Insiden itu menyebabkan lengan dan kaki Dina sedikit terluka. Ada baret di mana-mana. Bagian sikunya yang bergesekan dengan tembok adalah bagian yang terparah dan sekarang Rianti sedang mengobatinya. Dina tidak memiliki kotak P3K dirumahnya. Dion kemudian memaksa Asep untuk menjemput kotak P3K dari tempatnya. Asep pun pontang panting mencari kotak obat itu di rumahnya. Dion yang tidak sabar bahkan sampai meneleponnya karena Asep terlalu lama.
Rianti mengobati luka Dina dengan lembut dan pelan. Luka itu telah dibersihkan menggunakan kapas yang dituangkan cairan. Sekaran ini ia sedang mengoleskan obat merah dengan sangat hati-hati agar Dina tidak kesakitan. Tapi meskipun begitu, Dina tetap meringis kesakitan.
“Tahan sebentar ya. Nanti perihnya juga ilang kok,” ucap Rianti.
Dina hanya mengangguk. Insiden itu seperti mimpi baginya. Dina tidak pernah membayangkan akan mengalami kejadian yang mengerikan seperti itu.
“Itu bagian bawahnya belum kena.” Asep ikut berkomentar seraya melihat luka di sikut Dina.
Dina kemudian beralih menatap Dion yang sedang berdiri dan sepertinya sedang memerhatikan keadaan rumahnya. Dina kemudian juga beralih menatap Asep. Dua lelaki itu belum juga pergi. Membuat Dina sedikit risih. Tapi Dina tentu tidak bisa mengusi mereka. Karena mereka-lah yang sudah menyelamatkannya, terutama Dion.
Tatapan Dion tertuju pada sebuah figura besar yang menampilkan potret kedua orang tua Dina dan juga adiknya Varrel, namun…
Tidak ada Dina di sana.
Hal itu pun semakin menguatkan dugaan Dion bahwa Dina adalah anak tiri di rumah itu. Seperti apa yang dikatakan oleh Asep sebelumnya.
Dina meliriknya pelan. Padahal ia tadi sempat berdoa agar tidak pernah lagi bertemu, bertatap muka dengan lelaki itu. Tapi ternyata Dion datang sebagai penolongnya. Dina jelas berterima kasih. Tapi dia masih bingung dengan sikap Dion yang tadi sangat murka hingga mengomel padanya.
Kenapa dia begitu marah?
Kenapa Dion malah memaki-maki setelah menolongnya?
Dia menyipitkan mata menatap Dion. Apa kepribadian dia memang seburuk itu? Dina bergidik lagi, dan tiba-tiba Dion menatap padanya. Membuat Dina sontak terkejut dan langsung menekurkan kepala. Dina sama sekali tidak berani menatap langsung ke mata Dion yang tajam.
“Nah. Sudah selesai,” ucap Rianti kemudian.
Dina mengangguk. Sebuah plester kini sudah menutupi luka di sikunya.
Rianti kemudian beralih menatap Dion. “Makasih ya. Untung tadi itu ada elo!”
Dion berdehem pelan. “Iya. Sama-sama.”
“Tapi….” Rianti kemudian mengernyit. “Kenapa lo tiba-tiba bisa muncul?”
Eh.
Dion melotot.
Dina pun juga langsung menatapnya, seakan juga menantikan jawaban dari Dion.
Sejenak Dion tampak gugup. Matanya berkedip cepat. “Gue tadi denger teriakan lo. Kebetulan kita berdua lagi ngopi-ngopi di balkon sebelah.”
Rianti mengangguk tanda mengerti. “Ah… jadi begitu. Sekali lagi makasih, ya.”
“I-iya.”
Asep pun mencebik karena merasa geli dengan kebohongan sahabatnya itu. Sedangkan Dina tidak banyak bersuara sama sekali kepada Dion. Sebenarnya dia ingin berucap terima kasih, tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu dan bibir itu bagai terkunci hingga sulit untuk sekedar dibuka.
Dion yang sesekali melirik Dina itu pun sepertinya juga menantikannya. Dion menantikan sepatah kata dari gadis itu, tapi Dina malah bungkam seribu bahasa.
“Oiya, mumpung lo ada di sini… minggu depan kita jadi konvoi bareng, kan?” tanya Rianti.
Dion mengangguk “Iya. Ntar gue kabarin di mana titik temunya. Belum ada kesepakatan lebih lanjut, sih.”
Rianti mengangguk senang. “Oke. Gue tunggu kabarnya.”
Dion hanya tersenyum. Setelah itu dia beralih menatap Asep. “Ayo Cep kita balik!’
Rianti yang masih ingin berlama-lama di sisi Dion pun tampak sedikit panik dan belum rela berpisah. “K-kita pergi makan dulu, yuk!”
Eh.
Dina terkejut.
Sedangkan Dion menatap Rianti dengan alis bertaut.
Rianti menyeringai. “Kita berdua mau makan lotek yang ada di depan gang. Loteknya enak banget pokoknya. Kalo kalian mau gabung, sih… anggap aja sebagai ucapan terima kasih.”
Dina langsung mencubit Rianti, hal itu pun juga dilihat oleh Dion. Dina tentu tidak setuju dengan rencana itu. Dia tidak mau menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan lelaki yang memancarkan aura tak biasa itu. Dina merasa bahwa Dion bukanlah tipikal orang orang yang bisa didekati sebagai seorang teman sekalipun.
“Gimana?” tanya Rianti lagi bersemangat.
Dina menatap Dion. Berharap lelaki itu menolaknya. Tapi Dina menduga bahwa Dion akan menuruti ajakan Rianti. Dina pun sudah pasrah jika ia harus menghabiskan waktu lebih lama lagi di dekat Dion.
“Nggak usah, deh,” jawab Dion kemudian.
Eh.
Dina terkejut. Ternyata Dion menolaknya.
Rianti pun juga menatap kecewa. “K-kenapa? Lo nggak suka lotek, ya?”
Dion tersenyum. “Temen lo… temen lo itu sepertinya nggak suka kalo gue ikutan.” Dion berkata seraya menatap Dina dengan mata sayu.
Deg.
Dina jelas tertohok. Rasanya aneh sekali. Dina seharusnya merasa lega, tapi rasa bersalah dan malu malah menggerogotinya.
Setelah itu Dion pun kembali menarik Asep untuk pergi dari rumah Dina. Tapi disaat Dion hendak keluar, sosok Bagas tiba-tiba muncul di ambang pintu.
Eh.
Bagas terkejut. “D-DION…!”
Dion hanya menatap santai. Dia melempar senyum sebentar dan kemudian berjalan keluar dari rumah itu.
“Gue cabut dulu, ya!” ucap Dion singkat.
“T-tungguin gue!” teriak Asep yang juga langsung menyusulnya.
Bagas kini termangu. Dia kemudian beralih menatap Dina dan Rianti di ujung sana. Dina pun kaget karena kedatangan Dion dan langsung menatap Rianti.
“Tadi gue yang ngabarin Bagas,” ucapnya.
Dina meneguk ludah. Sementara Bagas kini mendekat dan langsung memeriksa keadaan Dina.Walaupun kini ada sebuah tanda tanya besar yang mengganjal dalam kepalanya.
“Kenapa kamu bisa jatuh? Apa yang terjadi?” tanya Bagas. “Kamu nggak apa-apa? Apa kita perlu ke rumah sakit?”
Dina menggeleng. “Aku nggak apa-apa, kok. Cuma luka ringan aja.”
Rianti langsung menjelaskan apa yang terjadi kepada Bagas. Termasuk tentang Dion yang sudah membantu menyelamatkan Dina.
“Sumpah! Kalo nggak ada si Dion… pasti Dina sudah jatuh ke bawah,” tukas Rianti lagi.
Bagas hanya tersenyum samar. Agaknya dia kurang senang mendengar kabar itu. Kabar bahwa Dion-lah yang sudah menyelamatkan kekasihnya.
“Tapi… kenapa dia ada di sini?” tanya Bagas.
“Dia main ke rumah temennya. Di sebelah,” jawab Rianti.
Bagas mengangguk. Tapi setelah itu dia terdiam cukup lama. Dina pun menyadari perubahan sikap Bagas itu dan sekarang ini merasa sedikit canggung.
“Kenapa? Sepertinya kamu tidak suka dengan lelaki itu? Apa kalian musuhan?” tanya Dina.
Bagas tersadar, lalu kemudian menggelengkan kepala. “Nggak kok. Aku temenan sama Dion. Tapi ya… nggak deket-deket amat.”
Dina pun hanya tersenyum. Setelah itu Rianti malah sibuk menceritakan tentang Dion. Membeberkan kelebihan lelaki itu di matanya. Memuji-muji Dion dan juga membangga-banggakannya.
Semua perkataan Rianti tentang Dion membuat telinga Bagas terasa panas. Dia juga tidak tahu kenapa. Tapi yang jelas Bagas tidak suka mendengar semua omong kosong itu.
“Sekarang udah ada aku di sini. Jadi kamu boleh pulang.” Bagas menatap Rianti.
Eh.
Rianti yang masih berkicau langsung terdiam. Dia cukup kaget dengan kalimat Bagas yang secara tidak langsung ingin mengusirnya pergi dari sana. Dina pun juga terkejut dan langsung menatap Bagas.
Dina menatap heran. Bagas bukan tipe orang seperti itu. Dan selama ini dia pun nyaman-nyaman saja dengan keberadaan Rianti. Mereka bahkan acapkali menghabiskan waktu bertiga.
“Kenapa kamu ngomong gitu?” bisik Dina lirih.
Rianti tampak kikuk dan kemudian tertawa. “Hahaha. Gue juga mau balik kok. I know lah… mungkin Bagas pengen berduaan ama lo. Iya, kan? Mumpung rumah lo kosong hari ini.”
Rianti melontarkan candaan, tapi Bagas tidak tertawa sama sekali. Bagas malahan membuang wajah, seakan tidak ingin melihat Rianti lagi.
“K-kalo gitu gue pulang dulu ya, Din… Gas.” Rianti tersenyum canggung.
“Hati-hati di jalan ya. Kabarin aku nanti,” ucap Dina.
Rianti mengangguk, tapi tatapannya masih tertuju pada Bagas. Lelaki itu tetap memasang wajah masamnya.
Dina bermaksud bangun untuk mengantar Rianti ke depan, tapi Rianti langsung mencegahnya.
“Nggak usah, Din… gue cabut yah!”
Akhirnya Rianti pun melangkah pergi dari rumah Dina.
**
Rianti mendumel saat mendorong sepedanya keluar dari pekarangan rumah Dina. “Si Bagas lagi dapet apa gimana, sih? Sensi banget.”
Di saat berbelok keluar pagar, ternyata sosok Dion juga baru saja keluar dari rumah Asep. Mereka berdua sama-sama mendorong sepeda masih-masing.
Eh.
Rianti terkejut. “Hehe. Kita ketemu lagi.”
Dion tersenyum dan mendorong sepedanya untuk mendekat. “Lo udah mau balik juga?”
Rianti cemberut. “Hmmm….”
“Kenapa lo malah keliatan bete?” tanya Dion.
Rianti menggeleng. “Nggak sih. Gue cuma nggak pengen ganggu orang lagi pacaran, makanya balik aja.”
“Terus nggak jadi makan lotek, dong?”
“Ya, nggak.”
“Lo mau makan lotek bareng gue?”
Deg.
Rianti melotot.
Demi Neptunus yang ada di Bikini Bottom. Rianti hampir saja menjerit mendengar ajakan itu. Helaan napasnya langsung tersumbat, membuat dadanya membusung karena aliran napas yang tertahan.
“Kenapa? Lo nggak mau, ya?” tanya Dion.
Rianti lekas mengangguk. “G-gue mau, kok.”
Rianti jelas sangat senang karena bisa menghabiskan waktu bersama Dion. Ini adalah pertama kalinya mereka makan berdua seperti ini. Rasanya seperti mimpi saja, melihat sosok Dion yang kini duduk di hadapannya. Bibir Rianti tidak berhenti tersenyum. Segala rasa kesalnya terhadap Bagas pun langsung hilang berganti dengan rasa bahagia.
“Lo mau tambahin pake bakwan nggak?” tanya Rianti.
“Emang enak dicampur bakwan?”
Rianti mengangguk. “Enak dong. Bakwannya di suwir-suwir, terus disiram pake cabenya.”
“Gimana caranya?”
Rianti kemudian membantu Dion. Ia menyobek-nyobek satu buah bakwan ke piring berisi lotek itu dan kemudian menyiramkan cabe merah si bakwan ke atasnya.
“Nah, ayo cobain deh! Sendok barengan ama loteknya,” tukas Rianti.
Dion melakukannya. Dia mengambil satu suapan besar lotek dan kepingan bakwan yang sudah disiram oleh kuah lado merah.
Dan dia mengunyahnya.
“Gimana? Enak, kan?” tanya Rianti.
Dion menganggu. “Enak! Enak sekali malah.”
Rianti tersenyum lega sekaligus bangga. “Makanya gue selalu nyempetin di hari minggu buat makan lotek di sini. Soalnya kalo hari biasa sekolah juga kan, loteknya udah keburu habis pas pulang sekolah.”
“Jadi lo selalu makan lotek ke sini setiap minggunya?”
Rianti mengangguk. “Iya. Bareng Dina.”
Dion mulai tertarik.
Ya, satu-satunya alasan dia mengajak Rianti makan bersama saat ini memanglah untuk satu tujuan. Yaitu dia ingin mengulik informasi tentang Dina.
“Jadi nama temen lo itu Dina?”
“Iya. Emang lo belum tau, ya?”
Dion tersenyum. “Gue cuma denger Din… Din… gue pikir namanya Dindin atau gimana.”
“Hahaha.” Rianti tergelak. “Nama lengkapnya Rahmadina. Biasa dipanggil Dina.”
Dion pun mencatat nama lengkap itu dalam ingatannya.
“Ooh. Dia satu sekolah ama lo, ya?”
“Iya.”
“Kalian temen deket?”
“Bestie forevaaah,” jawab Rianti.
Dion mengangguk-angguk penuh arti. Sepertinya dia sudah menemukan jalan pintas untuk mencari tahu tentang Dina dan juga untuk mendekatinya. Selain Asep, sepertinya Dion juga akan memanfaatkan Rianti.
“Oh iya, i********: lo apa?” tanya Dion lagi.
Rianti semakin digaduhi oleh rasa harap. Ia dengan cepat memberitahukan nama istagramnya kepada Dion dan lelaki itu pun juga langsung mem-follow akun i********: Rianti saat itu juga. Membuat Rianti kian diselimuti rasa bahagia dan membuat Rianti berpikir bahwa….
DION TERTARIK KEPADANYA.
“Pengikut lo banyak juga, ya,” tukas Dion kemudian.
Rianti tersenyum malu. “Ah nggak kok. Masih banyakan followers lo kali.”
Rianti menjadi semakin malu-malu saja. Dia berharap sang waktu kini terhenti agar bisa tetap bersama Dion.
“Oke. Thanks buat hari ini ya, semoga sometimes kita bisa main bareng lagi,” ucap Dion.
Rianti mengangguk. “Emmm… kabarin aja.”
“Iya. Kayaknya gue juga bakalan makan lotek ke sini terus setiap hari minggu.” Dion tersenyum.
“Lo serius?” Rianti menatap tak percaya.
“Iya.”
Rianti tak bisa menyembunyikan raut wajah senangnya. Kemudian Dion pun bangun dari duduknya dan berkata lagi.
“Biar gue aja yang bayar. Sekali lagi thanks ya. Gue pulang dulu.”
Rianti hanya mengangguk dengan ekspresi sok cantiknya. Ia kini memerhatikan sosok Dion yang sedang membayar makanan mereka pada mpok Neni. Sebelum benar-benar keluar dari kedai itu, Dion kembali menatap Rianti, tersenyum dan menundukkan sedikit kepalanya, lalu kemudian baru benar-benar pergi.
“Haaaah.”
Rianti langsung meleleh.
Hari ini pun juga terasa seperti mimpi baginya.
Mimpi yang teramat indah.
Rianti mengulum senyum dan mulai bermain dengan angan-angannya sendiri. “Apa mungkin dia emang suka sama gue…?”