06. Pertandingan Futsal

2037 Kata
Dion sudah selesai memasak makan siang untuk papanya sepulang bekerja nanti. Seperti biasa, rumah itu pun kinclong tanpa noda. Tampak mengkilat, bersih dan juga harum mewangi. Dion pun sudah selesai mandi dan bersiap-siap dengan kostum futsalnya. Hari ini dia dan timnya akan bertanding melawan tim dari SMA lain. Mereka mengikuti turnamen yang diadakan oleh sebuah tempat futsal yang baru saja dibuka. Tim futsal yang dikomandoi oleh Dion pun berhasil melenggang ke partai final. Hadiah yang akan mereka dapatkan jika berhasil keluar sebagai juara pun cukup menggiurkan. Dion memakai setelan baju futsal berwarna navy. Ia sudah memasang sepatu, pelindung dengkul dan berbagai pernak-pernik lainnya hingga pengikat kepala agar poninya tidak mengganggu ketika bermain bola nanti. Setelah itu ia langsung mengeluarkan motornya dari garasi. Sebelum berangkat, Dion memeriksa kembali pintu rumahnya apakah sudah terkunci atau tidak. Akhir-akhir ini Dion jadi agak pelupa. Entah apa penyebabnya. Sebelum melaju, ia menghubungi seseorang. Panggilan itu dijawab oleh sebuah suara yang terdengar agak cempreng. “Halo.” “Halo, Cep… gue udah mau ke lapangan, nih,” pungkas Dion. Sosok yang dihubungi Dion itu adalah Asep Wahyudi, teman karibnya. Asep yang satu sekolah dengan Dion itu merupakan orang Pekanbaru yang merantau ke Ibukota sejak dia berusia lima bulan. Asep anak yang cukup tangguh dalam bermain futsal. Dia adalah partner Dion dalam membuat serangan-serangan mutakhir untuk menembus gawang lawan. Oh iya, Asep itu biasa dipanggil Cecep di sekolahnya. “Eh, tapi… motor gue tetiba dipake adek gue nih. Katanya cuma pergi bentar. Gue udah nungguin dari tadi dianya nggak balik-balik,” ucap Cecep di seberang sana. “Ya udah lo pergi naik gojek aja,” usul Dion. “Gua nggak ada duit njir. Lo kan tau gue lagi dihukum. Seminggu ini gue nggak dikasih jajan karena ketahuan nonton bo-kep di kamar mandi,” jelas Cecep. Dion tergelak. “Hahaha. Makanya… kerjaan lo ada-ada aja, sih!” “Lo jemput gue dong!” pinta Cecep. Nada suaranya terdengar memelas. “Gue kan nggak pernah ke rumah lo.” “Ya kan bisa gue kasih tau alamatnya. Jemput gue ya! Atau ya, gue nggak ikutan aja.” “Lo ngancem gue?” “Hehehe. Ayo buruan!” “Iya deh. Lo sharelock aja. Gue akan ke sana,” tutur Dion. “Oke, Boss.” Panggilan itu terputus. Cecep pun juga langsung mengirimkan lokasinya dan Dion bergegas meluncur kesana. Jarak ke rumah Cecep ternyata tidak terlalu jauh. Setelah berkendara sekitar sepuluh menit, akhirnya motor Dion berbelok memasuki sebuah kompleks perumahan yang cukup padat. Dion kemudian berhenti di seberang jalan. Ia menatap rumah berwarna biru yang ada di seberang sana. Dion pun kembali menghubungi Cecep. “Halo! Gue udah di depan rumah lo, nih.” Prot. Eh. Dion mengernyit. Dia barusan mendengar suara yang terdengar cukup aneh. “I-itu suara apa?” tanya Dion. “Lo bisa tunggu gue bentar, kan… gue lagi… uught.” terdengar suara Cecep yang sedang mengejan boker. “k*****t! Lo lagi boker!” pekik Dion kesal. Dion yang tidak mau lagi mendengar suara bom yang kecemplung itu pun langsung memutuskan panggilannya. Dion terpaksa menunggu di luar. Padahal matahari sangat terik. Ia semakin kepanasan karena jaket dan celana jeans yang dipakainya di luar setelan baju olahraga. Dion terus menunggu. Si cecep tak juga kunjung keluar. Tiba-tiba Dion melihat seorang gadis memanjat keluar dari pagar rumahnya yang berada tepat di sebelah rumah Cecep. Dion cukup terkejut. Awalnya dia mengira bahwa gadis itu adalah seorang maling. Karena gelagatnya memang mencurigakan. Gadis itu tampak waspada. Dion pun memerhatikan semua itu dari balik helm-nya. Tapi kemudian… Gadis itu malah berlari mendekatinya. “Bang! Ojek, kan? Ayo buruan anterin saya!” tukas gadis itu tergesa-gesa. Yang membuat Dion heran adalah, gadis itu menyebutkan alamat lokasi lapangan futsal tempat dia akan bertanding nanti. Dion mengernyit dari balik helm yang menutupi wajah. Dia rasa-rasa pernah melihat gadis itu. Dion malah termenung, sedangkan gadis itu sudah duduk di boncengannya. “Ayo buruan jalan, Bang!” desaknya lagi. Di tengah kebingungan itu, Dion akhirnya menyalakan motornya dan kemudian melaju pergi. Tak lama kemudian sosok Cecep pun tampak keluar dari rumahnya dengan wajah yang letih setelah mengeluarkan semua isi perutnya. Cecep menatap bingung sampai garuk-garuk kepala. “Lho… si Dion mana?” bisiknya. * Sepanjang perjalanan, Dion pun terus mengintip sosok Dina dari kaca spion. Dia kini menjadi bingung sendiri. Kenapa dia malah membonceng perempuan itu dan bukannya cecep? Apa sebaiknya dia menurunkannya saja? “Cepetan dong, Bang!” Dion terkejut tatkala Dina menepuk punggungnya dengan cukup keras. Dion menatap sengit ke kaca spion. Sedangkan Dina yang membuka kaca helm-nya kini menampakkan wajahnya dengan jelas dan saat itulah Dion teringat. Dia adalag gadis yang sudah menabraknya tadi pagi. Dion terngaga tak percaya. Apa ini adalah hari sial dalam hidupnya? Tapi meskipun demikian, Dion terus melaju hingga akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Dion masuk ke area tempat lapangan futsal itu. Dina pun segera turun, melepaskan helm-nya, lalu memberikan secarik uang kertas sepuluh ribu kepada Dion. Lagi-lagi uang sepuluh ribu. “Ini, Bang!” tukas Dina. Dion mengembuskan napas, lalu membuka helm-nya, lalu menatap tajam. “Gue ini bukan ojek!” tukas Dion. Eh. Dina mengernyit. Dia tertegun beberapa saat. “T-tapi kenapa…. kenapa kamu mau nganterin aku?” “Itu karena lo udah naik aja ke boncengan gue dan maksa gue,” jawab Dion ketus. Dino terkesiap. Dia menjadi bingung dan gugup. “T-terus….” Sementara itu tatapan Dion beralih pada uang sepuluh ribu yang masih terulur padanya. “Hari ini udah dua kali lo nyodorin duit sepuluh ribu sama gue.” Dina mengernyit bingung. “Dua kali?” “Iya, dua kali.” Dina masih menatap linglung. Mengharapkan penjelasan lebih lanjut. “Tadi pagi lo juga nyodorin uang setelah nabrak gue sampe bubur kacang ijo gue pecah,” jelas Dion. Dina langsung melotot seiring ingatan itu kembali melintas di kepala. Dia menatap Dion lekat-lekat. Benar… dia adalah anak laki-laki jutek yang memarahi Dina tadi pagi. “Oh iya. Kamu yang tadi pagi ngomel nyuruh aku jalan pake mata itu, kan!” Dion berdecak kesal. “Tadi pagi lo udah bikin bubur kacang ijo gue pecah, sekarang lo jadiin gue tukang ojek.” “Ya ngapain kamu mau aja! Jadi itu bukan sepenuhnya salah aku dong!” bentak Dina. Dion berkacak pinggang dan berjalan lebih dekat. Membuat Dina sedikit ketakutan dan beringsut mundur. Dina buru-buru mengeluarkan selembar sepuluh ribu lainnya, meletakkannya ke telapak tangan Dion, lalu kemudian menyeringai. “Ini ganti bubur kacang ijo sama ongkos ojeknya. Sorry and makasih Bestie! Dan satu lagi… dimana-mana orang itu jalan pake KAKI. BUKAN PAKE MATA!” Dion termangu, sedangkan Dina dengan cepat melarikan diri masuk ke dalam gedung lapangan futsal itu. Dina tersenyum dan merasa puas karena sudah mengatai balik lelaki itu. Dina mempercepat langkahnya dan tidak lagi menoleh ke belakang. Tatapan Dion pun tertuju pada dua helai uang sepuluh ribuan yang kini remuk dalam genggamannya. Sedetik kemudian Dion menyusulnya, bermaksud untuk kembali berperang. Ia jelas tidak bisa diperlakukan seperti itu. Semua yang sudah terjadi tidak bisa diselesaikan dengan uang dua puluh ribu rupiah. Dengan langkah gusar, Dion lekas menyusul. Dia siap untuk memaki Dina yang dinilai tidak tulus dalam meminta maaf dan juga berterima kasih, tapi saat menerobos pintu, langkah Dion pun terhenti. Dia melihat sosok Dina sedang berpelukan dengan seorang lelaki yang memakai setelan futsal berwarna kuning. Mereka berdua terlihat bercanda dan tersenyum. Pemandangan itu pun membuat niatan Dion untuk melabrak Dina terhenti. “Apa dia itu pacarnya Bagas?” desis Dion pelan. Dion ternyata mengenali Bagas. Dion tidak mau mengganggu mereka dan berniat pergi. Tapi ketika berbalik, ia terkejut melihat sosok Cecep sudah menatap murka di belakangnya. Deg. “Kenapa lo malah ninggalin gue BANGSAAAAT …!” pekik Cecep menumpahkan amarahnya. Dion menyeringai. “Hehehe.” Keadaan Cecep tampak menyedihkan. Sekujur tubuhnya basah bermandikan peluh. Karena Dion menghilang, Cecep terpaksa berlari ke tempat futsal itu. Beruntung ketika di setengah perjalanan Cecep bertemu dengan rekan satu timnya yang akhirnya memberi tumpangan. Tapi meskipun begitu rasa penat dan tetesan peluh tetap mencuat menembus pori-pori kulitnya sekalipun dia hanya duduk di atas motor dan sudah berhenti berlari. “Lo ke sini jalan kaki?” tanya Dion. Cecep menatap sengit dengan lubang hidung yang kembang kempis. “Kagak. GUE TERBANG!” jawabnya ketus. * Sementara itu… “Aku nggak telat, kan?” tanya Dina. Bagas menggeleng. “Nggak kok. Pertandingannya belum dimulai. Oh, iya… kenapa nomor handphone kamu malah nggak aktif.” Dina langsung merengut. “Mama ngambil handphone aku lagi.” “Kok bisa?” “Ceritanya panjang. Nggak sudah dibahas deh. Yang penting sekarang aku udah di sini,” tukas Dina seraya tersenyum. Bagas juga tersenyum. “Ya sudah kalau begitu. Nanti sepulang dari sini… kita berdua akan ikut makan-makan bareng sama tim aku dan juga tim lawan. Setelahnya baru deh kita berdua bisa nge-date. Gimana? Kamu nggak keberatan, kan?” “Aku nggak keberatan, kok,” jawab Dina. Setelah itu Bagas berlutut di hadapannya. Lagi-lagi memasangkan tali sepatu Dina yang bentuknya tidak karuan. Aksi Bagas itu pun kini disaksikan oleh Dion yang juga masih mendengarkan omelan Cecep yang sakit hati karena sudah ditinggalkan. Dion pun tersenyum sumbang. “Dasar manusia bucin!” Pertandingan itu pun akhirnya dimulai. Alangkah terkejutnya Dina yang duduk di tepi lapangan melihat sosok Dion yang sekarang ini sedang berjabatan tangan dengan Bagas sebagai sesama kapten tim. Jari telunjuk Dina pun terangkat pelan menunjuk sosok Dion yang kini sudah melepas jaket dan celana jeansnya. Menampilkan setelan baju futsal berwarna navy. “J-jadi dia….” Dina menatap tak percaya. Bersamaan dengan itu Dion menatap kepadanya dan tersenyum. Membuat Dina tersentak dan kemudian mengalihkan pandangannya. Suara pluit yang terdengar nyaring dan panjang pun memulai permainan itu. Si kulit bundar mulai bergulir ke sana ke mari. Mereka berlarian, saling kecoh dan mengoper bola kepada rekan sesama tim. Suara decit sepatu para pemain pun terdengar jelas. Dina terfokus pada sosok Bagas. Di depan sana terlihat Bagas sedang berusaha untuk membobol gawang lawannya. Bagas cukup lihai dan membuat lawan kewalahan. Dina menatap gugup. Bagas bersiap hendak menyipak bola ke gawang, tapi tiba-tiba sosok Dion bisa merebut bola itu dan langsung mengaraknya ke arah gawang tim Bagas. “Aish…,” Dina ikut merasa kesal. Pertandingan berlangsung cukup sengit. Menit demi menit terus berlalu. Akan tetapi angka di papan score masih kacamata alias kosong - kosong. Bola terus menggelinding, menukik dan menghujam tajam di tengah lapangan. Saat ini bola kembali dikuasai oleh tim bagas. Umpan-umpan cantik pun terus diberikan dan pada akhirnya… Sebuah gol pun tercipta. “GOOOOOLLLL…!” Dina yang tadinya duduk langsung berdiri dan tersenyum senang. Sosok Bagas pun juga menatap Dina dan membentuk simbol ‘love’ memakai jemarinya. Bagas tampak sangat bangga dan senang karena pertandingan kali ini pun disaksikan oleh sang pacar tercinta. Bagas bahkan berlari mendekati Dina sebentar hanya untuk sekedar mencubit hidungnya. “Fighting! Cetak gol yang banyak!” pekik Dina ketika Bagas kembali berlari ke tengah lapangan. Dion yang melihat dan mendengar semua adegan romantis itu pun menghela napas pendek. Dia tersenyum, Dion lalu mengencangkan ikatan tali sepatunya seolah-olah dia siap untuk membalas kekalahan. Dan benar saja. Ketika permainan dilanjutkan, Dion mulai menggila. Dia menjadi lebih gesit dan juga menjadi lebih cepat. Kakinya dan bola itu seakan-akan menyatu dan tidak bisa dipisahkan lagi. Tapi pertahanan dari tim Bagas juga cukup sulit untuk ditembus. Bola itu terus berpindah-pindah. Suara derap langkah dari sepatu para pemain terdengar bagaikan sebuah irama. Dina yang tadi duduk kini berdiri di tepi lapangan dan terus memberikan semangat untuk sang pacar. “Ayo semangaaaat!” “Rebut bolanya!” “Cetak gol lagi!” Dina terus memekik. Hingga tiba-tiba bola itu melayang sangat kencang dan kuat ke arahnya. Dina malah mematung dengan wajah yang ketakutan. Bagas yang berada di sisi jauh darinya pun juga menatap cemas. Bola itu terlihat berputar-putar di udara dan bersiap menghantap wajah Dina. Dina memejamkan mata, tapi kemudian ia merasakan ada seseorang yang dengan cepat berdiri di depannya dan menangkis bola itu. “Ayo lanjut!” ucapnya. Dina membuka mata. Ternyata itu adalah Dion. Lelaki itu tidak berkata apa-apa. Setelah melindungi Dina dari terjangan bola, dia pun kembali berlari-larian kecil memasuki lapangan. Dion tetap cuek seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi Dina sekarang tertegun menatapnya dengan segenap perasaan aneh yang kini terasa menyergapnya. “K-kenapa jantung aku jadi berdebar seperti ini?” bisik Dina lirih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN