Kelompok sepeda itu berjumlah sekitar dua puluh orang. Cukup banyak dan ramai. Terdiri atas banyak lelaki dan hanya beberapa orang perempuan saja, termasuk Rianti. Mereka menempuh rute yang cukup jauh berkeliling kota. Kegiatan itu jelas menyenangkan. Tapi tidak untuk Rianti. Dia berharap bisa dekat dengan Dion sepanjang waktu. Namun yang ada malah dia selalu berjauhan dengan lelaki itu. Membuat mood Rianti seketika berubah jelek. Rianti sudah susah payah mengayuh sepedanya mendekati Dion. Tapi lelaki itu sama sekali tidak peka. Dia juga memacu sepedanya menyusul rekan-rekan yang ada di depannya. Tapi Rianti pantang menyerah. Seuasai acara gowes bersama itu selesai, dia buru-buru menghampiri Dion dan menyapanya.
“Hai!” sapa Rianti. Dia menyapa dengan wajah yang bercucuran keringat. Make up-nya yang melekat di wajah kini jadi berantakan.
“Hei. Apa kabar?” Dion balik menyapa.
“Baik. Lo sendiri apa kabar?” Rianti tampak malu-malu.
“Gue juga baik. Udah lama, ya… kita nggak ketemu.”
Rianti mengangguk. “Iya. Waktu itu lo juga ngajak gue buat makan lotek lagi di tempat dulu itu. Tapi sepertinya lo lupa.”
Dion menepuk jidatnya sendiri. “Astaga! Gue bener-bener lupa. Sorry ya!”
“Hmmm… bener, kan. Lo ternyata lupa.” Rianti tersenyum.”
“Sumpah gue bener-bener nggak inget.”
“Iya nggak apa-apa, kok,” tukas Rianti. Suaranya terdengar lembut.
Para rekan anggota klub lainnya mulai membubarkan diri dan sekarang hanya Rianti dan Dion saja yang tertinggal di sana. Kegiatan mereka berakhir tepat sebelum tengah hari.
Dion mengangguk-angguk samar. “Sebagai bentuk permintaan maaf, gue traktir lo makan loteknya sekarang aja, deh. Gimana?”
Rianti tersenyum. “Hah. Lo serius?”
“Iya. Gimana? Lo bisa nggak?”
“Bisa sih… tapi…”
“Tapi apa?” tanya Dion.
Rianti melirik arlojinya sebentar. “Tapi kalo sekarang loteknya itu udah habis kayaknya. Soalnya emang selaris itu.”
“Hmmm….” Dion mangut-mangut.
Rianti pun cemas jika Dion akhirnya membatalkan ajakan makannya.
“Kalo makan yang lain aja gimana?” Rianti dengan cepat memberi usul.
“Hmm… boleh juga. Makan bakso aja gimana?”
“Boleh, tuh. Ayuklah.” Rianti tersenyum senang.
Akhirnya mereka berdua beranjak mengayuh sepda mencari kedai bakso terdekat. Rianti sangat bersemangat sekali. Kedua tungkai kakinya yang tadi sudah sangat lelah karena mengayuh sepeda kurang lebih dua puluh kilo meter itu pun seketika kembali bugar. Tak ada rasa penat sama sekali. Yang ada malah energi baru melimpah ruah.
Rianti terus mengayuh sepeda mengikuti Dion di depannya. Sesekali sepeda mereka mereka juga bersebelahan. Setelah sekitar sepuluh menit mencari, akhirnya sepeda Dion berbelok memasuki area sebuah kedai bakso yang lengang.
Kedua sepeda itu pun terhenti.
Dion melepas helm sepedanya. “Udah buka apa belum ya? Kok keliatannya sepi sekali.”
Rianti bergegas turun. “Ntar gue tanyain dulu.”
Rianti berlari-lari kecil masuk ke dalam kedai itu dan tak lama kemudian dia kembali keluar dengan tersenyum ceria.
“UDAH ADA!” pekiknya.
Dion mengangguk, lalu kemudian bergegas menyusul.
Suasana kedai bakso itu sangat sepi. Hanya mereka berdua yang ada di sana. Memang, biasanya kedai-kedai bakso itu relatif ramai di sore hingga malam hari. Tidak di siang bolong seperti sekarang ini.
Dion tergelak. “Sepertinya hanya kita yang makan bakso di siang bolong.”
Rianti juga tertawa. “Hahaha. Iya juga ya… tapi nggak apa-apa deh. Anggap aja out of the box. Lain dari pada yang lain. Iya nggak? Hahaha.”
“Iya. Ditambah abis sepedaan, bukannya nyari yang seger-seger malah makan bakso. Iya, kan?” Dion tersenyum.
Rianti sangat senang. Suasana diantara mereka terasa sangat akrab. Tak lama kemudian dua mangkok bakso yang masih mengepulkan asap tersaji di hadapan mereka berdua. Rianti tak bisa menyembunyikan rasa bahagia. Raut wajahnya itu benar-benar menyiratkan sejuta rona ceria.
Akhirnya hari ini datang. Hari di mana dia bisa menghabiskan waktu bersama Dion.
Rianti menyuap sebuah bakso kecil ke mulut, tapi kemudian dengan cepat melepehnya kembali. “Eh, panas…!”
“Hahahaha.” Dion tertawa. “Lo sih, udah tau panas main langsung makan aja.”
Rianti merasa malu, tapi di sisi lai dia juga senang karena bisa membuat Dion tertawa.
“Di potong-potong aja dulu baksonya, biar lebih cepat dingn,” ucap Dion kemudian.
Rianti mengangguk. Dia kini melihat Dion yang memotong-motong baksonya menjadi lebih kecil. Rianti menirunya, tapi gerakan tangan Rianti yang memegang sendok dan garpu itu tampak canggung. Beberapa kali tangannya juga terpeleset dan bakso itu lepas dari tusukan garpunya.
Dion tersenyum. “Stop! Yang ada ntar lo malah kecipratan kuah bakso.”
Eh.
Rianti hanya termangu ketika Dion menarik mangkok bakso milik Rianti, lalu kemudian membantu untuk memotong-motongnya.
Rianti terpana.
Perlakuan itu mendatangkan sebuah perasaan asing. Perasaan aneh yang membuatnya terasa bagai terlempar ke langit yang tertinggi. Lalu terjatuh di atas awan yang empuk. Perasaan yang membuat dia mengukum senyum malu.
“Nah. Ini sudah selesai.” Dion kembali mendorong mangkok bakso milik Rianti.
“Mmm… thankyou,” ucap Rianti.
Keduanya lalu menyantap bakso mereka. Dion menyantapnya sambil sesekali sibuk dengan handphone yang juga diletakkan di atas meja. Sementara Rianti juga asyik curi-curi pandang. Duduk berhadapan dengan Dion seperti ini saja sudah menjadi sebuah kemajuan yang luar biasa baginya.
“Gimana sekolah lo?” tanya Dion kemudian.
“Hmm… lancar. Lo sendiri gimana?” Rianti balik bertanya.
Dion menyipitkan matanya. “Agak membosankan sih. Nggak tau kenapa gue ngerasa bosen aja sama sekolah gue yang sekarang.”
Deg.
Rianti menatap nanar sebentar, tapi kemudian dia langsung bersuara lagi. “Terus gimana? Apa lo punya rencana buat pindah sekolah?”
Dion menelengkan wajah. “Pindah sekolah?”
Rianti mengangguk. “Iya. Katanya lo bosen sama suasana sekolah lo? Jadi gue mikir lo pengen pindah sekolah.”
Dion tersenyum. “Kenapa gue malah nggak kepikiran ya… hmmm… kayaknya menarik juga tuh. Apalagi vibes anak baru itu biasanya seru, kan?”
Rianti meneguk ludah. “Terus gimana? Atau kalo nggak lo pindah aja ke sekolah gue. Hahahaha.”
Rianti mengakhirinya dengan tertawa, tapi kini hatinya bergemuruh menanti tanggapan Dion. Dia mulai berharap jika Dion memikirkan ide itu. Rianti bahkan langsung membayangkan bagaimana jika Dion benar-benar pindah ke sekolahnya.
Tapi… Dion malah terdiam.
“Hahaha. Gue cuma becanda kok. Nggak mungkin juga lo mau pindah ke sekolah gue. Iya, kan?” Rianti tersenyum canggung.
Dion masih saja termenung.
Membuat Rianti kini kebingungan dan bertanya-tanya. Apakah Dion justru tersinggung dengan idenya atau bagaimana?
“K-kenapa lo malah diam? Apa karena itu gue terlalu mengada-ada ya?” tanya Rianti.
Dion tersadar lalu menatapnya. “Bukan.”
“Terus kenapa?”
“Gue justru mikir kalo itu bukan ide yang buruk.” Dion menyeringai.
Rianti menatap tak percaya. Lalu kemudian bersorak. “Lo serius…?”
Dion mengangguk. “Iya. Sepertinya gue akan memikirkan ide itu,” jawabnya kemudian.