Bab 7. Obat Kuat

1051 Kata
"Jangan ditahan, Saka. Ini semua untukmu," ucap Sela seraya menurunkan tali bahunya. Saka mendongak saat itu. Ketika kemudian, d**a Sela yang menantang menjadi pemandangan paling Saka sukai. Wanita itu tidak memakai dalaman, jadi adik iparnya bisa langsung melihat aset berharganya dengan puas. Saka menelan ludahnya dengan gusar. Sudah kepalang tanggung. Lebih baik, ia nikmati saja, pikirnya. Jadi, tanpa basa-basi, pria itu melahap apa yang ada di depannya. Kedua tangannya juga tidak tinggal diam. Keduanya bergerak seirama hingga membuat Sela mendesah. "Teruskan, Saka!" bisik Sela saat itu. Sayangnya, ketika pria itu ingin meneruskan petualangannya, ponsel di saku celananya berdering. Jadi, Saka kembali sadar. Buru-buru ia melepaskan diri dan melihat layar ponselnya yang menunjukkan nomer rumah sakit. "Halo." "Dok, urgent. Ada kecelakaan beruntun dan beberapa dokter sedang di ruang operasi. Apa dokter bisa ke rumah sakit?" Saka mengiakan. Pria itu lantas menutup sambungan telepon dan menatap sang kakak ipar yang sudah kepayang. "Maaf, Mbak," bisiknya seraya berlalu, sedangkan Sela memejam sesaat. Miliknya sudah gatal gara-gara ulah sang adik ipar. Jadi, bagaimana? Sela mencoba memuaskan dirinya sendiri dengan jarinya. Sementara itu, di restoran tempat Pram makan, Ani mengajak seorang wanita dan memperkenalkannya pada sang putra. "Sania." "Pramudia," sahut Pram ketika wanita itu mengulurkan tangannya. Keduanya saling tatap dan tersenyum. Sebelum itu, Ani telah mengatur pertemuan ini di tengah sibuknya pekerjaan Pram dan Harmoko. Wanita itu mengenal Sania sebagai salah satu karyawan teladan di kantor cabang milik keluarga Atmaja. Ia single parent dengan seorang anak laki-laki. Yang jelas terbukti Subur dan bisa memberi Pram keturunan. "Pram, Sania ini janda. Suaminya meninggal dalam kecelakaan. Mama sudah cerita banyak soal kamu ke dia. Jadi, untuk lebih jelasnya, kalian ngobrol saja, ya," kata Ani. "Ya, Ma." Ani lantas pamit setelah itu. Ia meninggalkan sang putra dengan wanita yang digadang-gadang akan menjadi menantunya. Tidak masalah ia janda. Bagi Ani, wanita seperti Sania adalah wanita yang bisa diandalkan. Ia juga mudah diatur karena Sania hanya hidup bersama anak laki-lakinya saja. "Jadi, kamu sudah tau masalah yang sedang aku hadapi, Sania?" tanya Pram. "Ya, Pak. Bu Ani sudah cerita semuanya," sahut Sania. "Syukurlah. Jadi, aku tidak perlu menjelaskannya lagi." Pram menjeda ucapannya, lantas kembali membuka suara setelah membuang napasnya dengan kasar. "Aku pengen sekali punya anak, San. Usiaku sudah pas untuk dipanggil Papa. Tapi istriku tidak bisa memberiku keturunan," ucap Pram. "Apa sudah periksa, Pak?" tanya Sania kemudian. "Aku sehat. Istriku yang mandul," jawab Pram tanpa ragu. Sania mengangguk lemah. Ia tak mau membahas hal itu lagi karena ia juga wanita. Ia paham bagaimana perasaan istri Pram yang mungkin terus dituntut untuk segera memberi keturunan. Nyatanya, tidak juga mendapatkan apa yang mereka inginkan. "Pak Pram yang sabar. Mungkin rezeki kalian bukan pada anak," jawab Sania. "Justru itu. Aku senang Mama ngenalin aku sama kamu, San. Kamu sudah terbukti sehat dan bisa memberiku kebahagiaan dengan hadirnya seorang anak. Jadi, aku tidak perlu khawatir lagi," sahut Pram. Sania hanya tersenyum kecil. Sejujurnya, ia merasa tidak enak karena pasti istri Pram akan sulit menyetujui pernikahan mereka. Makanya, Sania memberikan syarat pada Pram untuk bisa menghalalkannya. "Ya, Pak. Tapi, saya tidak mau menikah kalau istri Pak Pram tidak setuju. Bu Sela harus memberikan izin untuk pernikahan kita," kata Sania. "Kamu tenang aja. Sela nurut sama aku. Dia pasti mau karena itu juga demi kebahagiaanku. Aku kenal siapa dia. Dia sangat mencintaiku." "Justru karena Bu Sela sangat mencintai Pak Pram. Bisa jadi, melepas Pak Pram dengan wanita lain akan sangat susah," ucap Sania. "Ya, aku tau. Aku pasti akan membicarakan semuanya dengan Sela," sahut Pram. Sania mengangguk lemah. Wanita lembut itu tidak keberatan menjadi istri kedua bukan karena jabatan dan Pram. Namun, karena putra semata wayangnya butuh sosok ayah. "Soal Saga, bagaimana, Pak?" tanya Sania kemudian. "Anakmu? Kamu tenang saja, Sania. Aku tidak akan membeda-bedakan. Aku akan menyayangi Saga seperti anakku sendiri," kata Pram meyakinkan. Sania mengangguk lemah. Baiklah, ia tidak perlu cemas saat ini. Ia berharap Pram akan menepati janjinya jika mereka menikah kelak. Tak lama kemudian, Pram pamit ingin pergi ke kamar mandi. Pria itu dengan sengaja meminum obat kuat demi membuat Sania terpukau. Tentu saja, malam ini Pram akan membawa wanita itu ke hotel. Alih-alih hanya mengobrol, ia mau mencicipi tubuh wanita yang disodorkan sang mama malam ini juga. Sekembalinya dari kamar mandi, Pram meneruskan makan bersama Sania. Setelah selesai, ia langsung mengajak Sania untuk pergi. Ketika mobilnya berbelok ke hotel, wanita itu langsung melempar protes. "Kenapa kita hotel, Pak?" tanya Sania. "Aku mau ngobrol panjang lebar sama kamu. Aku mau bicara dari hati ke hati," ucap Pram. Walaupun tahu itu hanya alibi, tapi Sania mencoba memahaminya. Ia menghormati Pram dan berpikir positif mengenai tindakan pria itu saat ini. Pram sudah merasakan tubuhnya yang memanas sesaat setelah selesai cek ini. Ia menggandeng tangan Sania masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam. Alih-alih membiarkan Sania duduk dulu, Pram langsung menerkam wanita itu hingga Sania terjerembab ke ranjang. "Pak, ada apa ini?" tanya Sania panik. "Ayolah, Sania. Apa kamu tidak kasihan kepadaku?" "Tapi, Pak. Kita belum sah," kata Sania mencoba melepaskan dekapan Pram. "Tidak apa-apa, Sania. Aku akan pakai pengaman. Tidak akan ada yang terjadi," ucap Pram. Tangan pria itu sudah berhasil menerobos kemeja Sania. Namun, sekuat tenaga Sania melawan. Ia tak mau terburu-buru begini. Mereka belum dapat restu dari Sela, jadi jangan sampai melewati batas. Pram makin beringas, tapi pada satu kesempatan Sania berhasil melepaskan diri. Wanita itu langsung berdiri dan menatap Pram dengan takut-takut. "Pak, ini tidak benar," kata Sania. Pram membuang napasnya dengan gusar. Ia tak tahu apakah ia tetap ingin memaksa Sania atau tidak. Nyatanya, ia harus sabar karena rencana sang mama akan gagal jika ia bertindak gegabah. Pria itu membuang napasnya dengan kasar, lantas menunduk dalam. "Maafkan aku, Sania. Aku ... aku stres," ucap Pria itu. Sania akhirnya melunak. Sedikit banyak, ia paham apa yang terjadi. Jadi, ia mencoba memaklumi tingkah sang bos. "Ya, Pak. Tidak apa-apa. Saya permisi kalau begitu," ucap Sania seraya berlalu. Wanita itu tidak menunggu jawaban Pram karena tidak mau terjadi hal yang tidak-tidak lagi. Sementara itu, Pram mulai kehabisan akal. Miliknya telah berdiri sempurna, tapi tidak ada yang bisa ia jadikan pelampiasan. Jadi, ia mencoba menghubungi wanita malam yang bisa ia panggil saat itu juga. Tak lama kemudian, seorang wanita benar-benar datang. Pram langsung meminta gadis itu masuk ke kamarnya. Tanpa basa-basi pria itu duduk dan melepas celana panjangnya. "Puaskan ini! Gunakan mulutmu saja," titahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN