Bab 2. Godaan Kakak Ipar

1177 Kata
"Kenapa Saka lama sekali? Apa sakitnya parah?" ucap Pram ketika naik ke lantai 2 melalui tangga. Pria itu dengan mantap mengayun kaki hingga sepatu yang ia kenakan terdengar bergesekan dengan lantai marmer yang bersih. Saat sampai di depan pintu kamarnya, Pram tak mendengar apa pun. Jadi, ia tanpa permisi menekan kenop dan mendorong pintu hingga terbuka. "Apa yang kalian lakukan?" tanya Pram saat melihat Saka berdiri dan Sela berbaring di ranjang. Keduanya tampak tegang. Terlebih Saka yang hampir saja melakukan kesalahan. Sialnya, ketika ia menunduk underwear milik Sela yang dilepas berada di tepi ranjang. Jadi, ia bergerak cepat memasukan benda itu ke kantong celananya dan menjelaskan semuanya pada sang kakak. "Aku hanya meminta Mbak Sela menenangkan dirinya, Mas. Dia stres berat. Jadi, minum obat saja tidak akan sembuh," kata Saka. Pria itu menelan ludahnya dengan kasar usai bicara. Tubuh bagian bawahnya masih berkedut. Bahkan masih terlihat jelas tercetak di celana. Untung saja, ia masih memakai kaus yang panjangnya bisa menutupi bagian pangkal pahanya. Pram tidak menaruh curiga sama sekali. Ia mendekati ranjang dan melihat Sela yang menutup tubuhnya dengan selimut. Wanita itu tidak tidur. Hanya saja, tampak sangat kuyu karena menahan hasratnya yang kadung membumbung tinggi. "Dengarkan kata Saka. Jangan keras kepala begini. Kamu harus sehat kalau mau jadi Ibu. Jangan dikit-dikit sakit, dikit-dikit stres. Apa, sih, yang bikin kamu kayak gini, Sel?" tanya Pram tanpa memberi dukungan sama sekali pada sang istri. Sela hanya bisa terdiam. Bukankah suaminya memang selalu seperti ini? Sela bahkan hafal di luar kepala apa yang akan Pram katakan. Pram lantas berlalu dari kamar. Saat pria itu berbalik, Saka membuang napasnya dengan kasar dan menggeleng lemah. Hampir saja ia melakukan kesalahan. Saat itu, Saka melirik sang kakak ipar. Matanya masih berembun. Embun yang kemudian merembes melalui sudut matanya. Aah ... Saka tidak bisa melihat hal seperti ini. "Mbak Sela istirahat aja," kata Saka. Saka hendak berlalu ketika kemudian Sela membuka suara. "Kamu liat sendiri, kan, Saka. Kalau aku enggak bisa hamil dalam waktu dekat, mungkin Pram akan menceraikanku," katanya. Saka menelan ludahnya dengan susah payah. Sepertinya, ia memang harus bicara dengan sang kakak. Walaupun terlihat mustahil, tapi siapa yang akan tahu jika tidak dicoba. "Maafin aku, Saka," bisik Sela yang kemudian mengubah posisi tidurnya membelakangi sang adik ipar. Saka tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya menggeleng, kemudian berlalu dari kamar itu. Pria itu memilih bergabung dengan keluarganya di meja makan. Sudah ada Pram, Harmoko–sang papa–dan istri pertama Harmoko yang juga Ibu dari Pram, Ani. Saka lantas mengambil duduk di salah satu bangku kosong. Pria itu kemudian menatap sang kakak lekat, sebelum akhirnya membuka suara. "Mas, Mbak Sela stres karena kamu terus menuntutnya untuk cepat hamil. Kalian seharusnya pergi ke dokter bersama-sama," ucap Saka. "Tau apa kamu, Saka? Aku sama Sela udah nikah selama 5 tahun. Wajar kalau aku nuntut dia untuk bisa kasih aku keturunan. Aku baik-baik saja, kenapa harus ke dokter," sahut Pram cepat. Saka membuang napasnya dengan gusar. Ia hendak menimpali ketika kemudian, Ani ikut membuka suara. "Pram itu baik-baik aja. Selanya aja yang enggak pecus. Dia mungkin aja mandul. Jadi, jangan sok-sokan maksa Pram untuk memeriksakan diri. Lihat kakakmu, dia gagah dan sehat. Tidak mungkin bermasalah," katanya. Saka tidak lagi bisa berkata-kata. Posisinya yang hanya sebagai anak dari almarhumah istri kedua Harmoko membuat Saka tidak punya power untuk melawan. Selalu seperti ini sejak lama. Ia bahkan tidak pernah memiliki kekuatan untuk menentukan hidupnya sendiri selama ini. "Tapi Saka ada benarnya. Kalian pergi saja ke dokter kandungan. Konsultasi saja. Mungkin metode kalian keliru selama ini. Dokter pasti punya saran agar kalian cepat bisa mendapatkan keturunan," ucap Harmoko ikut membuka suara. "Ya, Pa. Nanti aku sama Sela ke dokter. Sekarang Pram mau fokus sama bisnis real estate kita. Pram udah menemukan arsitek yang pas untuk diajak bergabung," jelas pria itu mencoba mengubah topik pembicaraan. Saka tersenyum kecil. Real estate adalah mimpinya selama ini. Menjadi seorang arsitek juga keinginannya. Ia pandai menggambar dan mempelajari mengenai hal itu secara otodidak. Jadi, Saka terlihat sangat antusias. "Saka boleh ikut gabung, Pa. Saka bisa kasih referensi model rumah untuk–" "Ka, udahlah. Kamu urus aja rumah sakit kita. Soal bisnis, aku yang bisa diandalkan. Kamu itu terlalu baik. Dan enggak ada pebisnis yang bisa sukses kalau punya sikap seperti itu. Dikit-dikit pasti kasianlah, dikit-dikit enggak enakanlah. Sikap seperti itu bisa merusak bisnis yang berjalan," sahut Pram. Pria itu benar-benar tidak memberi kesempatan Saka untuk mengatakan apa yang selama ini pria itu inginkan. Menjadi dokter juga bukan kemauan Saka. "Ya, Pram bener. Mama dengar kamu kasih fasilitas gratis juga kemarin kepada orang miskin yang anaknya kecelakaan. Kamu pikir rumah sakit kita panti sosial. Jangan terlalu baik. Kita juga kerja keras membangun bisnis keluarga ini," sahut Ani seraya mengunyah sandwich di mulutnya. Saka membuang napasnya dengan kasar. Keluarga ini benar-benar toxic. Pria itu bahkan tidak diberi kesempatan untuk hanya sekadar menolong orang. Jadi, kapan ia akan lepas dari belenggu ini? "Pram pergi dulu, ya," kata Pram setelah selesai mengelap mulutnya. "Hati-hati, Sayang," sahut Ani. Pria itu menyalami tangan Harmoko dan Ani bergantian. Kemudian berlalu usai menepuk bahu Saka. Tak lama, Harmoko juga pergi, sedangkan Saka akan tinggal di rumah karena ia harus pergi ke rumah sakit nanti siang. Saat hendak kembali ke kamarnya, ia melihat Ani masuk ke kamar Sela. Jadi, ia mencoba mendengar apa yang ibu tirinya itu bicarakan dengan sang kakak ipar. "Enggak usah manja. Mama tau, kamu yang mandul, Sela. Kalau sampai awal tahun kamu benar-benar enggak bisa hamil, Mama akan suruh Pram nikah lagi. Terserah kamu setuju apa tidak," katanya. "Ma, aku sehat. Aku enggak mandul. Pram yang harusnya periksa ke dokter," ucap Sela. "Diam kamu! Anakku enggak mungkin mandul. Pokoknya Mama enggak mau tau. Itu sudah jadi keputusan Mama." Ani lantas berlalu. Sementara itu, Saka terdiam di tempat persembunyiannya. Bagaimana mungkin Sela tidak stres jika Ani terus memaksanya seperti itu. Selain dukungan dari Pram, bukankah wanita itu juga butuh support dari mertuanya. Saka membuang napas dengan kasar. Ia masih terdiam demi memikirkan banyak hal. Termasuk membantu sang kakak ipar. Sekelebat pikiran gila mampir dalam otaknya. Namun, Saka buru-buru menggeleng. Pria itu hendak berlalu ketika kemudian Sela memergokinya menguping. "Kamu denger sendiri, kan, Saka, Apa yang dikatakan Mama? Apa kamu enggak kasian sama aku? Mama akan segera mencarikan istri baru untuk Pram. Dan aku tidak punya pilihan lain selain menerimanya," kata Sela memelas. "Tapi, bukan dengan cara seperti itu, Mbak. Aku ini adik iparmu." "Justru karena kamu adiknya Pram, jadi aku tidak perlu cemas. Anak itu nanti akan tetap jadi keturunan dari keluarga ini," ucap Sela menggebu-gebu. Saat itu, Saka berpikir sejenak. Semuanya masih tidak bisa diterima oleh akalnya. Mana mungkin hal seperti itu dilakukan. Namun, ketika mengingat apa yang dilakukan oleh keluarga ini kepadanya selama ini, pria itu mendadak gusar. Saka menatap tubuh Sela yang hanya berbalut pakaian tidur dengan nyalang. Tidak ada celah untuk mengatakan tidak pada wanita itu. Sela sangat cantik dan bisa membangkitkan libidonya tanpa banyak gaya. Jadi, apakah ia harus melakukannya? "Kita coba sekali saja, Saka. Lalu, tunggu hasilnya. Mbak mohon sama kamu, Saka," kata Sela seraya mengusap lengan Saka dengan lembut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN