Flo bergegas untuk segera kembali ke apartemen. Perasaannya begitu hancur. Kini dia sudah dalam perjalanan menuju apartemen.
"Mengapa tidak ada satu orang pun yang peduli dengan perasaanku?"
Air mata yang sejak tadi dia tahan, akhirnya jatuh juga. Setelah rasa kecewanya terhadap maminya. Kini dia merasa kecewa kepada Laura dan juga Devan.
"Aku tidak boleh sedih! Justru ini petunjuk baik dari Tuhan untukku. Andai saja aku tidak mendatangi apartemennya pagi ini. Pasti sampai saat ini aku akan terus merasa bersalah, karena mengkhianati cintanya. Dunia memang lucu. Aku yang berniat menyakitinya, ini justru aku yang tersakiti," ucap Flo tersenyum getir.
"Aku harus kuat melewatinya. Ini sebuah keberuntungan untukku. Aku akan mendapatkan uang yang banyak. Dengan begitu, aku bebas melakukan apapun yang aku mau." Flo berusaha menguatkan diri.
Dia usap air mata yang membasahi wajahnya. Taksi yang membawanya, sudah sampai di apartemen. Dia langsung menuju unit apartemennya. Flo sampai melupakan jam makannya.
Sejak bangun tidur, dia belum makan apapun. Flo tidak tahu, kalau saat ini William sudah berada di apartemennya. Wajahnya terlihat kesal, karena menunggunya tidak kunjung datang.
"Dari mana saja kamu? Enak ya bisa bebas kemana saja yang kamu suka. Sepertinya, kamu lupa dengan apa yang saya katakan padamu," tegur William, saat Flo melangkahkan kakinya masuk ke dalam.
Suara barito William membuat Flo tersentak kaget. Mata William mendelik menatap ke arah Flo. Ada pertanyaan dalam hati William, saat melihat penampilan Flo yang hanya menggunakan celana jeans panjang dan kaos tanpa kerah. Penampilannya sangat sederhana. Wajahnya pun tanpa riasan. Meskipun demikian, William mengakui kalau calon istri kontraknya itu cantik.
"Tuan bilang, aku harus memutuskan hubunganku dengannya? Dasar orang aneh!" Umpat Flo yang langsung pergi meninggalkan William begitu saja. Perasaannya sedang tidak karuan, dan kehadiran William menambah semakin buruk.
"Apa? Kamu bilang saya orang aneh?"
William merasa kesal. Dia langsung menarik tangan Flo dengan kasar, membuat da*da mereka bertabrakan. Kini netra mereka saling bertemu. Posisi mereka begitu dekat, membuat jantung Flo berdegup kencang. Wajah Flo terlihat pucat. Dia takut, kalau William akan menerkamnya saat ini juga. Sungguh, dia merasa belum siap untuk melakukannya.
Ya, Lagi-lagi William tidak mampu menahannya. Dia mencium bibir Flo dengan rakus, membuat Flo hampir saja kehabisan oksigen. Flo memukul-mukul d**a bidang William, agar William melepaskannya.
"Apa Tuan tidak waras? Hampir saja aku mati, karena kehabisan oksigen," kata Flo ketus.
William tertawa geli mendengar penuturan Flo yang baginya begitu polos. Dia belum menyadarinya, kalau ini pertama kali dia tertawa kembali.
"Makanya, kamu itu harus sering belajar berciuman. Agar kamu semakin pintar," sahut William dengan santainya.
"Berarti kamu sudah tidak menjalin hubungan dengannya?" William memastikan dan Flo hanya menganggukkan kepalanya. Dia tidak ingin banyak bicara.
Flo melangkahkan kakinya menuju dapur. Perutnya terasa lapar. Dia langsung membuka kulkas, untuk melihat bahan apa saja yang berada di lemari pendingin. Sejak dulu, dia memang sudah terbiasa hidup mandiri. Meskipun dia hidup dengan ibu kandungnya. Flo sudah terbiasa memasak.
"Kamu mau ngapain? Kedatangan saya kesini ingin mengajak kamu mempersiapkan pernikahan kita," ujar William, yang kini berdiri di hadapan Flo.
"Ya, sebentar. Aku ingin memasak makanan dulu. Sejak tadi aku belum sempat makan," sahut Flo, berusaha bersikap santai.
Flo terlihat sudah memulai memasak.
"Kenapa tidak beli saja? Seperti orang susah saja. Saya 'kan sudah memberikan kamu uang yang banyak dan juga black card. Kamu bisa membeli apapun yang kamu mau. Tidak perlu capek-capek memasak." William berkata.
"Aku sudah terbiasa memasak," sahut Flo yang terlihat sedang asyik memasak.
Memang benar apa yang dikatakan William. Flo bisa membeli apapun yang dia mau. Tapi, Flo lebih suka makan masakan rumahan. Tidak akan ada yang berbeda darinya, meskipun dia sudah memiliki uang yang banyak. Flo tetap menjadi wanita yang sederhana, karena dia berpikir ke depannya. Pernikahan dia dengan William akan berakhir, dan dia akan kembali kepada kehidupannya seperti biasa.
Sejak tadi tatapan William terfokus ke arah Flo yang sedang memasak. Baginya, Flo terlihat begitu seksi. Ingin sekali dia menerkamnya. Baru melihat lekuk tubuh dan leher jenjang Flo saja, miliknya sudah bereaksi.
"Apa aku harus menerkamnya sekarang juga? Ah, tidak—tidak! Aku harus menahannya dulu." William bermonolog dalam hati.
Hingga akhirnya dia memilih mencari pengalihan. William memilih memainkan ponselnya. Harumnya masakan Flo, membuat perut William bernyanyi.
"Apa Tuan sudah makan? Kalau belum. Ayo, kita makan bersama! Aku memasak lebih. Bisa untuk makan berdua," ucap Flo.
"Kamu saja yang makan! Tadi saya sudah makan," jawab William dingin.
"Ya sudah."
Sesekali William melirik ke arah Flo yang makan dengan lahap. Melihat Flo makan, perutnya menjadi lapar. Dia jadi menginginkan makanan yang Flo buat.
"Kalau Tuan mau, ini masih ada. Tidak perlu gengsi. Nanti Tuan sendiri yang menyesal," sindir Flo. Dia tahu, kalau William sesekali melirik ke arahnya, dan berkali-kali menelan salivanya. William gengsi, untuk mengakuinya.
Setelah selesai makan, Flo langsung bersiap-siap untuk berangkat. Kini mereka sudah dalam perjalanan menuju boutique. Selama dalam perjalanan, keduanya terlihat hanya diam. Sibuk dengan pemikiran masing-masing.
Mobil yang membawa mereka sudah sampai di tempat tujuan. William memesan gaun pengantin untuk Flo dan juga tuxedo untuknya. Setelah selesai, mereka langsung menuju toko perhiasan untuk membeli satu set perhiasan. Termasuk cincin pernikahan mereka.
Setelah selama satu minggu dipersiapkan, hari ini mereka akan menikah. Flo sudah terlihat cantik dan William terlihat tampan. Kedua orang tua William tidak tahu, kalau mereka hanya menikah kontrak. Flo sudah menandatangani kontrak perjanjian dengan William. Setelah anak mereka lahir, William akan langsung menceraikan Flo.
Tidak ada perasaan bahagia di hati Flo. Pernikahan ini bukanlah pernikahan yang dia inginkan. Dia menikah bukan dengan orang yang dia cintai. Terlebih pernikahannya tidak dihadiri kedua orang tuanya. Hatinya menaruh dendam kepada maminya, yang tega menjualnya kepada William.
Serangkaian acara pemberkatan sudah selesai dilakukan. Mereka sudah selesai mengucap janji sehidup semati. Kini saatnya, acara bertukar cincin. William memasangkan cincin pernikahan mereka di jari manis Flo, dan memberikan kecupan di pucuk kepala dan kening wanita yang sudah resmi menjadi istrinya.
"Semoga kebahagiaan selalu menyertai rumah tangga kalian, dan kalian bisa segera diberikan keturunan. Agar William memiliki penerus nantinya," ucap Mami Rosella kepada anak dan menantunya.
Flo berusaha untuk tersenyum, menutupi luka di hatinya. Dia berusaha untuk bahagia, karena setelah ini kebahagiaan akan menyertainya. Dia tidak akan lagi kekurangan uang. Semua bisa dia miliki. Dia akan membuka lembaran baru.
"Berusahalah menjadi istri yang baik, selama kontrak pernikahan ini berlangsung!" William mengingatkan.
Flo memilih tidak menjawab ucapan William. Dia justru tersenyum sinis. Acara pernikahan mereka berlangsung cukup meriah. Meskipun hanya dihadiri orang-orang terdekat William. Ini adalah pernikahan kedua bagi William.
"Persiapkan malam ini! Saya akan memintanya langsung kepadamu!" Bisik William di telinga Flo.