Bab 3. Bahagia berujung duka
Dengan ragu dokter Bayu meletakkan sendok garpu di atas piringnya yang baru dimakan seperempatnya saja. Benar kata istrinya, dia bahkan tidak bisa menelan makananya dengan baik sebelum mengatakan apa yang sudah beberapa saat ini ingin dia katakan pada sang istri
“Begini … sebelumnya aku mau minta maaf,” ucap dokter Bayu susah payah. Dia seakan menelan api di tenggorokannya hingga membuatnya kesusahan menelan ludah.
“Aku minta maaf, pernikahan kita baiknya sampai di sini saja,” ucap dokter Bayu akhirnya. Dia bernapas lega di akhir kalimat. Butuh banyak keberanian saat mengatakannya.
“Mas! Ini cuma Prank aja kan? Oh iya, ini april mop kan?” Larasati tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Perceraian? Dia menoleh ke kanan dan kiri memastikan letak kamera tersembunyi yang memang sudah disiapkan oleh suaminya demi mengerjainya. Ya, dirinya pasti sedang dikerjai. Tidak mungkin suaminya tercinta berpikir tentang perceraian. Ini pasti hanya candaan supaya anniversary mereka lebih berwarna.
“Kameranya di mana, Mas?” tanyanya lagi masih celingak-celinguk tak mengerti begitu tak menemukan apa yang dia cari. Tak ada yang mencurigakan di restoran tersebut. Tak ada kamera CCTV atau orang yang diam-diam merekam mereka.
Wanita cantik itu melihat ke arah sang suami dengan tatapan penuh tanya. Sungguh dia tak mengerti di mana salahnya. Matanya mulai berembun begitu menyadari tatapan sang suami tak terlihat sedang bercanda. Jadi lelaki yang sudah membersamainya selama sepuluh tahun itu sungguh-sungguh dengan ucapannya.
“Maaf,” gumam sang suami merasa menyesal karena sudah membuat istrinya sedih untuk pertama kalinya. Tetapi, ini sudah menjadi keputusannya. Dengan mantap dia berdiri dari meja makan di sebuah restoran yang memang sengaja dia pesan demi mengatakan keputusannya meskipun berat baginya.
“Mas serius?” tanya Larasati masih tak percaya dengan kenyataan yang ada.
“Iya,” sahut dokter Bayu dengan wajah datarnya. Baru kali ini lelaki itu menatap dingin ke arah istrinya. Tetapi, keputusan sudah diambilnya. Perasaan cintanya kepada sang istri sudah tak bersisa. Setidaknya, itulah yang dia pikirkan saat ini.
“Tapi kenapa? Salahku apa? Aku-aku akan memperbaikinya, aku janji,” ucap Larasati cepat tak ingin suaminya melakukan hal yang salah. Tidak boleh ada perceraian. Tidak. Dia segera meraih jemari suaminya yang berada di atas meja. Akan tetapi dengan kasar dokter Bayu menepisnya. Hati Larasati mencelos. Ini pertama kalinya suaminya menolak bersentuhan dengannya.
“Ini bukan salah kamu,” sahut dokter Bayu lirih, bahkan nyaris tak terdengar.
“Kalau bukan salahku, lalu kenapa mas ingin menceraikan aku?” tanya Larasati lantang. Gemuruh di dadanya terasa tak bisa dia tahan lagi. Suaranya yang keras mengundang para pengunjung restoran itu tertuju kepada pasangan tersebut.
“Bisa kamu pelankan suaramu! Memalukan!” geram dokter Bayu dengan suara geram tertahan. Dia tidak suka menjadi pusat perhatian seperti ini.
“Malu?” tanya sang istri mencoba meyakinkan perkataan sang suami.
“Tenanglah! Aku hanya ingin kita bercerai. Dan itu bukan karena salahmu,” sahut dokter Bayu dengan penekanan ditiap katanya.
“Hanya?” gumam Larasati tak percaya bahwa yang berbicara adalah suami tercintanya. Bagaimana dia bisa menganggap sebuah perceraian segampang itu? Dia berusaha menahan gemuruh yang kian tak bisa dia tahan lagi. “Apa ini masalah anak?”
“Bukan,” jawab sang suami datar. Wanita itu mencoba mencari kejujuran di mata sang suami. Tetapi, lelaki itu menghindari tatapannya.
“Lalu apa?” teriak Larasati hilang kendali. Wanita itu menggebrak meja hingga minuman yang berada di depan sang suami memercik ke muka sang suami. Membuat wajah tampan itu basah oleh anggur merah yang dia pesan.
“Aku sudah tidak mencintaimu,” gumam lelaki itu sebelum beranjak dari hadapan sang istri yang hanya mampu diam mematung menatap kepergian sang suami yang kini hanya bisa terlihat punggung tegapnya. Punggung yang selama sepuluh tahun ini menjadi tempat ternyamannya untuk bersandar. Benarkah cinta itu sudah tak ada lagi?
Janji suci pernikahan yang dulu terucap apakah tak lagi bermakna?
Sumpah setia, sehidup semati, apakah hanya ucapan tanpa arti?
Semudah itu?
“Tapi aku masih mencintaimu. Sangat,” gumam wanita itu sembari menatap punggung sang suami yang kian menghilang.
“Jika bukan salahku, lalu salah siapa?” gumamnya sendu. Air mata kini tak mampu lagi dia tahan. Tak perduli tatapan orang ke arahnya. Hatinya terlanjur sakit. Sangat.
“Kenapa kau memilih hari ini, Mas?” gumamnya menahan isakan yang hampir tak terbendung. Dia memandang meja yang sudah dipesan suaminya yang belum sedikitpun mereka sentuh.
“Kenapa buang-buang duit hanya demi menceraikan aku? Apa pentingnya?” Dia merasa dipermainkan. Harusnya suaminya tak membuatnya melambung ke awan jika akhirnya hanya akan menghempaskannya ke dasar jurang.
“Kenapa harus mereservasi tempat di restoran semewah ini?”
“Apa kamu pikir aku akan tersanjung?” tanyanya lagi seorang diri. Semua mata memandangnya iba.
“Dasar bodoh,” rutuknya pada dirinya sendiri yang sedari pagi berhayal akhir yang romantic dari dinner malam ini. Tidak terbersit setitikpun semua akan berakhir setragis ini baginya.
“Kejam kamu, Mas,” gumamnya lagi dengan langkah tertatih meninggalkan restoran mewah itu dengan diikuti beberapa pasang mata yang memandangnya dengan iba.
Penampilan spektakulernya sudah tak bersisa. Make-upnya sudah tak karuan karena air mata yang tak juga habis stoknya. Mascara hitamnya sudah mbeleber membuat wajahnya persis zombie.
Dia mengambil ponselnya guna menghubungi seseorang yang dia sebut sebagai sahabat. Seseorang yang harusnya selalu ada untuknya.
“Halo Celline,” sapanya begitu panggilannya terhubung.
“Hai Larasati … gimana dinner-nya? Suami kamu pasti terpesona dengan penampilan kamu kan?” cerocos Celline tanpa sadar sudah membuat hati wanita itu terluka. Suaminya bahkan tidak melihat perubahan penampilannya. Dia hanya bisa menghela nafas panjang saat mengingat pertemuannya tadi.
“Mas Bayu mau menceraikan aku, Cel,” raungnya memekakkan telinga sang sahabat di seberang sana.
“Apa!”
‘Bisa aku ke tempat kamu?” tanya wanita itu ke sahabatnya itu.
“Ten-tentu,” sahut sang sahabat tak terlalu yakin.
“Apa kamu sedang sibuk?” tanya wanita yang bernama Larasati kala mendengar nada ragu dari suara sang sahabat yang berhasil dia tangkap. Larasati memang sangat peka akan segala sesuatu. Sayangnya dia tak peka atas perubahan sang suami hingga memutuskan untuk menceraikannya. Salahanya apa?
“Oh, tidak terlalu. Aku selalu ada waktu untuk kamu,” sahut Celline merasa tak enak hati.
“Makasih ya Cel, kamu memang sahabat terbaikku,” ujar Larasati lirih. Ya, saat ini dia butuh Celline untuk menghiburnya. Entah kenapa dari sekian banyak temannya dia malah teringat pada Celline dibanding temannya yang lain.
“Santai aja, kamu juga selalu ada saat aku butuh,” sahut Celline membuat perasaan Larasati membaik.
“Ya sudah aku segera ke sana,” kata Larasati sebelum menutup ponselnya.
Dia masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Diedarkannya pandangan ke langit yang gelap tanpa ada satupun bintang. Begitulah kini perasaannya, kelam tak bercahaya. Cahaya yang biasanya selalu meneranginya entah kenapa padam tak berbekas.
Tadi pagi semuanya masih baik-baik saja. Suaminya masih begitu perhatian dan lembut. Kenapa semuanya berubah dalam sekejap mata.
Sebenarnya yang mana suaminya yang asli? Yang tadi pagi atau yang baru saja melemparkan bom tepat di depan matanya berupa perceraian?
Apa ini hanya mimpi? Kalau mimpi, segera bagunkan saja dia. Dia benci dengan kondisi saat ini. Dia selalu berpikir akan menua bersama dengan suaminya. Tak peduli apakah mereka akan dikaruani anak atauy tidak. Asal suaminya ada di sisinya. Itu saja sudah cukup.
Namun, sepertinya suaminya tidak sependapat. Dia lebih memilih menceraikannya. Apakah benar karena dirinya tak juga hamil? Itukah alasannya?
Dia juga ingin segera menjadi ibu. Apakah itu tak akan terwujud?
>>Bersambung>>
Hai Reader semua. Gimana hari kalian? Semoga terus bahagia.
Jangan lupa selalu bahagia.