota. Aku resmi naik, terus ini juga sebagai bentuk aku pengen serius sama kamu.” “Ma, boleh pergi bentar, nggak? pengen coba.” “Ya hati-hati.” Ben berpamitan dengan sopan lalu ikut juga ke mobil yang dikemudikan oleh Lara. “Kamu kenapa nggak ngabarin aku?” “Sengaja, aku sengaja cari masalah sama kamu. Biar bisa ngasih kamu ini.” “Ke mana kita?” “Ra, ke rumah, yuk!” “Kamu yang nyetir!” Ben mengalah karena sudah tidak tahan ingin menyentuh Lara. Dia memberikan banyak hal untuk Lara. apalagi dia membelikan mobil untuk kekasihnya sendiri seperti ini. Sampai di rumahnya. Ben mengajaknya masuk ke kamar. “Bentar, ya!” Lara sudah tahu bahwa tujuan dia ajak ke sini sudah pasti akan melayani Ben. Andai putus, dia tidak tahu apakah di luar sana ada pria yang menerimanya karena sudah tidak perawan lagi. Dia hanya bisa percaya pada Ben yang sekarang sudah menjanjikan pernikahan untuknya. Ben mengajaknya masuk ke kamar. “Ra,” pria itu menciumnya dengan sedikit brutal. “Bisa pelan, kan?” Lara mendorong tubuh Ben karena tidak suka dengan yang kasar. Ben membuka pakaiannya Lara sampai tidak ada yang tersiksa satupun sekarang. “Kamu nggak pakai pengaman?” Ben menggeleng lalu mencium lehernya Lara sampai wanita ini mendesah. “Ke tempat tidur.” Ben mendorongnya pelan sampai Lara terjatuh dan merasakan sensasi panas seperti biasanya ketika disentuh oleh Ben. Sudah lama sekali tidak bertemu dengan Ben. Pria ini masih saja hangat seperti dulu. “Ra, nikah duluan, mau nggak?” Lara menatap Ben penuh serius hanya mengangguk pelan. “Kamu kenapa tiba-tiba ngomong gini?” “Nggak ada, takut aja kalau kamu pergi ninggalin aku.” Ben tidak jadi menyentuhnya dan malah memeluknya dengan erat. Lara bangun dengan posisi masih telanjang lalu memeluk Ben. “Ada masalah?” “Ikut aku pindah ke sini, mau? Kita nikah.” Lara menatap Ben yang terlihat sedang menyembunyikan sesuatu darinya. “Kenapa?” Ben menggeleng pelan. “Pengen nikah aja. Takut kalau kamu diambil orang. Aku bakalan sering ke luar kota nanti. Tapi harus jadi istri aku dulu.” “Bilang sama Mama dan Papa!” “Nanti pulang kita, oke?” Lara mengangguk pelan. Ben berbalik lagi. “Anak aku udah jadi belum?” “Anak?” “Berapa minggu yang lalu. Kita pernah bikin, kan? Apa dia udah jadi?” Lara tertawa mendengarnya. “Kenapa ketawa?” “Kamu lucu sih. Masa sih harus jadinya cepet?” “Iya aku kan udah cukup umur jadi Papa, ya, kan?” Membayangkan dirinya jadi ibu muda justru membuat Lara geli ketika pria itu menindihnya lagi. Ben mencium lehernya dan sekarang lebih bernafsu lagi dari biasanya. “Sayang banget sama kamu, Ra.” “Sama.” Ben mulai menyatukan milik mereka, Lara juga sudah terbiasa sekarang. namun meski malu-malu karena mereka hanya sepasang kekasih saja. Ia memejamkan matanya begitu Ben sudah selesai dengan aktivitasnya menghujamnya berkali-kali. Lara mengatur napas ketika merasa miliknya berkedut usai bercinta dengan Ben. Ben mencium perutnya Lara. “Segera hamil, ya!” Ben tidur di samping Lara kemudian mencium keningnya. “Kamu kenapa pengen nikah tiba-tiba?” “Pengen aja.” “Yakin itu alasannya?” Ben menarik Lara ke dalam pelukannya. “Nggak ada yang masakin di rumah. Puas jawaban aku, hmmm? Walaupun kamu masih muda, tetap aja aku sayang kamu. Pokoknya nikah ya nikah.” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN