Air liur Ashel menggelitik melihat sepiring mie tiau yang disajikan di depan hidungnya yang kembang kempis. Aromanya benar-benar menggugah selera, ditambah lagi udang kesukaan Ashel berbaur di dalam mie, plus usus yang memang sejak siang belum diisi. Kalau saja Fariz tidak ada di hadapannya, pasti sudah disikat sejak tadi. Sekarang Ashel harus menahan sikap demi kata jaim ditengah perang badar dalam mulutnya. “Kita tunggu minumnya dulu baru makan.” Pernyataan apa itu? Mulut sudah ngiler masih saja dilarang makan. Ashel menelan saliva. “Ya udah, to the point deh, Pak. Tadi yang mau Bapak bicarakan apa?” “Oke sembari menunggu minuman datang, saya akan jelaskan. Saya menemukan tanah strategis di samping kampus tempat kuliahmu, saya sudah utus asisten menemui pemilik tanah tersebut