Matahari belum sepenuhnya terbit, tapi Rianti sudah menjadi sangat sibuk pagi ini. Suara air di kamar mandi mengucur deras hingga membuat ibunya menatap heran. Rianti juga mandi sangat lama sekali, memastikan setiap inci tubuhnya bersih. Entah berapa kali dia menggosok kulitnya. Entah berapa kali dia mengusap rambutnya dengan sampo berulang-ulang. Rianti juga menggosok gigi sebanyak dua kali dan menutupnya dengan berkumur-kumur.
Hari yang sudah lama dinantinya pun datang. Hari ini dia akan bertemu dengan Dion setelah sekian lama. Sebelumnya Dion pernah mengajak Rianti untuk makan lotek di kediaman Dina kala itu, Rianti pun sudah menanti. Berharap hari itu datang. Hari di mana Dion akan menghubunginya.
Namun... semua hanya harapan.
Pesan yang dinanti tak kunjung datang. Hingga akhirnya Rianti harus menelan kekecewaan. Rianti kemudian mencoba tetap berpikir positif. Mungkin saja Dion hanya lupa dengan janjinya.
Rianti juga terus menanti Dion menghubunginya, tapi hal itu pun juga tidak terjadi.
Rianti sudah susah payah mengatur feed instagramnya agar terlihat menarik. Dia juga rajin mengupload foto terbaru. Juga membagikan semua aktivitasnya sehari-hari di fitur insta story. Akan tetapi sekalipun Dion tak pernah melihat story-nya. Dion juga tak pernah meninggalkan jejak berupa tanda suka atau pun komentar di postingan yang dia unggah.
Tapi sekarang, dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Rianti sangat berusaha keras kali ini. Semalam ia bahkan sibuk bermasker ria untuk wajahnya. Mulai dari masker alami dengan menempelkan potongan timun ke wajah, hingga memakai masker dari produk yang cukup terkenap dan mahal. Rianti juga menyiapkan pakaian goes-nya dengan baik. Memastikan setelan yang akan dipakainya bersih, wangi dan tidak kusut.
"Kenapa kamu lama sekali di kamar mandi, ha? Ibuk mau mencuci!" pekik sang ibu.
"Iya, Buk SABAAAAAR!" teriak Rianti.
"Pakaiannya sudah ibuk rendam semalaman, kalau tidak lekas dicuci nanti bau."
"Iya... iyaaaaaa!" pekik Rianti lagi.
"Kamu ngapain di kamar mandi lama sekali, ha?" tanya sang ibu lagi.
Pintu kamar mandi itu akhirnya terbuka. Rianti keluar dengan wajah cemberut. "Ibuk kenapa nyinyir banget deh... pagi-pagi gini."
"Lah kamu yang ngapain mandinya lama amat, ampe satu jam. Mana ini hari minggu pula. Biasanya kalo hari minggu kamu bangunnya siang," omel sang ibu.
"AKu kan udah ngomong kemarin... kalo hari ini aku mau sepedaan."
"Mau sepedaan pake mandi segala, nanti juga keringetan," oceh sang ibu.
Rianti berjalan merentak-rentakkan kakinya ke dalam kamar, lalu langsung duduk di depan meja rias dengan handuk yang masih membalut kepala.
"Ibuk bikin mood gue jelek aja deh," omelnya.
Dina yang sedang melipat selimut pun tersenyum. Ia lalu duduk di tepi ranjang seraya menguap pelan. Dina pun sejak tadi juga menyimak perselisihan itu. Namun Dina malah menganggapnya sebagai suatu hal yang lucu dan seru. Pertengkaran Dina dan ibunya dianggap Dina sangat menggemaskan.
Dina kini memerhatikan Dina yang sibuk berdandan. Jemarinya begitu sibuk. Membuat Dina menatap tak percaya. Ada begitu banyak peralatan make up yang kini bertebaran di atas meja.
"Sejak kapan kamu menjadi centil seperti ini?" tanya Dina.
Rianti tersenyum. "Akhir-akhir ini gue rajin nontonin tutorial make up di youtube, di i********:, di t****k juga, Pokoknya gue rajin belajar. Sekarang gue udah lumayan jago bikin alis, eyeliner dan banyak deh."
"Keren. Aku nggak nyangka sih. Dulu kan kamu cuek banget sama penampilan," ucap Dina.
Rianti tersenyum bangga. "Perubahan itu perlu, Bestie."
Dina tergelak. "Cieh... si yang paling berubah." sedikit meledek sambil tertawa pelan.
"Namaya juga usaha. Tapi make up itu asyik dan bikin nagih loh... asal lo tau aja," tutur Rianti.
"Masa sih??" Dina tak percaya.
"Beneran. Ntar deh gue ajarin lo make up. Tapi entar ya...."
Dina mengangguk-angguk. "Hmm... tapi agenda hari ini tuh bersepeda, kan?"
"Iya. Semacam konvoi gitu! goes bareng," jawab Rianti yang sedang menjepit bulu matanya agar menjadi lebih lentik.
Dina kini merasa bingung. "Lalu kenapa kamu berdandan?"
Rianti menatap Dina melalui pantulan cermin di hadapannya. "Ya, emangnya kenapa? menurut lo gue nggak perlu dandan gitu?"
"Ya, bukannya nanti kamu akan berkeringat?" tanya Dina lagi.
Rianti langsung memutar badannya menatap Dina. "Ya, terus kenapa? nggak ada salahnya kan? lo jangan ikutan bikin mood gue ancur deh."
Dina mengatupkan bibirnya. Padahal dia ingin mengingatkan Rianti. Bahwa memakai riasan yang berlebihan ketika berolah raga mungkin saja akan menjadi petaka. Riasan di wajahnya bisa saja menjadi hancur berantakan. Tapi Dina tidak mau bicara lagi karena takut Rianti mengamuk. Dan untuk memperbaiki suasana hati sahabatnya itu, Dina pun segera mengambil pengering rambut, mencolokkannya dan segera membantu Rianti untuk mengeringkan rambutnya.
"Nah, gitu dong!" Rianti tersenyum.
Dina pun juga tersenyum seraya sibuk mengeringkan rambut Rianti. Aroma parfum Rianti kini sangat menyengat hidungnya, tapi Dina tetap tidak berkomentar apa-apa. Dia hanya terus memuji dan mengiyakan semua perkataan Rianti.
Karena hanya dengan cara itu juga suasana hati Rianti menjadi tenteram, damai dan sentosa. Dina tidak ingin menciptakan perang ketiga.
"Oke udah kelar. Gue berangkat dulu ya. Lo mau sesuatu nggak?" tanya Rianti.
Dina sedang menggulung kabel pengering rambut menoleh. "Sesuatu maksudnya?"
"Ya, lo pengen makan apa gitu... ntar gue beliin," jawab Rianti.
Eh.
Dina tergelak. "Tumben amat."
"Jangan banyak bacot. Lo mau apa, Dina? gue lagi baik hati nih... mau traktir loh."
"Hmm... gorengan aja deh. Goreng pastel."
"Oke. Ntar gue beliin."
"Banyakin cabe rawitnya."
"Hooh."
Setelah itu Dina dan ibu Rianti sama-sama melihat kepergian Rianti di ambang pintu.
Sang ibu geleng-geleng kepala. "Bahkan sepede kamu mengkilat sekali. Apa kamu pake minyak goreng ibuk untuk mengelapnya?"
Rianti yang sudah duduk di sepeda pun menatap galak. "Jangan ngadi-ngadi deh, Buk. Mana mungkin aku pake minyak goreng buat lap sepeda. Yang ada sepedanya malah bau dan lengket."
Dina hanya tersenyum. Pagi ini pasangan ibu dan anak itu ribut melulu.
"Ya udah aku pergi dulu, Buk!" Rianti berpamitan.
"Gue cabut ya, Din!" dia juga pamit pada Dina.
Setelah itu Rianti mengayuh sepedanya dengan senyum yang riang.
"Haduuuh... dia benar-benar menjadi gila sejak jatuh cinta. Tapi ibuk ndak tau dia jatuh cinta sama siapa," tukas sang ibu.
Dina menyeringai. "Aku pun juga terkejut, Buk."
"Makanya." sang ibuk menghela napas panjang. Sekali juga masih berdecak.
Dina tersenyum. Ibu Rianti pun menatapnya perlahan. Dina menyadari ibu Rianti menatapnya dan tersenyum.
"Aku bantu beresin rumahnya, ya, Buk," ucap Dina.
Tapi ketika akan melangkah masuk, sang ibu menggenggam pergelangan tangan Dina. Membuat Dina sedikit terkejut.
"Ndak usah, Nak." suara sang ibu terdengar lembut.
Dina menatap bingung.
"Mumpung ini hari minggu, sebaiknya kamu tidur saja."
Eh.
"T-tapi, Buk...." Dina jelas merasa tidak enak.
Tapi kemudian sang ibu mengelus pipinya lembut. Sentuhan dari tangan seorang ibu yang terasa sangat hangat dan juga nyaman.
"Kamu harus beristirahat. Lihatlah wajah kamu yang lelah itu... tatapan mata kamu selalu sayu karena kurang tidur," ucap sang ibu.
Dina terdiam.
Perhatian seperti itu mendatangkan sebuah perasaan asing baginya. Membuat Dina nyaris menangis, tapi kemudian dia dengan cepat tersenyum.
"Sudah sana tidur!" sergah ibu Rianti kemudian.
Dina mengangguk. Setelah itu sang ibu segera masuk ke kamar mandi untuk mencuci pakaian. Dina pun masih tertegun di tempatnya berdiri.
Hatinya kembali berandai-andai. Jiwanya kembali meronta mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
"Andai saja aku benar-benar menjadi anak kandung ibunya Rianti, tentu aku akan sangat bahagia, bukan?" bisik Dina dalam hatinya.
Setelah itu Dina beranjak masuk ke dalam kamar. Dia berbaring lagi di kasur yang sudah ia bersihkan.
Terasa nyaman sekali. Dina tersenyum seraya memejamkan mata. Dia memang kurang tidur beberapa hari belakangan ini. Membuat daya tahan tubuhnya menurun dan juga membuat Dina menjadi mudah lemas sepanjang hari.
"Dina...!" panggilan itu membuat Dina kembali membuka mata.
Ternyata ibu Rianti datang membawakan segelas s**u hangat untuknya.
Dina terperangah dan benar-benar merasa tidak enak.
"Minum dulu susunya, biar tidur kamu lebih nyenyak," ucap sang ibu.
Dina malah tertegun.
Kali ini Dina benar-benar termenung seperti terkena sihir yang membuatnya mematung. Matanya bahkan tidak berkedip sama sekali.
Ibu Rianti pun mengernyitkan dahi.
"D-Dina...," panggilnya lagi.
Dina masih membeku. Tapi sekarang dia menghela napas berat seiring dengan bahunya yang terlihat naik. Sang ibu meletakkan baki berisi gelas s**u itu di atas meja, lalu menatap cemas.
"Kenapa Dina? Ada apa?" tanya sang ibu.
Bibir Dina bergetar. Pertanyaan itu membuat perasaannya buncah. di detik berikutnya air mata itu tak terbendung lagi.
Dina menangis.
Membuat ibu Rianti terkejut dan menjadi semakin cemas.
"Kamu kenapa, Nak? kenapa kamu tiba-tiba menangis? apa terjadi sesuatu yang buruk sama kamu?" tanya sang ibu.
Dina menyeka air matanya, lalu menggeleng samar. "Nggak ada, Buk."
"Terus kenapa kamu menangis, Dina?"
Dina tidak menjawab. Dia menangis bukan karena bersedih. Tapi karena rasa haru atas segala perlakuan ibu Rianti padanya. Selama tinggal di sana, Dina benar-benar seperti merasa memiliki sesosok ibu yang peduli dan selalu ada untuknya. Dan hari ini adalah puncaknya. Dina tidak bisa lagi membendung perasaan itu.
Dia senang dan sedih secara bersamaan.
Senang karena pada akhirnya Dina juga bisa merasakan perhatian seorang ibu. Sedih karena ia mendapatkannya dari ibu orang lain, bukan ibu kandungnya sendiri.
"Kenapa toh, Nduk?" tanya sang ibu lagi.
Dina menyeka air mata. Mengatur napasnya agar lebih tenang, lalu menatap sang ibuk.
"Buk...," suaranya terdengar serak karena menangis.
"Apa, Nak?"
"Apa aku boleh minta sesuatu," ucap Dina.
Sang ibuk menelengkan wajah. "Apa? ayo katakan saja!"
Dina menatap sang ibuk dengan mata yang basah, lalu tersenyum dengan bibir yang bergetar.
"Apa aku boleh memeluk Ibuk sekali saja...?"