05. Me Vs Mom

1929 Kata
Cowok berparas tampan dengan kulit sawo matang, tatapan tajam, hidung yang mancung bak orang India itu bernama Bagas Dhirgantoro. Bagas adalah ketua Osis dan merupakan salah satu siswa paling most wanted di sekolah. Pesonanya memang luar biasa. Bagas itu gambaran lelaki jantan yang sangat keren. Tingkat maskulinnya benar-benar bisa membuat kaum hawa meleleh kala menatapnya. Meskipun masih berstatus sebagai murid SMA, tetapi Bagas sudah mempunyai postur tubuh yang sangat berotot karena dia memang rajin berolahraga. Banyak kaum siswi yang tergila-gila padanya. Mereka seakan jadi kehilangan akal sehat dan terus mengikuti Bagas. Bahkan beberapa tak segan mengungkapkan perasaan mereka terlebih dahulu. Pernyataan cinta untuk Bagas bahkan sudah menjadi pemandangan umum di sekolah. Tapi Bagas menolak semuanya dengan halus dan baik. Dan ternyata… Bagas sudah lama jatuh hati pada seorang wanita. Dan wanita yang beruntung itu ternyata adalah Dina. Pernyataan cinta Bagas kepada Dina menjadi salah moment paling sakral. Kabar itu menjadi trending topik di sekolah. Semua orang terkejut dan tidak menyangka. Hari itu pun juga resmi sebagai hari patah hati nasional bagi para siswi. Ada yang merelakannya. Ada yang larut dalam rasa kecewa dan ada juga yang menyuarakan ketidaksetujuannya atas hubungan Dina dan Bagas secara terang-terangan. Awal jadian adalah masa tersulit untuk Dina. Karena saat itu dia langsung menjadi sasaran kebencian dari para barisan patah hati. Namun untunglah Bagas selalu melindunginya dan saat-saat mengerikan seperti itu pun berakhir. Hingga sekarang ini tanpa terasa sudah lima bulan saja mereka berdua memadu kasih. Mencatatkan diri sebagai pasangan paling fenomenal “Hai cantik,” sapa Bagas. Dina menatapnya, lalu tersenyum. “Hai juga jelek.” Bagas memerhatikan wajah Dina lekat-lekat. “Kamu begadang lagi ya, semalam?” “Hehehe. Ya maap. Aku keasyikan lihat t****k semalam.” Bagas mendesah pendek. “Begadang itu nggak baik buat kesehatan kamu, Din. Nanti kalo kamu sakit gimana? Aku kan udah pernah bilang… sebaiknya mulai jam sembilan malam itu handphone-nya dimatiin aja, terus ditaro jauh-jauh.” “Aku ngerjain saran kamu kok dan emang berhasil sih. Aku jadi bisa tidur lebih awal.” “Tapi cuma sekali, kan?” Bagas menyipitkan matanya. Dina tergelak. “Iya cuma sekali.” Bagas kemudian berjongkok di hadapan Dina yang duduk di kursi. Dina terkejut dan menatap bingung, tapi saat ia hendak berbicara, Bagas langsung meraih tali sepatu Dina yang lepas, lalu mengikatnya kembali. Dina pun tersenyum melihat Bagas yang kini mengikatkan tali sepatunya. Salah satu kelemahan Dina adalah ia tidak pernah mahir dalam mengikat sepatu. Dina sudah mencoba, dia juga sudah melihat berbagai tutorial melalui youtube dan sebagainya. Tapi tetap saja, ikatan sepatu Dina selalu saja aneh dan gampang lepas. “Nanti kamu jatuh lagi…,” ucap Bagas seraya mengikat tali sepatu lebih kuat. “Ya gimana lagi… aku udah coba ngiket sepatunya dengan baik, tapi tetep aja copot.” Dina cemberut. Bagas mendongakkan wajah menatap Dina, lalu kemudian tersenyum. “Ya udah… aku bakalan ngiketin tali sepatu kamu setiap pagi.” Dina tersenyum malu, lalu memukul pundak Bagas dengan lembut. “Kamu bisa aja, ih.” Bagas kemudian beranjak duduk di sebelah Dina. Mereka berdua seangkatan, tapi berada di kelas yang berbeda. “Nanti sore kamu ada waktu nggak?” tanya Bagas kemudian. “Waktu? Emangnya kenapa?” Bagas tersenyum. “Aku mau ngajak kamu untuk nonton pertandingan futsal aku. Laga final ngelawan tim dari SMA lain.” Dina membelalak senang. “Serius? Kapan jam berapa?” “Nanti sekitar jam tiga sore. Bisa lebih cepat atau bisa juga lebih lambat. Gimana? Kamu mau pergi, kan?” Dina mengangguk antusias. “Tentu saja. Aku akan pergi.” “Tapi nanti sayangnya aku nggak bisa jemput kamu… karena sebelum tanding, aku sama tim ada jadwal latihan dulu. Semacam persiapan sebelum bertanding,” tukas Bagas. “Nggak apa-apa kok. Aku bisa pergi sendiri. Kamu kasih tau aja di mana alamatnya. Ntar aku bisa naik gojek ke sana.” “Kamu yakin nggak apa-apa?” Bagas masih meragu. “Iya nggak apa-apa, kok.” Dina meyakinkan seraya tersenyum senang. Bagas tersenyum. “Kayaknya nanti aku pasti bisa bermain lebih semangat karena didukung sama kamu.” Dina tersipu dan merapikan rambutnya ke belakang telinga. Setelah itu obrolan mereka berlanjut membahas tentang salah seorang guru yang dianggap menyebalkan oleh Dina. Kejadian itu berawal karena sang guru saat itu salah dalam memberikan sebuah rumus, dan kemudian Dina memprotesnya. Rupanya guru itu merasa tersinggung dan malah menganggap sikap Dina itu sebagai sikap ‘sok pintar’. “Guru-guru jaman sekarang emang pada baperan sih.” Bagas berkomentar. “Makanya… aku kesel banget. Padahal aku juga ngingetinnya baik-baik. Bu… itu rumus yang Ibu pake salah. Eh, dia langsung ngomel dan kemudian ngambek. Aneh, kan?” Bagas mengangguk. “Ya udah jangan masukin ati. Mungkin emang Ibunya lagi sensitif. Mungkin di rumah dia lagi berantem ama suaminya, yakan hahaha.” “Ibu itu janda,” bantah Dina. “Oh…” Bagas terkejut, lalu kembali tertawa. “Lupain ya… kamu juga nggak marah apalagi dendam.” Dina mengangguk. “Iya. Aku akan lupain kok.” Hingga kemudian terlihat Bagas mengendus-endus. Penciumannya seperti terganggu oleh sesuatu. “K-kenapa?” tanya Dina. “Kayaknya ada bau-bau asem gitu, deh,” jawab Bagas. Deg. Dina langsung terkesiap. Sudah jelas bau masam itu dari ketiaknya. Dia tidak mandi. Tidak juga pakai doedorant dan sekarang mereka berdua duduk di bawah terpaan teriknya sinar matahari. Kedua bahu Dina sontak mengkerut. Sedangkan Bagas masih mencari sumber bau itu. Sangat memalukan. Membuat Dina ingin berlari kemudian menghilang dari muka bumi. “Apa bau badan aku, ya?” Bagas mengendus badannya sendiri. Dina langsung berdiri dengan tatapan gugup. Langsung menjaga jarak dari Bagas. “Kenapa kamu berdiri?” tanya Bagas. Dina menyeringai. “Oh, aku lupa… aku harus ke kantor majelis guru.” “Ngapain?” “Ada perlu.” “Aku temenin!” “NGGAK USAH!” Dina menolak histeris. Sedetik kemudian Dina langsung berlari pergi dan sesekali menoleh untuk memastikan bahwa Bagas tidak mengikutinya. Setelah berbelok di lorong, Dina pun langsung menyandarkan punggungnya ke dinding dan kemudian meringis malu. “Haduh… benar-benar sangat memalukan sekali….” ** Pulang dari sekolah, Dina langsung disambut oleh rentetan omelan Emilia yang tanpa henti seperti rentetan bunyi terompet di malam pergantian tahun baru. Mamanya itu benar-benar murka karena Dina pergi ke sekolah diam-diam di pagi buta dan tidak mengerjakan semua kewajibannya. Emilia beranggapan bahwa mencuci piring, memasak sarapan dan membereskan rumah di pagi hari adalah suatu kewajiban bagi Dina. “Sudah untung kamu dibawa tinggal di rumah ini. Tapi kamu malah nggak tahu terima kasih. Kamu selalu saja hidup semau kamu. Dasar anak yang tidak berguna!” Emilia masih mengomel seraya mondar mandir di depan pintu kamar Dina yang terbuka. Dina yang berada di dalam kamarnya itu hanya santai. Sudah terbiasa dengan segala omelan Emilia yang kadang-kadang memang sudah sangat keterlaluan. “Sekarang mama tidak mau tahu… kamu harus membersihkan semua rumah. Cucian juga sudah menumpuk!” pekik Emilia lagi. Kali ini Dina mengernyit dan kemudian melongok ke pintu. “Loh… bukannya nyuci pake mesin cuci?” “Pakaian Varrel itu harus dicuci tangan!” Dina memutar bola matanya jengkel. Lagi-lagi bocil k*****t itu. Dina kemudian kembali masuk ke dalam dan malah duduk di tepi ranjang seraya sibuk dengan hanphone-nya. Dina senyam-senyum sendiri membaca chattingan dari Bagas yang menyuruhnya untuk segera makan siang begitu tiba di rumah. Bagas memang sangat perhatian. Dia selalu memperlakukan Dina seperti ratu. Ketika jarinya sibuk mengetik pesan balasan, handphone itu tiba-tiba dirampok dari genggamannya. Deg. Dina langsung melotot tajam. “MAH! BALIKIN HANDPHONE-NYA…!” pekik Dina kesal. Emilia langsung menyurukkan handphone itu ke dalam kantongnya. “Hp kamu bakalan mama sita sampai kamu menyelesaikan semua yang mama suruh!” “Maaa…!” Dina menyapu wajahnya dengan telapak tangan. “Apa-apaan sih! Sini balikin handphone-nya!” Emilia tidak menggubrisnya dan beranjak ke dalam kamarnya, lalu mengunci pintu. Dina langsung menyusul dan menggedor-gedor pintu kamar itu dengan keras. “Ma! Balikin handphone aku!” “Pokoknya hp-nya akan mama tahan sampai semua pekerjaan kamu selesai!” pekik Emilia dari dalam kamar. Dina menumbuk pintu kamar itu saking kesalnya. Membuat kulit jemarinya terluka, t*i Dina tak peduli. Dia benar-benar kesal. Sang mama tidak pernah bisa membiarkannya hidup dengan tenang. Dina sebenarnya tidak pernah keberatan dengan semua pekerjaan yang dibebankan padanya. Toh, selama ini dia juga tetap mengerjakan semuanya. Hanya saja sang mama selalu membuat drama yang melelahkan. Dina bisa menyelesaikan semuanya dengan tenang, tapi dia paling malas ketika disuruh. Apa kalian memahami perasaan seperti itu? “Hah.” Tak puas dengan memukul, Dina pun juga menendang pintu kamar itu. Dia akhirnya harus membereskan semua kekacauan. Piring kotor yang menggunung di bak pencucian itu membuat tengkuknya langsung terasa berat. Dina harus pergi menonton pertandingan futsalnya Bagas. Karena itu mau tidak mau, sekarang ini dia harus langsung bergerak. Dina memulainya dengan mengumpulkan semua piring dan gelas kotor yang berceceran di mana-mana. Ada yang di ruang tamu, di teras, di ruang nonton, di mana saja. Setelah itu dia membereskan rumah terlebih dahulu. Merapikan mainan milik Varrel adalah bagian paling melelahkan. Bocah itu selalu saja membuat kekacauan setiap hari. Mainannya bertebaran sepanjang rumah. Dina sampai bercucuran peluh membereskan semuanya. Bahkan hingga karpet pun bergeser ke sana ke mari entah bagaimana penyebabnya. Rasanya sangat memuakkan sekali. Setiap harinya seperti itu. Sang mama hanya fokus pada suaminya dan juga anak sambung kesayangannya itu. Sementara Dina, darah dagingnya sendiri. Anak yang ia lahirkan sendiri. Malah diperlakukan seperti pembantu. Setelah selesai dengan membereskan rumah, Dina langsung berkutat dengan piring kotor. Karena mengerjakannya dengan penuh rasa kesal, bunyi berdengkang itu terus terdengar. Dina seperti akan memecahkan semuanya. Lelah. Sangat melelahkan. Ia berpacu dengan waktu. Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua lsiang lewat. Dina semakin mempercepat aksinya. Dia juga butuh waktu untuk nantinya bersiap-siap. Setelah selesai bertempur melawan piring kotor, akhirnya Dina beralih ke tugas yang terakhir, yaitu mencuci pakaian milik Varrel. Tapi begitu melihat ke sudut pakaian kotor… Dina tercengang. Pakaian itu menumpuk layaknya dosa-dosa yang terkumpul bertahun-tahun. Banyak sekali. Membuat d**a Dina langsung terasa sesak. Dia yakin pasti sang mama sengaja mengosongkan lemari Varrel. Dina pun kembali melangkah gusar mendekati pintu kamar mamanya itu. “Mah! Kenapa pakaian kotornya banyak sekali, ha? Mama sengaja ngeluarin semua pakaian dia dari lemari apa gimana sih?” bentak Dina. “Iya. Pakaiannya sudah apek karena terlalu lama di lemari. Cuci saja… jangan banyak protes!” jawab Emilia dari dalam kamar tanpa membuka pintunya. Dina memicingkan mata. Tetap mencoba bersabar. Kalau tidak karena handphone-nya… dia sudah minggat dan menghilang tanpa mengerjakan semua pekerjaan itu. Dina akhirnya mulai mengangsur mencuci. Ia merendamnya dengan detergen menggunakan sebuah ember besar dan kemudian menginjak-injak rendaman cucian itu. “Pakaian ini berarti tidak terlalu kotor kan… harusnya mama bisa merendamnya saja. Dasar… dia hanya ingin membuat aku kerepotan karena melarikan diri tadi pagi,” desis Dina. Dan waktu pun berlalu. Membilas cucian secara manual adalah pekerjaan yang paling melelahkan di jaman sekarang dan Dina harus melakukannya. Waktu terus bergerak. Hingga kemudian ia tersadar bahwa waktu sudah menunjukkan hampir pukul tiga sore. Dina mengempaskan kain yang sedang ia peras itu dengan gusar, lalu keluar dari kamar mandi. Dia tidak peduli lagi pada handphone-nya. Dina langsung bersiap-siap. Ia mandi dengan cepat dan juga mengganti pakaiannya. Semua dilakukan dengan terburu-buru dan juga panik. Setelah selesai, Dina pun juga langsung menghambur keluar rumah. Dan kebetulan ia melihat seseorang dengan motornya sedang berhenti di seberang jalan. Sosok itu memakai helm dan dengan perasaan yakin, Dina langsung menghampirinya. “Bang… ojek ya? Ayo buruan anterin saya!” Eh. Sosok dibalik helm itu tentu terkejut. Tapi Dina tidak peduli. Dia malah mengambil helm lain yang tersangkuit di bagian depan, memakainya dengan tergesa-gesa dan langsung naik ke boncengan. “Ayo, Bang! Cepetan jalan!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN