Bertemu Kembali
POV Intan
" Toloooong, keluarkan aku dari sini " Ku dengar kembali jeritan itu.
" Pak....Pak Wisnu, Bi Wati.......toloong keluarkan aku dari sini " Suara itu terdengar semakin pilu, aku melihat ruangan yang semakin gelap, Perempuan itu meringkuk di sudut ruangan yang penuh barang barang rongsokan. Teriakannya hanya sebuah lolongan kosong. Kerongkonganya sudah kering karena terus berteriak minta tolong.
Ia merasakan kakinya dialiri sesuatu. Semakin lama semakin deras, perempuan itu baru menyadari kalau cairan itu adalah darah. darah yang keluar dari rahimnya.
" Jangan nak, jangan tinggalkan ibu nak " suaranya sudah serak untuk menangis, sederas aliran yang sudah menggenang di bawah kakinya, sederas itu pula air mata mengalir di matanya. Darahnya sudah terkuras keluar hingga raganya tak punya tenaga lagi untuk membuka mata.
Ketika ia tersadar, ia meraba perutnya yang sudah rata.
" Tidaaaak.....aku nggak mau kehilangan anakku "
" Intan....Intan..." bangun nak. Aku terkesiap ketika ada yang menggoncang bahuku. Aku memeluk ibu yang sudah duduk di sampingku. Ia berusaha tersenyum. Aku tahu ia juga merasakan pilu itu.
" Kamu sudah janjikan untuk memaafkan apa yang terjadi " ucapnya setelah mengurai pelukan. Ia mengusap peluh di dahiku.
" Anak itu sudah kembali ke Surga, meski ia belum sempat melihat ibunya. Sabar ya nak " kata ibu sembari memelukku. Aku kembali menangis di d**a ibu.
Perempuan yang ku lihat dalam mimpiku itu adalah aku sendiri. Intan Anindita, itu bukan sekedar mimpi tapi memang benar benar aku alami. Aku dikurung oleh suamiku sendiri. Laki-laki yang amat aku cintai, untuk memisahkan aku dan anaknya yang sudah kuanggap anakku sendiri. Ia harus melakukan hal keji ini. Mengurungku dalam Gudang yang pengap, tiga hari tanpa makanan dan miunuman.
Bukan meminta maaf dan prihatin atas kondisiku, mentalku terpuruk karena kehilangan janin yang telah ku jaga baik baik. Ia seakan tak peduli, mau dilahirkan atau tidak. Ia sudah bulat dengan keputusannya untuk menikahi kekasihnya. Aku adalah wanita yang harus segera enyah dari kehidupannya. Tapi sialnya, aku belum bisa melupakannya. Masih berharap pada perjuangan yang kulakukan untuk mendapatkan cintanya.
Cukup Intan, dia hanyalah masa lalu
*******************
Jam di tanganku sudah menunjukan jam 13.00 siang, Semua orang sudah berkumpul, kecuali aku yang memang sudah ditunggu kedatangannya. Aku bergegas ke meeting room. Dimas, rekan kerjaku melambaikan tangan.
“ Cepat In, mereka sudah menuggu kamu dari tadi “ seru Dimas membuatku semakin bergegas.
Udara yang cukup panas membuat wajahku berpeluh. Aku mengikuti Dimas dan duduk di bangku yang dibuka Dimas. Menyenyumi semua orang dan mulai mengeluarkan catatan yang telah ku buat. Aku harus tampil meyakinkan perusahaan yang akan menyewa jasa kami. Sudah satu tahun ini aku bergabung dengan Dimas, sepupuku di perusahaan yang memberikan jasa Dokumentasi dan live streaming.
Ketika aku melihat satu persatu peserta meeting, sepasang mata di bangku utama tertegun memandangku. Darahku terkesiap, seandainya aku bisa mengundurkan diri saat itu, aku akan pergi dan tak ingin melihat laki-laki yang raut wajahnya sama terkejutnya denganku.
“ Untuk lebih jelasnya, kita akan dengarkan penjelasan Intan, Script Writer kami “ Dimas menepuk bahuku untuk maju ke depan.
Aku merasakan tubuhku kaku, semua bayang bayang masa lalu bersama laki-laki yang jadi klien perusahaanku itu kembali berputar di kepalaku. Semalam aku tidak bisa tidur untuk menyelesaikan beberapa buah script Company Profile.
Bayangan darah yang menggenang di bawah kakiku membuatku membuatku ingin menjerit, aku terpaksa menggigit bibirku agar tidak menangis
“ In...kamu kenapa ? “ tanya Dimas cemas melihat wajahku yang tiba tiba pucat.
“ Aku sudah bilang, kamu harus jaga kesehatan, atau lebih baik mundur “ Ketus Dewi yang duduk disampingku. Semua orang menunggu pergerakanku.
Laki-laki itu tak berani menatap tatapan mataku, ia lebih sering menunduk atau berbicara dengan anak buahnya.
Rasa benci, marah sekaigus sedih tak bisa ku bendung. Aku sudah kehilangan kata-kataku. Di depan semua orang. aku berusaha tenang namun badai dalam hatiku bergejolak. Aku berusaha menahan diriku untuk tidak bersikap impulsif. Laki-laki itu, Laki laki yang telah membunuh janinku, laki-laki yang telah melenyapkan darah dagingnya sendiri.
“ Baiklah....konsep dari scrip ini adalah..adalah...” aku tak sanggup lagi berdiri, lolonganku selama tiga hari sampai suaraku parau tak di dengar siapapun. Darah itu terus mengalir dari rahimku, janin yang selama empat bulan menghuni ruang rahimku meluruh menjadi darah.
Tiba tiba pandangaku menghitam, aku tak sanggup lagi menahan tubuhku untukku berdiri. Aku terjatuh.
Aku membuka mataku perlahan, aku melihat Dimas memandangku cemas.
“ Kamu sudah bangun In ? “ tanya Dimas sambil meraba keningku.
“ Dimas, maafkan aku. Apa kita kehilangan proyek itu, aku mungkin kelelahan “ ucapku lemah, pingsannya aku di ruang meeting mungkin berakibat buruk pada perusahaan tempatku bekerja.
“ Jangan pikirkan tentang itu, yang penting kamu sehat dulu. Sebentar lagi ibumu datang “ beritahu Dimas. Aku mengangguk. Aku sudah pasrah jika nanti dikeluarkan dari perusahaan.
“ In..” panggil Dimas. Ia seperti ingin bicara sesuatu tapi ragu.
“ Dia..dia orangnya Dim, Dia yang sudah membunuh bayiku “ ucapku lirih, aku tidak bisa menahan tangisku lagi. Sejak melihatnya di ruang meeting itu segala kesenduan yang kucoba lenyapkan muncul kembali. Kata kata yang menghujamku kembali menyentak telingaku.
“ In..kamu sudah berjanji padaku bukan, kamu akan memaafkan masa lalu. Kamu akan meraih impianmu menjadi script writer terbaik “
Setelah satu minggu di rawat, aku kembali bekerja. Ternyata proyek dari perusahaan besar itu tetap kami dapatkan. Aku tetap di tunjuk sebagai penulis script writer utama. Dimas memintaku menemuinya di ruangannya.
“ In, kamu tahu kan setelah pandemi kita belum banyak mendapatkan proyek, Jadi pak Darren mempercayakan proyek ini pada perusahaan kita. Mereka sebentar lagi akan launching produk. Aku harap kamu bisa profesional karena dia minta tetap kamu yang jadi penulis scriptnya “
Aku menghela nafas dalam. Ku tutup mataku untuk menenangkan perasaan yang tiba tiba bergemuruh, aku menekan segala kemarahan dan kesedihan yang datang tiba tiba. Ku buka mataku perlahan, mengusir wajah dingin yang selalu melekat dalam kepalaku. Beberapa saat aku diam, melihat ke luar jendela kaca.
“ Bagaimana In ? pak Darren menunggumu di kantornya. Kita akan pergi ke sana sekarang “ ujar Dimas. Ia mendekati ragu. Disela hembusan nafasku, aku mengangguk pasti.
“ Baik, aku akan coba profesional Dim “ ucapku sambil mengambil tasku di meja Dimas. Aku mengambil perment mint yang biasanya bisa membuat aku tenang. Aku dan Dimas pergi ke kantor Darren. Darren Emir Fattan, seorang CEO perusahaan otomotif. Duda dua kali.Duda untuk pertama kalinya ketika istrinya meninggal setelah melahirkan putra mereka dan duda untuk kedua kalinya setelah menceraikan istrinya karena dianggap telah merayunya, istri yang tidak dia inginkan. Istri kedua itu adalah aku. Intan Anindita. Aku yang telah merayunya untuk menyentuhku hingga aku hamil dan dia tidak menginginkan anak itu. Ia tidak menginginkan darah dagingnya sendiri.
Setelah sampai di kantor Darren, aku mengikuti langkah Dimas. Resepsionis mengatakan kalau kehadiran kami sudah ditunggu. Denting lift bersamaan dengan degup jantungku yang mulai tak beraturan. Aku mengepal tanganku agar mentalku kuat. Aku bisa meredam kemarahan dan kesedihan yang muncul di hatiku.
Dimas mengetuk pintu. Suara yang sudah akrab ditelingaku menyuruh masuk. Aku berjalan di belakang Dimas.
“ Silahkan duduk pak Dimas “ pintanya sopan. Sekilas aku melihat, aura kearogan yang dulu sering ia perlihatkan tak nampak. Apa ini hanya sandiwaranya saja.
” Bu Intan “ ucapnya. Aku mencoba mengungkai senyum. Aku sudah bertekad untuk profesional.
Ia memandangku sesaat, memindai wajahku lalu mengukir senyum di bibirnya. Aku berdecak, dalam hati berkata. Dulu, ia juga sering begitu. Bersikap manis padaku saat ada orang lain di dekatku. Jika hanya ada kami berdua, dia berubah menjadi serigala kelaparan. Ia akan mencabik cabik pertahanan diriku. Ia selalu menuduhku telah mempengaruhi orangtuanya agar pernikahan itu terjadi. Yang lebih menyakitkan lagi, ia mengatakan aku menikahinya demi mengangkat derjatku yang hanya berasal dari masyarakat kelas bawah. Aku membalas senyuman itu dengan anggukan lalu mengambil sesuatu dari tasku.
“ Gimana bu Intan, sudah sehat ? “ tanyanya sambil meraih gagang telpon.
“ Alhamdulillah “ jawabku pendek. Aku mengambil lagi permen mint dalam tasku.
Foto USG yang selalu ku bawa kemana-mana terbentang di depan matanya.