Bab 3. Benih yang Ditunggu

1180 Kata
"Aah ...." Pram mengerang kasar ketika ia sampai lebih dulu daripada sang istri. Permainan baru berjalan beberapa saat dan pria itu sudah tidak bisa menahan dirinya. Ini sudah terjadi bertahun-tahun dan Pram tetap tidak mau mengakui kekurangannya ini. Sela membuang napas kasar ketika Pram melepaskan diri. Tanpa kata, pria itu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri meninggalkan Sela yang terdiam di ranjang. Demi menutupi rasa kecewanya, wanita itu memilih menutup tubuhnya dengan selimut dan pergi ke dunia mimpi. Namun, ternyata tidak semudah itu. Ada sesuatu yang terus mengganjal di hatinya mengenai apa yang diderita oleh Pram. Mendengar pintu kamar mandi terbuka dari dalam, Sela menoleh. Sang suami sudah tampak segar dan mendekati ranjang di mana wanita itu berada. "Pram, kita benar-benar harus ke dokter," kata Sela. "Untuk apa?" "Kita konsultasi ke dokter, Pram. Kita harus cari penyebab kenapa kita enggak kunjung diberi keturunan," ucap Sela. "Kamu aja yang enggak sehat. Aku enggak mau. Aku sehat dan enggak ada masalah," kata Pram. "Tapi, Pram. Kita–" "Ah, sudahlah. Aku enggak akan ikut kamu ke dokter. Memang kamu aja yang mandul," ucap Pram yang kemudian pergi meninggalkan kamar itu. Air mata Sela tak terbendung mendengar penuturan sang suami. Selama ini ia tak pernah protes walaupun kebutuhan batinnya tidak pernah terpuaskan. Sela juga terima jika sang mertua terlalu ikut campur rumah tangga mereka. Lantas, mengapa Pram begitu tega? Malam itu, Pram memilih tidur di ruang kerjanya. Sementara Sela tak bisa terlelap sama sekali. Sepanjang malam ia memikirkan cara agar bisa membujuk sang suami untuk pergi ke dokter. Atau opsi lain agar wanita itu bisa memiliki keturunan. Namun, tidak ada satu pun cara yang bisa Sela temukan. Sampai ia mendengar suara deru mobil Saka yang masuk ke garasi. Dan cara gila itu muncul di kepala Sela. Pagi itu, ia mengeluh sakit pada sang suami. Tentu saja, Pram akan meminta Saka memeriksanya seperti biasanya. Dan ketika pria itu melakukan tugasnya, Sela mengutarakan niatnya. Sayang sekali, ketika Saka luluh, Pram malah masuk ke kamarnya dan hampir memergoki mereka. Sejujurnya, Sela merasa sangat bersalah kepada Saka karena tadi ia sempat memaksa. Namun, ketika ancaman sang mertua terlontar, pikiran Sela kembali kalut. Ya, hanya Saka yang bisa menolong wanita itu. "Kita coba sekali saja, Saka. Lalu, kita tunggu hasilnya. Mbak mohon sama kamu," ucap wanita itu seraya menatap sang adik ipar lekat. Mata wanita itu mengiba. Tatapannya begitu putus asa karena dengan gila meminta sang adik ipar memberikan benihnya. Walaupun sangat mudah dilakukan, tapi Saka masih tidak berani mengambil risiko. Jika ketahuan, entah hukuman apa yang akan ia terima. "Aku harus memikirkannya dulu, Mbak. Aku enggak bisa begitu saja melakukannya," kata Saka. "Kalau kamu takut ketahuan melakukannya di sini, kita bisa cari tempat lain," bujuk Sela lagi. Saka tak menjawab. Otaknya benar-benar penuh dengan hal menyenangkan yang mungkin bisa saja ia lakukan dengan sang kakak ipar. Namun, bisakah ia melakukannya? "Atau ... aku bisa pergi ke rumah sakit. Aku akan menyusul kamu nanti ke sana," ucap Sela. Mata wanita itu berbinar-binar ketika Saka kemudian mengangguk lemah. Sela bahkan tersenyum kecil dan pamit untuk pergi ke kamar. Sementara Saka hanya bisa diam. Tiba-tiba, ia berdebar-debar membayangkan semua yang akan terjadi nanti. *** Saka bersiap untuk pergi ke rumah sakit siang itu. Ketika berada di kamarnya, ia mendadak penasaran dengan apa yang dilakukan Sela saat ini. Apakah wanita itu masih bergelung dengan selimut seperti tadi ketika ia datang? Saka tiba-tiba teringat celana dalam milik Sela yang tadi dikantonginya. Buru-buru ia mencarinya di kantong celana yang tadi ia kenakan dan memegangnya dengan gemetar. Pria itu menelan ludahnya dengan susah payah. Ini hanya underwearnya. Bagaimana dengan isinya? Saka lantas menggeleng. Ia mengantongi benda itu lagi dan berniat mengembalikannya. Ketika berada di depan pintu kamar kakak iparnya, Saka hendak mengetuk. Namun, ia takut ada orang yang melihatnya. Jadi, ia langsung masuk karena yakin Pram tidak ada di dalam. Saat masuk, Sela tidak ada di ranjang. Namun, suara air di kamar mandi menjelaskan pertanyaan dalam kepala Saka. Sela pasti ada di sana. Dengan gila, pria itu menekan kenop pintu dan mendorongnya perlahan. Saka melongo ketika melihat tubuh sang kakak yang terekspos sempurna. Setiap lekuknya terpampang jelas di depan mata pria itu. Air yang membasahi tubuh Sela bahkan bisa Saka bayangkan bagaimana rasanya. Aah ... ia makin gila. Saka lantas kembali menutup pintu kamar mandi itu perlahan. Sebaiknya, ia kembali dan berpura-pura tidak mengetahuinya. Walaupun pada akhirnya, pria itu mendapatkan sakit kepala karena asupan oksigen dalam otaknya berkurang. *** Sore itu, setelah selesai praktik, Saka kembali ke ruangannya di lantai 2. Sebelum itu, ia mampir ke ruangan perawat demi memeriksa jadwal visit yang akan ia lakukan malam nanti. "Ini, Dok. Beberapa pasien sudah menunjukan tanda-tanda membaik. Sesuai permintaan Dokter Saka, pasien kecelakaan tempo hari mendapatkan pelayanan terbaik di rumah sakit ini," jelas salah seorang suster. "Oke, terima kasih. Jam berapa saya visit nanti?" tanya Saka. "Jam 8, Dok." Saka lantas melirik arloji di pergelangan tangannya dan mengangguk. Jam 8, jadi masih ada beberapa jam untuk membuang penat dalam dirinya. Pria itu kemudian tersenyum. "Baiklah kalau begitu. Nanti hubungi saya jika sudah waktunya. Saya mau istirahat di ruangan saya," kata Saka. "Baik, Dok. Oh, ya, Dok. Ada pesan tadi, katanya Kakak Ipar Dokter Saka sudah menunggu untuk sesi konsultasi. Tadi, Bu Sela sudah datang dan menunggu di depan ruangan dokter," ucap suster itu sambil tersenyum. Saka menarik napasnya dengan kasar. Lantas, mengangguk dan memaksa senyum terbit di bibirnya. Dadanya berdebar keras ketika mengetahui bahwa Sela sudah menunggunya. Apakah ini saatnya? Atau ... apa yang harus ia lakukan? Sebelum pergi dari ruangan perawat, pria itu mengambil segelas air putih dari dispenser dan menenggaknya hingga tandas. Saka perlu menenangkan diri ketika berhadapan dengan kakak iparnya yang terus membuat pria itu resah. "Aku enggak bisa menghindar lagi," bisiknya. Saka melangkah menuju ruangannya di lantai 2. Sepanjang bekerja tadi, ia telah memikirkan banyak hal. Mengenai keinginan gila sang kakak ipar, perlakuan Pram dan Ani, juga nasibnya sebagai anak dari istri kedua Harmoko yang terabaikan. Selama itu pula, Saka telah mengambil keputusan. Ia akan melakukannya demi membuktikan bahwa ada hal yang bisa Saka lakukan, tapi tidak bisa dilakukan sang kakak, Pram. Yaitu, membuat Sela hamil. Saat hampir sampai di ruangannya, Saka terdiam. Sejenak, ia mengamati tubuh sang kakak ipar yang menggoda. Sayang sekali jika ia mengabaikannya dan hanya menebar benihnya saja. Jadi, apa yang harus ia lakukan? "Saka." Panggilan Sela berhasil menarik atensi pria itu. Sela tersenyum menyambut sang adik ipar yang sore ini tampak gagah dengan snelli di tubuhnya. Aah ... pikiran wanita itu jadi tidak tenang. Apakah ini akan menjadi malam yang penuh dengan gelora bagi keduanya? "Silakan masuk, Mbak," ucap pria itu seraya membuka pintu. Setelah Sela melangkah ke dalam, Saka segera mengunci pintunya dari dalam. Saat itu, Sela segera menoleh dan menatap mata Saka lekat. Ia berdebar-debar karena ini kali pertama ia hanya berdua saja dengan sang adik ipar. Di ruangan pria itu dan merencanakan sesuatu. Jadi, bagaimana mereka akan memulainya? "Apa ... Mbak Sela sudah siap?" tanya Saka seraya melepas snellinya. Sela menelan ludahnya dengan kasar ketika melihat Saka melakukan itu. Wanita itu membuang napas kasar dan mengangguk lemah. "Ayo kita lakukan, Saka," katanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN