Aleah pov
Kepalaku sedikit pusing, tetapi yang paling terasa adalah rasa membakar di telapak kakiku. Dengan cepat aku melompat untuk menjauhi sesuatu itu. "Aaaaa!!!"
Spontan aku menjerit karena gorden itu terbuka dan menyinari ruangan ini. "Tolong!!"
"Siapapun tolong! Ku mohon tutup gordennya." Aku dengan panik terus berjalan mundur menjauhi cahaya matahari, mencari tempat perlindungan yang gelap hingga tak menyadari air mata mengalir deras.
"Luna, maaf jika menganggu tidur Anda. Tapi ini sudah pagi." Dua orang datang dengan wajah bingungnya. Aku menggeleng kuat. Tidak mau mendengar ucapan orang asing ini.
"Tidak! Tolong tutup gorden itu!!"
Pintu kembali terbuka dan pria asing masuk diikuti beberapa wanita yang berpakaian sama dengan dua wanita yang sudah membuka gorden. "Luna, Ada apa? Apa Anda baik-baik saja?"
Aku menutup wajahku sambil terus menangis seraya menggeleng kuat, memojokkan diri di ruangan yang tidak terkena sinar matahari. "Tutup semuanya. Tutup!!"
"Luna, apa maksud Anda? Saya tidak mengerti." Aku menatap pria itu tajam.
"Tutup semua gorden itu! Tutup semuanya hingga tidak ada sinar yang masuk. Tutup!!" Aku terus menangis tanpa perduli mereka semua. Aku tahu ini bukan kamarku. Ini bukan. Mereka juga bukan pelayanku dirumah karena mereka tidak akan melakukan kesalahan besar itu.
Pikiranku sudah meracau kemana-mana, sepertinya apa yang dikatakan Mama benar. Aku diculik saat ini, aku sudah di culik agar mereka bisa menguras harta Papa. Bodoh!
Seharusnya semalam aku mengunci pintu kamar dan tidak membiarkan pria tampan itu masuk dan bertanya jawab denganku. Aku ingat ciuman pertama itu dan aku juga ingat bahwa terakhir kali aku dikamar bersama dengan pria itu, ya pria itu.
Tiba-tiba terdengar suara dorong pintu yang begitu nyaring, tapi aku tidak peduli. Sekarang aku begitu takut, takut pada penculik itu juga.. cahaya matahari.
Dua pasang lengan kekar kurasakan memeluk tubuhku dari belakang, tubuhnya yang tegap dan terasa hangat itu membuat pikiranku semakin memburuk. "Tidak! Lepaskan!! Lepaskan aku!" Ku pukul kedua tangannya sekuat tenaga tetapi tangan itu tidak berpindah sama sekali.
"Hei hei Sweetheart, tenanglah." Suara lembut itu membuat tubuhku berdesir, aku merasa familiar dengan suara ini. Tangan itu berpindah pada kedua bahuku untuk membalikkan tubuhku. Berapa terkejutnya aku mendapati pria itu berada didepan mataku sekarang.
"A-anda..."
"Mengapa kau menangis hmm??" Usap dipipiku membuatku semakin sedih. Aku merasa pria ini baik, tetapi mengapa ia melakukan ini kepadaku.
"Kenapa Anda menculikku? Apa salahku? Tolong kembalikan aku kerumah."
"Sstt.. jangan menangis seperti ini. Kau menyakiti hatiku." Aku tidak mengerti dengan pria ini, semalam aku sudah memberitahunya bahwa aku adalah keponakan papa. Tapi dia tetap menculikku dan memanfaatkan aku.
"Tuan, aku bukan anak Mr. Dakota jika Anda sengaja menculikku untuk mendapatkan hartanya. Aku hanyalah keponakan yang tidak berarti, tolong lepaskan aku. Kembalikan aku ke tempat semula." Tetapi yang kudapat adalah ciuman dan lumatan di bibirku yang sudah basah terkena air mata. Hingga cukup lama ia melepaskan aku, menatap matanya tak mengerti. Setelah semalam ini adalah ciuman keduaku. Pria ini kembali merenggutnya.
"Aku tidak memerlukan harta itu, aku hanya ingin dirimu dan kau sudah menjadi milikku sejak pertama kali kita bertemu. Dan aku tidak akan pernah mengembalikanmu atau memberikan dirimu pada siapapun karena kau adalah milikku." Meski nafasku masih belum teratur tetapi aku masih bisa merasakan lirikan semua orang disini. Berani-beraninya pria ini, melecehkan aku didepan pelayannya bahkan mengklaim diriku.
Usapan lembut terus aku dapatkan darinya yang entah mengapa membuatku sedikit tenang. Aku harus menolak pria ini, ini tidak semudah yang diperkirakannya. "Aku tidak bisa Tuan, aku belum cukup umur untuk menikah dan aku tidak mencintaimu. Aku pun tidak tahu apapun tentang mu begitupun Anda, ini tidak benar. Anda harus mengembalikan saya ke rumah Mr. Dakota."
"Honey dengarkan aku," aku merasakan tangan besarnya merangkum wajahku hingga mata kami bertemu. "Jika itu yang kau khawatirkan, aku tidak masalah. Selama disini kita bisa saling mengenal, aku sudah mencintaimu dan merupakan hal mudah untukku agar membuat kau juga mencintai aku. Tetapi hal itu akan terjadi jika kau mau membuka hatimu dan menerima semua ini."
Aku menggeleng pelan, aku tidak bisa. Meskipun tubuhku sangat menerima dirinya tetapi aku tidak bisa. Kening kami menyatu dan itu semakin membuatku tidak bisa berpikir. "Aku merasa bahagia saat bertemu denganmu, aku senang karena bisa menemukan tujuan hidupku. Dan jika memang benar kau tidak berarti bagi Mr. Dakota dan keluarganya maka itu akan lebih baik lagi." Kecupan singkat itu kembali membuat getaran dalam hatiku. "Karena dengan begitu hidup bahagia sudah menanti kita tanpa ada larangan dari siapapun."
Entah sudah berapa kali aku menggeleng pagi ini, tapi pria itu masih saja tidak menanggapinya. "Kau pasti lapar, ayo kita ke ruang makan sekarang." Dan diluar kamar ini, ruangannya terkena sinar matahari.
"Aku ingin makan disini." Ia mengangguk dan tersenyum.
"Baiklah, mereka akan bawakan makanannya kemari." Semua orang keluar begitu saja dari kamar ini setelah pria itu memberi kode, menutup pintu kamar hingga yang tersisa hanya kami berdua.
"Apa aku boleh menghidupkan lampu?" Aku mengangguk kuat. Meski aku tidak suka sinar matahari tetapi aku juga tidak suka kegelapan. Ia berjalan meninggalkan aku untuk menuju ke sakelar lampu berada dan dengan hitungan detik kamar ini nampak terang.
Tak lama pintu diketuk dan ada beberapa pelayan yang membawa baki berisi makanan juga s**u. Aku mengerutkan kening tak suka.
"Apa makanan yang dibawa kalian?"
"Kami membawa omelet dengan isi sosis daging sapi, pancake dan susu."
Aku menggeleng sedih, perutku lapar sekali tetapi yang bisa aku makan hanyalah pancake saja. "Tinggalkan pancake nya dan bawa yang lain ke dapur."
"Tapi Luna-" "Terimakasih. Kau boleh kembali."
"Kenapa kau tidak mau memakan omelet dan meminum susunya?" Aku menggeleng saja tanpa menjawab pertanyaannya.
Disini sangat berbeda dengan dirumah, semuanya pasti tahu apa yang aku mau, apa yang bisa aku makan, apa kebiasaanku, dan banyak lagi. Jika begini aku jadi merindukan rumah, merindukan kamarku dan juga oppa. Tempat ini bukanlah tempat yang tidak cocok untukku. Tidak ada tempat terbaik selain dirumah.
Meski begitu aku harus tetap makan dan mengisi perutku. Aku mulai memakan pancake itu pelan, tapi sepertinya empat tumpuk pancake tidak bisa mengenyangkan perutku yang belum diisi sejak kemarin sore. Aku menyesal menyia-nyiakan makanan buatan Mama kemarin.
Tapi apa aku boleh meminta menu sarapan pagi tambahan. Semua ini terasa asing untukku, tidak ada yang mengerti aku.
Vote and Comment guys!!!
TheHalfsoul❤