"Masuk, Sania!"
Ani meminta tamunya masuk ke kamar tamu. Wanita itu tampak begitu ramah pada Sania, sama seperti ketika dulu Sela datang. Ketika sudah ada di dalam kamar, Sania menidurkan Saga di ranjang. Kemudian, duduk di sofa di mana Ani berada.
"Kamu tenang saja. Aku akan urus soal Sela," kata Ani.
"Sebaiknya jangan dipaksa, Bu. Saya juga wanita. Saya paham bagaimana rasanya menerima wanita lain dalam hidup suami kita," kata Sania.
"Enggak. Sela akan mengerti setelah dijelaskan. Pram pasti bisa melakukannya. Pram itu lembut. Mama yakin, dia bisa memberi pengertian kepada Sela," jelas Ani.
Sania terdiam. Lembut? Apakah waktu di hotel itu bisa dikatakan lembut juga? Aah ... Sania tak mau membahas semuanya. Pram sudah bilang jika ia khilaf waktu itu. Jadi, mungkin memang benar jika rumah tangga mereka sedang tidak baik-baik saja.
Tak lama kemudian, Ani pamit untuk keluar dan meminta Sania beristirahat. Ia akan memanggil wanita itu ketika nanti jam makan siang tiba. Sania manut-manut saja. Ia kemudian merebah di samping Saga yang terlelap.
Tangan wanita itu terulur demi mengusap kening sang putra. Sudah hampir 3 tahun ia membesarkan Saga seorang diri sejak sang suami meninggal. Waktu itu, Sania masih mengandung Saga ketika suaminya mendapat kecelakaan. Beruntung, ia tak terpuruk begitu lama. Saga adalah penguat baginya. Jadi, Sania mau Saga mendapatkan kasih sayang dari seorang papa juga.
Tak lama, bocah kecil itu bergerak-gerak. Tangannya meraih kemeja sang mama dan mulutnya yang mungil terbuka sedikit. Sania tahu, bocah itu pasti haus. Jadi, ia membuka kemejanya demi bisa memberikan ASI yang seharusnya sudah ia lepas. Namun, wanita itu terlalu kasihan pada sang putra. Walaupun usia Saga sudah 2 tahun lebih.
"Mau nete, Sayang," bisiknya.
Tanpa sungkan, wanita itu mengasihi sang buah hati. Hingga tanpa sadar, pintu kamar itu terbuka dari luar. Sania masih memperhatikan Saga yang terlelap ketika Saka mengintipnya dari pintu yang terbuka sedikit. Pria itu terkesiap. Kemudian, mundur dan kembali menutup pintu. Ia bersandar pada kusen dan menelan ludahnya dengan gusar.
"Apa itu tadi?" bisiknya.
Walaupun tahu dan bahkan pernah melihat ibu-ibu yang menyusui anaknya di rumah sakit, tapi bagi Saka ini berbeda. Bukan hanya ukuran, tapi juga pesona Sania yang membuatnya gila.
Saka menggeleng lemah. Niat bicara dengan wanita itu sirna sudah karena pemandangan tadi. Mungkin akan lebih baik jika ia tidak ikut campur urusan rumah tangga kakaknya. Lantas, bagaimana dengan Sela?
***
Hari pernikahan itu diatur setelah Sela menandatangani surat yang menyatakan kesediaannya untuk dimadu. Tentu saja, Ani yang mengatur semuanya. Wanita itu mempersiapkan segalanya untuk sang putra dan calon istri barunya.
Kediaman Atmaja dihias sedemikian rupa dengan bunga-bunga segar. Acara ini hanya akan mengundang beberapa kerabat sesuai permintaan Pram.
Sela yang melihat para tukang lalu lalang tersenyum kecil. Semiris ini ternyata kisah cintanya. 2 hari lagi, ia akan berganti status dari istri satu-satunya menjadi istri pertama. Bukan suatu kebanggaan karena itu artinya, ia akan dikesampingkan.
Sela kemudian mengambil tas di kamar. Mungkin sedikit minum bisa meringankan isi kepalanya yang penuh. Jadi, tanpa pamit ia pergi ke kelab menggunakan taksi. Saat itu, Saka yang baru sampai di rumah melihat sang kakak ipar yang tampak gusar. Jadi, ia memutar kembali mobilnya demi mengikuti Sela. Saka tahu, Pram tidak akan pernah peduli pada Sela setelah menikah dengan Sania. Jadi, mungkin ia bisa menjaga wanita itu dari orang jahat jika ia mengikuti ke mana Sela pergi.
Dan pikiran Saka benar. Sela masuk ke kelab dan memesan minuman beralkohol. Wanita itu tampak sedikit lega ketika menenggak minuman keras itu hingga tandas dari gelasnya. Lantas, tersenyum kecil.
"Sial memang! Pram yang kurang perkasa, kenapa aku yang harus jadi korban? Mau menikah 10 kali pun tidak akan pernah ada yang bisa hamil. Tau kenapa? Karena suamiku yang mandul. Ha-ha-ha."
Saka yang melihat dan mendengar ucapan Sela hanya bisa diam. Pria itu masih duduk tak jauh dari sang kakak ipar demi bisa mengawasinya. Mental Sela memang sedang diuji saat ini. Dan sialnya, ia merasa kasihan. Jadi, apa yang bisa Saka lakukan selain mengawasinya?
"Mama juga sama gilanya. Mertua macam apa yang meminta putranya nikah lagi, padahal dia tidak tahu masalah sebenarnya. Kalau aku bilang, Pram yang tidak bisa punya anak, pasti aku kena marah. Ha-ha-ha. Sialan memang."
Sela mengumpat. Namun, air matanya juga mengalir. Niat menikahi Pram untuk mengubah hidup, tapi sialnya semua tak berjalan mulus. Ia memang tulus mencintai pria itu, tapi jika diperlakukan demikian gila. Apakah ia masih bisa terima?
Sela makin banyak menenggak minuman keras dan mulai hilang kendali. Sesekali ia tertawa, lalu menangis lagi. Saka akhirnya tidak tahan. Jika dibiarkan, Sela tidak akan terkendali.
"Hei, berikan aku satu minuman lagi," teriak wanita itu pada bartender.
Saat itu, Saka langsung mendekat dan menggeleng lemah. Ia meminta karyawan kelab untuk tidak meladeni permintaan sang kakak ipar dan ia mulai bicara.
"Mbak, sudah. Kita pulang, ya," katanya.
Sela menyipitkan mata ketika mendengar suara adik iparnya. Ia harus memastikan jika itu benar Saka. Dan senyum wanita itu terkembang setelah melihat wajah sang adik ipar di depan matanya.
"Saka, kamu datang?" katanya.
"Ya, Mbak. Aku mau jemput Mbak Sela. Kita pulang, ya," ucap pria itu.
"No. Bawa aku pergi saja, Saka. Aku lelah," bisik wanita itu.
Sela tersenyum, lalu mengulurkan tangannya mengusap pipi sang adik ipar.
"Aku enggak mau pulang, Saka. Aku pasti nangis kalau lihat mimbar pengantin di rumah. Pram benar-benar sudah tidak mencintaiku. Kenapa dia menikah lagi, Saka? Padahal dia yang bermasalah," ceracau Sela.
Saka tak menimpali. Gegas ia membawa tubuh sang kakak ipar yang sempoyongan ke mobil. Lantas, berpikir sejenak. Tidak mungkin ia membawa Sela kembali ke rumah dalam keadaan mabuk begini. Dia bisa merusak semuanya. Terlebih, Pram dan Ani akan makin tidak menyukainya. Jadi, apakah sebaiknya mereka ke hotel saja?
Dan niat membantu sang kakak ipar benar-benar membuat Saka terlena. Ketika mereka sudah masuk ke kamar hotel, Saka membantu Sela merebah di ranjang. Ia juga melepas heels milik sang kakak ipar dan melihatnya dengan sedikit iba. Entah kenapa, semua jadi seperti ini. Ia kasihan, tapi apa yang bisa ia bantu?
Sementara itu, Sela yang kembali mendapatkan kewarasannya tersenyum kecil. Ia yang awalnya rebah, sekarang mengambil duduk. Ia menepuk tepi ranjang dan meminta sang adik ipar duduk di sana. Saka pun manut. Ketika Saka sudah mengambil duduk, Sela meletakkan kepalanya di bahu pria itu perlahan.
"Aku capek, Saka. Aku lelah. Tidak ada yang mendengarkanku. Termasuk suamiku sendiri. Apa ... nasibku memang seburuk ini?" bisiknya.
"Jangan bicara begitu, Mbak. Semuanya sudah ada yang mengatur. Kita hanya tinggal menjalaninya saja."
"Tapi ini terlalu berat. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Tidak ada yang bisa mengerti bagaimana perasaanku," jelas Sela.
Wanita itu mulai menangis. Saat itu, tangan Saka bergerak demi menepuk bahu sang kakak ipar yang berguncang. Saka tidak tahu, tapi mungkin saja ini bisa membuat Sela tenang. Dan benar, setelah mendapatkan perlakukan manis dari sang adik, Sela mulai sedikit tenang.
Dalam dekapan Saka, wanita itu mendongak demi bisa melihat wajah sang adik ipar yang sama tampannya dengan Pram. Saka juga menunduk. Mereka saling tatap beberapa saat, sampai akhirnya Sela memulainya lebih dulu.
Ciuman wanita itu mendarat di bibir sang adik ipar. Walaupun terkejut, tapi Saka dengan tenang meladeninya. Pria itu mulai sedikit kalut ketika Sela menempelkan tubuhnya. Seolah-olah meminta sang adik ipar untuk berbuat lebih. Dan sialnya, setan datang di saat yang tepat.
Bibir mereka masih bertaut ketika tangan Saka yang bergetar menurunkan tali di bahu sang kakak ipar. Sela merasakan kelembutan perlakuan Saka waktu itu walaupun matanya terpejam. Ia juga menikmati sentuhan itu hingga Saka melepas ciumannya. Fokus pria itu kini berpindah ke d**a ketika Sela kembali merebah. Dengan gusar, Saka menjamah tubuh Sela dengan tangannya yang bergetar. Saat itu, Sela hanya bisa menahan diri. Entah kenapa, Saka tampak sangat gugup. Berbeda dengan percintaan mereka malam itu di mobil. Namun, Sela tak mempermasalahkannya. Ia mau dipuaskan malam ini. Ketika kemudian, Saka berhenti tepat di depan titik paling sensitif sang kakak ipar, pria itu menahan nafsunya dan mendongak demi melempar tanya.
"Mbak, apa ... aku boleh ...."