Langit yang tadinya cerah berubah mendung dan menggelap. Tak lama kemudian rintik hujan pun perlahan turun membasahi aspal yang kering di luar sana. Hujan yang turun dengan tiba-tiba itu membuat Dina terkejut. Dia langsung teringat pada pakaiannya yang dijemur di atap.
"Pakaian aku...." Dina berusaha bangun.
"Kamu mau ke mana?" tanya Bagas.
"Aku mau angkat jemuran."
"Di mana? Biar aku aja yang angkat jemurannya," tukas Bagas.
"Ada di atap."
Bagas mengangguk. "Kamu tunggu di sini aja. Biar aku yang angkat jemurannya."
Dina pun hanya mengangguk. Dia menatap Bagas yang bergegas naik ke atas. Setelah kepergian Rianti, tidak banyak hal yang terjadi. Pasangan kekasih itu lebih banyak bungkam. Bagas jadi lebih banyak diam. Dina pun juga seperti enggan memulai pembicaraan. Dan sekarang hujan yang turun akan membuat Bagas lebih lama berada di sana. Padahal Bagas baru saja berpamitan untuk pulang. Tapi saat itu juga hujan langsung turun dengan derasnya.
"Haaah." Dina mengembuskan napas panjang.
Pikiran Dina kini terasa kacau. Ia tidak bisa berpikir jernih terhadap semua yang sudah terjadi. Ada kebingungan yang mendera dan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Dion...."
Dina menyebut nama itu lirih.
Inilah pertama kalinya Dina menyebut namanya, meski ia sudah mengetahui nama Dion sejak mereka makan bersama setelah pertandingan futsal saat itu.
Dina menerawang. Ingatannya kembali melayang pada moment ketika Dion menyelamatkannya di atap. Dina memicingkan mata. Mencoba melupakan kejadian itu. Namun anehnya, sosok Dion justru semakin terbayang-bayang di pelupuk mata. Bahkan saat matanya terpejam, bayangan Dion justru semakin jelas.
Wajah itu.
Tatapan matanya itu.
Dina mengingatnya dengan sangat jelas.
Tak lama berselang, Bagas sudah kembali turun membawa pakaian milik Dina yang belum kering sempurna. Sebagian masih terasa lembab dan basah.
"Taro di mana?" tanya Bagas.
Dina menunjuk ke sofa. "Di sana aja."
Setelah itu Bagas menatap hujan di luar kaca jendela yang semakin deras. Tapi ia sudah terlanjur pamit kepada Dina untuk pulang ke rumahnya.
"Aku balik dulu, ya, Din." Suara Bagas tidak terlalu terdengar karena suara hujan.
Dina menatap ke luar jendela. "Hujannya masih deras. Nanti aja!"
"Aku bawa mantel, kok... Di motor."
"Nanti saja! A-aku masih mau sama kamu di sini." Dina menatap Bagas lekat-lekat.
Perkataan Dina membuat Bagas tertegun sebentar, lalu kemudian dia mengangguk tanda mengerti. "Baiklah kalau itu mau kamu."
Bagas kemudian duduk lagi di samping Dina. Mereka berdua terdiam menikmati suara hujan. Sesekali Bagas melirik Dina. Pun demikian dengan Dina, ia juga menatap Bagas perlahan di tengah suasana yang temaram karena cahaya matahari yang sudah ditutupi oleh awan hujan yang kelam.
"Din...," panggil Bagas kemudian.
Dina menoleh. "Iya. Kenapa?"
Bagas menatap sendu. "Kamu masih sayang kan, sama aku?"
Sunyi.
Dina terdiam mendengar pertanyaan itu. Ia menatap Bagas yang kini menampilkan raut wajah sedih. Suara hujan yang turun juga membuat suasana hati Bagas semakin sendu.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanya Dina.
Bagas tersenyum lemah.
"Kenapa?" tanya Dina lagi.
"Aku juga nggak tahu kenapa. Tapi akhir-akhir ini aku merasa kamu semakin jauh saja."
"Semakin jauh?"
"Iya. Aku merasa bahwa sekarang kamu agak sedikit berbeda," jelas Bagas.
Dina termangu sebentar, lalu kemudian tersenyum. "Itu cuma perasaan kamu saja. Aku masih tetap sama kok."
Bagas memandangnya.
Lekat dan dalam sekali. Seakan Bagas tenggelam di dalam kedua manik mata Dina yang kini juga menatapnya.
"Jadi kamu masih sayang kan, sama aku?" Bagas mengulangi pertanyaannya.
Dina mengangguk. "Tentu saja. Aku masih menyayangi kamu... Dan akan terus begitu."
"Kamu yakin?"
"Iya aku yakin."
"Kamu nggak akan ninggalin aku, kan?" tanya Bagas lagi. Sorot matanya menyiratkan ketakutan akan sebuah kehilangan.
Dina mulai merasa bingung. "Kamu kenapa? Apa terjadi sesuatu? Kenapa kamu jadi aneh kayak gini?"
"Jawab saja pertanyaan aku... Kamu nggak akan ninggalin aku, kan?"
Dina masih bingung, tapi kemudian ia menggeleng. "Iya. Aku nggak akan ninggalin kamu."
Bagas akhirnya tersenyum. Namun senyum itu masih terlihat lemah dan ringkih.
"Dina...," Panggilnya lagi.
"Apa?" tanya Dina.
"Aku sayang sama kamu, Din. Aku tahu bahwa kita masih sangat muda dan jalan di depan kita masih sangatlah panjang. Tapi... Aku ingin melalui jalan yang panjang itu bersama kamu. Aku benar-benar bahagia bisa memiliki kamu. Aku sangat mencintai kamu, Din...."
Helaan napas Dina berubah sesak. Hatinya tentu terenyuh mendengarkan harapan Bagas.
Dina tersenyum. "Tenang saja. Aku akan selalu di sisi kamu. Aku pun juga selalu melantunkan harapan yang sama. Kita akan melalui semuanya bareng-bareng. Iya, kan?"
Bagas mengangguk. "Iya. Kita akan melewati masa SMA yang bahagia, setelah itu kuliah, bekerja dan kemudian... Aku akan menikahi kamu."
Dina tergelak.
Tapi Bagas sama sekali tidak tertawa.
"Kenapa kamu jadi sangat serius seperti ini?" tanya Dina yang masih penasaran karena peeubahan sikap Bagas.
Bagas meneguk ludah. "Aku hanya takut."
"Takut?"
"Iya, takut."
"Takut kenapa?"
"Takut kehilangan kamu."
Suara hujan di luar sana pun masih terdengar jelas. Perlahan jemari Bagas bergerak meraih tangan Dina. "Aku boleh genggam tangan kamu, kan?"
Dina tidak menjawab. Tapi senyum di wajahnya itu sudah menjelaskan bahwa Dina mengijinkannya. Bagas kini menggenggam kedua tangan Dina dan meremasnya pelan. Kedua tangan Dina terlihat kecil di dalam genggaman telapak tangan Bagas yang besar dan kekar.
Keduanya saling pandang, lalu sama-sama tersenyum.
Dina meneguk ludah. Ada segelintir rasa yang kini bergejolak dalam dirinya saat Bagas menggenggam tangannya.
Genggaman itu terasa hangat.
Pun demikian dengan Bagas. Denyut jantungnya semakin berpacu saja. Seakan sentuhan itu membangkitkan segala rasa dan mulai mendatangkan kegelisahan.
"Dina....," Bagas menyebut nama itu lagi.
"Iya. Kenapa?"
"Aku pengen memeluk kamu."
Permintaan Bagas itu membuat Dina termangu, tapi dia pun tidak bisa menolaknya. Secepat itu juga Bagas menarik Dina ke dalam pelukannya.
Wajah Dina pun kini terbenam di d**a Bagas. Terasa hangat dan nyaman. Ini adalah pertama kalinya mereka berpelukan seperti itu. Pelukan yang terasa lain. Dekapan yang mendatangkan sebuah sensasi yang asing.
Dina memejamkan mata sebentar.
Pelukan Bagas memang terasa hangat dan menenangkan jiwanya. Mampu mengusir segala resah dan juga gundah.
Tapi kemudian...
Dina mengernyit.
Dekapan Bagas menjadi lebih erat. Kedua tangan yang besar itu juga mulai mengelus dan meremas tubuh Dina.
Deg.
Dina tersentak.
Sentuhan Bagas terasa aneh dan Dina pun cepat-cepat melepaskan dirinya.
Dina menatap Bagas. Bola mata lelaki itu tampak sedikit memerah. Tatapan matanya pun juga terlihat lain. Dina sedikit cemas, lalu tersenyum canggung.
Bagas mencoba memeluknya lagi, tapi Dina mengelak dan menekan tubuh Bagas dengan kedua tangannya.
"A-aku rasa cukup," ucap Dina dengan suara gugup.
Bagas mengembuskan napas panjang. Ia terlihat kecewa, tapi menghargai keinginan Dina. Hujan di luar sana belum juga reda dan Dina mulai merasa resah. Mereka hanya berdua saja di rumah itu. Tidak ada siapa-siapa dan Bagas kini terasa agak berbeda.
"S-sepertinya hujan sudah agak reda," ucap Dina seraya menatap keluar.
Bagas tidak menjawab. Dia masih menatap Dina lekat-lekat.
"Hujannya udah teduh!" tukas Dina lagi. Terdengar agak memaksa. Karena Dina tahu bahwa keadaan mulai sedikit tidak 'aman' untuk mereka berdua.
Bagas mengangguk pelan. "Aku akan pulang... Tapi sebelum itu, aku masih menginginkan sesuatu."
Dina manatap ragu. Detak jantungnya kini berpacu ketika Bagas perlahan mendekatinya.
"A-apa?" tanya Dina.
Bagas tidak menjawab. Dia memiringkan wajah, mencondongkan wajahnya dengan mata yang sedikit terpejam.
Bagas ingin mencium bibir Dina.
Tapi ketika bibir Bagas nyaris menyentuh bibirnya...
Dina langsung memalingkan wajah dan juga cepat-cepat berdiri.
Bagas terkejut dan termangu. Tersadar bahwa yang baru saja dilakukannya itu adalah sebuah kesalahan. Bagas menjadi gugup dan tidak berani menatap Dina.
Dina pun sama canggungnya. Dia tidak berani menatap Bagas dan kemudian berkata lirih.
"Maaf... Tapi aku tidak bisa melakukannya."