Bagas merasa pusing pagi ini. Kemarin malam ia benar-benar lupa diri dan terbawa arus. Bagas meminum alkohol terlalu banyak hingga dia beberapa kali muntah dan akhirnya merepotkan semua orang. Bagas tidak bisa mengingat apa-apa malam itu. Ingatan terakhirnya hanyalah ketika ia masih berada di ruang VIP klab malam dan setelah itu Bagas tidak mengingat apa-apa lagi. Ia terbangun di kosan temannya bernama Ibnu. Ibnu-lah yang menceritakan bahwa Alfian yang sudah teler mulai menimbulkan kekacauan, berjalan ke sana ke mari, bersenandung tidak jelas, hingga akhirnya muntah dan tidak sadarkan diri. Teman-temannya itu jelas tidak berani mengantarkan Bagas pulang ke rumahnya dalam keadaan mabuk. Karena mereka sama-sama tahu betapa galaknya ayah Bagas. Alhasil Bagas dibawa oleh Ibnu ke kost-annya. Dan kemudian Bagas terpaksa menembus hawa dingin waktu subuh untuk pulang ke rumah dan bersiap pergi ke sekolah. Beruntung dia berhasil menyelinap masuk ke kamarnya tanpa ketahuan. Kalau sampai papanya tahu bahwa dia semalam tidak pulang, habislah sudah. Bagas bisa mendapatkan hukuman.
“Hah… sebenarnya berapa banyak aku minum tadi malam?” desis Bagas sambil memijit-mijit kepalanya.
Bagas hari ini juga memilih berangkat ke sekolah dengan naik bus saja. Dirinya masih oleng dan belum stabil. Mengendarai motor dengan sisa mabuk semalam bisa saja menjadi mara bahaya yang mengancam nyawanya. Akhirnya bus itu berhenti tepat di halte yang berada di sisi seberang sekolah.
Bagas lekas membayar ongkos dan kemudian bergegas turun.
Dia menunggu sejenak untuk bisa menyeberang jalan. Tapi dalam penantian itu, tiba-tiba Bagas melihat sebuah motor menepi di depan sana. Seorang siswi turun dari boncengan itu dan kemudian melepaskan helm-nya.
Deg.
Bagas tersentak. “D-DINA…!”
Bagas semakin syok lagi ketika lelaki yang membonceng Dina juga melepas helmnya. Dia adalah Dion. Sosok lelaki yang memang sudah mengganggu pikiran Bagas selama beberapa hari belakangan ini. Emosi pun dengan cepat mengusai Bagas tatkala melihat pemandangan itu. Dia segera menyeberang. Tak peduli lagi pada jalanan yang masih ramai. Ia hampir terserempet mobil, juga mendapatkan makian dari seorang pengendara motor, tapi…
Bagas tidak peduli.
Tatapan matanya yang penuh dengan sorot kebencian itu masih tertuju pada sosok Dion yang kini tersenyum kepada pacarnya. Aksi Dion itu membuat amarah Bagas kian memuncak. Dia mengepalkan tinjunya lebih kuat, mempercepat langkah kakinya, hingga kemudian Bagas meraih pundak Dion, memutar tubuh lelaki itu, lalu kemudian melayangkan sebuah tinju ke wajahnya.
“BAGAAAS…!” pekik Dina histeris.
Dion yang terkejut dan tidak siap dengan serangan tiba-tiba itu pun kini terjatuh ke tanah. Dia tergolek beberapa saat dan kemudian segera bangun seraya menyeka sudut bibirnya yang kini mengeluarkan bercak darah.
“LO EMANG b*****t! NGAPAIN LO BONCENG CEWEK GUE HA…!?” Bagas berkata murka.
Suasana di depan gerbang itu pun menjadi ramai. Orang-orang mulai menonton perkelahian itu.
Bagas bersiap untuk menyerang lagi, tapi kali ini Dion bisa menghindar dengan gesit.
“Heh. Santai bro! Lo kenapa, ha?” tanya Dion. Suaranya terdengar tenang.
“Kenapa? Lo masih bisa tanya kenapa?” Bagas balik bertanya. Wajahnya sudah merah padam. Dia belum puas. Dia masih ingin menghajar Dion.
Tapi Dion begitu lincah. Dia tidak balas menyerang. Hanya menghindari setiap serangan yang coba Bagas tujukan kepadanya.
“Gue udah cukup sabar sama lo ya! Sekarang gue nggak bisa diem lagi.” Bagas menatap tajam.
Dion malah menyeringai. “Cukup sabar dan pengecut itu memang beda tipis.”
“APA…?” Emosi Bagas kembali meluap.
Dia melayangkan tinjunya kuat-kuat dan membuat semua orang yang sedang melihat meringis ketakutan. Pukulan itu agaknya bisa memecahkan hidung Dion yang kini berdiri di hadapannya. Dina pun juga meringkuk ketakutan dan sontak memejamkan matanya.
Dan kali ini…
Dion tidak lagi menghindar, tapi dia berhasil menangkap kepalan tinju itu dengan telapak tangannya. Membuat Bagas pun sedikit tersentak karena ternyata Dion lebih kuat dari dugaannya. Tenaga Dion bahkan mampu mendorong kepalan tinju Bagas itu mundur.
“Gue pikir lo anak yang pinter dan bermartabat. Tapi ternyata… lo punya mental sampah juga ya?” Dion menatap santai, lalu mengempaskan tangan Bagas hingga lelaki itu sedikit terseok ke belakang.
“DINA ITU CEWEK GUE!” pekik Bagas.
“Terus apa? Kenapa kalo dia cewek lo?” tak terlihat sedikitpun ketakutan di mata Dion.
“Lo nggak perlu caper sama cewek gue! Gue tahu semuanya! Gue udah bersabar selama ini… lo bahkan menghalangi cewek gue di lorong kafe waktu itu, iya, kan?” bentak Bagas.
Deg.
Dina tersentak. Dia jelas terkejut karena ternyata Bagas mengetahui semuanya.
“Kenapa, ha? Apa lo mau ngerusak hubungan gue sama Dina?” tanya Bagas lagi.
Dion malah tersenyum. “Kalo emang lo tahu sejak awal, kenapa lo diem dan tidak melakukan apa-apa saat itu? Berarti gue bener. Lo itu pengecut. Iya, kan?”
Pertanyaan yang membuat Bagas kesulitan untuk menjawab.
“Hahahah.” Dion tertawa pelan. “Sebenernya lo bener-bener sayang nggak sih sama cewek lo?”
“Lo nggak punya hak buat bertanya seperti itu,” kecam Bagas.
“Yah. Gue emang ga berhak, tapi cewek lo berhak untuk memikirkannya lagi,” jawab Dion.
“Nggak usah banyak bacot. Gue cuma mau lo jangan ganggu Dina lagi!”
“Emang Dina itu milik hak pribadi lo? Hahaha. Gokil.”
“GUE SERIUS DION!” Bagas meringsek dan lagi-lagi meremas kerah kemeja Dion.
Hening.
Kedua lelaki itu kini saling menatap bengis. Sorot mata keduanya bagaikan anak panah yang sama tajamnya.
“Kenapa lo nganter cewek gue, ha?” tanya Bagas lagi.
Dion memejamkan mata sejenak, di detik berikutnya dia mundur selangkah, lalu kemudian melayangkan sebuah tendangan yang keras ke perut Bagas hingga ia tersungkur.
“WOOOO…!”
“WIIIIIH….!”
Kumpulan anak-anak yang menyaksikan pertengkaran itu pun terkejut dengan serangan balasan Dion.
“Uhuk…Uhuk….”
Bagas terbatuk. Dina pun dengan cepat mendekat dan menatap cemas. Setelah itu Dina beralih menatap Dion.
“Sekarang lebih baik kamu pergi. PERGI DARI SINI…!!!” usir Dina.
Sunyi.
Dion tertegun setelah mendapatkan pengusiran itu. Entah kenapa kalimat yang terlontar dari bibir Dina jauh terasa lebih menyakitkan dari pada pukulan Bagas yang sudah membuat sudut bibirnya terluka. Padahal Dion berada di pihaknya. Dion merasa bahwa Bagas tidak sepenuh hati mencintai Dina. Nyatanya Bagas tidak menjemput Dina atau bahkan lelaki itu mungkin sama sekali tidak tahu bahwa kaki Dina terluka.
“Aku mohon… jangan buat keributan di sini!” pinta Dina lagi.
Dion mengangguk-angguk samar. “Oke. Gue akan pergi….”
Dion kemudian berbalik mengambil helm-nya di atas motor dan memakainya. Tapi kemudian tiba-tiba Bagas bangun dan langsung menyerang Dion lagi dari belakang. Perkelahian tidak bisa terelakkan. Kedua lelaki itu bertengkar hingga berguling-guling ke tanah. Pekikan Dina pun tidak lagi mereka dengar. Dion dan Bagas sudah sama-sama berada di puncak emosi. Mereka saling pukul, saling serang. Teriakan dan u*****n kata-k********r juga tak henti terdengar.
Anak-anak yang menyaksikan bahkan terlalu takut untuk mendekat, apalagi melerainya.
“APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI, HA?” sebuah suara yang terdengar lantang dan berat akhirnya membuat Dion dan Bagas berhenti. Terlihat kepalan tangan Dion mengawang di udara, bersiap untuk memukul Bagas yang tergolek di bawahnya.
Pemilik suara itu adalah Pak Safiq. Salah satu guru killer di SMA itu. Dia langsung menatap tajam pada Bagas dan Dion secara bergantian.
“Bisa-bisanya kalian bertengkar pagi-pagi di gerbang sekolah! Ayo kalian berdua ikut saya!” hardik Safiq.
Bagas bangun dan menundukkan kepala. Sementara Dion juga bangun dan kemudian berbalik pergi menuju motornya.
“Heh… mau ke mana kamu, ha?” hardik Safiq.
Dion berbalik, lalu tersenyum. “Maaf, Pak… tapi saya bukan anak SMA sini.”
Perkataan Dion itu pun membuat anak-anak yang lain tertawa, tapi mereka langsung diam lagi saat pak Safiq menatap tajam pada mereka.
“Anak SMA mana kamu? Apa kamu datang ke sini untuk menyerang siswa SMA sini?” tanya Safiq.
Dion yang sudah berbalik membelakangi Safiq itu pun mengembuskan napas pendek, lalu berbalik lagi.
“Saya ke sini mengantarkan pacar dia ke sekolah. Kaki pacarnya terluka dan kesulitan untuk berjalan. Makanya saya merasa iba dan kemudian mengantarkannya,” jawab Dion datar.
Jawaban itu membuat Dina terkesiap. Bagas pun tampaknya juga terkejut dan langsung melirik ke arah kaki Dina. Anak-anak yang ada di sana juga langsung saling berbisik.
Pak Safiq pun tampak bingung, tapi ia juga belum mau melepaskan Dion begitu saja.
“JANGAN PERGI DULU! kamu tidak bisa pergi begitu saja!” bentak Safiq.
Dion menatap jengkel. “Urus saja murid Bapak itu. Semua yang ada di sini juga menjadi saksinya… kalau dia yang lebih dulu menyerang saya. Ah iya… mungkin karena dia masih berada di bawah pengaruh alkohol juga.”
“A-alkohol?” pak Safiq mengerutkan keningnya.
“Cium saja lebih dekat. Anda pasti akan tahu!” tukas Dion lagi.
Bagas pun kini tertunduk. Anak-anak yang lain pun juga menatap sangsi terhadapnya. Dan ketika Safiq mendekat dan mengendusnya, sosok guru killer itu pun langsung berteriak.
“KAMU BENAR MINUM ALKOHOL, YA!”
Kenyataan itu pun membuat Dina termangu. Alkohol? Sejak kapan Bagas mulai bermain-main dengan minuman haram itu?
Anak-anak yang lain pun juga mulai bergosip.
“Njir… bukannya dia siswa teladan?”
“Si Bagas bukannya anak alim ye?”
“Padahal keliatannya dia anak baek-baek ya. Ternyata bisa mabok juga dan mukul orang sembarangan.
“Gue liat sih tadi… emang si Bagas yang nyerang duluan!”
“Dia mah emang cakep doang! Aslinya dia itu licik. Gue pernah denger kalo waktu SMP dia itu suka ngebully anak-anak yang lemah.”
“Berarti selama ini dia pencitraan ya….”
Bisik-bisik bernada sumbang itu pun membuat telinga Bagas terasa panas. Sementara Dion kini sudah naik ke atas motornya, lalu kemudian melaju pergi dari sana.
“Ayo ikut saya!” hardik Safiq lagi.
Tapi…
Bukannya mengikuti gurunya itu, tiba-tiba Bagas langsung melarikan diri.
“BAGAAAS…!”
Pak Safiq berteriak memintanya kembali, tapi Bagas tidak menghiraukannya lagi. Setelah itu anak-anak yang berkerumun di gerbang pun juga dibubarkan oleh pak Safiq. Keadaan gerbang itu kemudian menjadi lengang dan hanya menyisakan Dina seorang diri di sana. Dina masih berdiri nanar. Dia bingung dengan perasaannya sendiri. Dina seharusnya sudah jelas memihak pada Bagas. Karena lelaki itu adalah pacarnya.
Namun anehnya…
Dina malah merasa bahwa memang Bagas-lah yang sudah bersalah. Ingatan Dina membawanya pada saat ia menghubungi Bagas semalam. Suara musik yang menghentak keras. Ucapan Bagas yang tidak jelas alias tidak menyambung dan hari ini Dina pun mendapatkan jawabannya…
Ternyata semalam Bagas mabuk-mabukan. Sebuah perilaku yang membuat Dina agak merasa kecewa terhadap pacarnya itu.
Dina mengembuskan napas panjang. Tatapan matanya kemudian tertuju pada sebuah kancing kemeja yang tergeletak di tanah. Dina menunduk dan mengambil kancing itu. Ada bercak noda merah di sana. Dina terdiam. Kancing baju itu sepertinya milik Dion.
“Hah… kenapa semua jadi seperti ini?” desis Dina lemah.
Suara bel yang berdentang keras akhirnya menyadarkan Dina. Dia harus segera masuk ke kelas. Tapi saat itu juga Bagas kembali muncul dan langsung menghalangi jalannya.
“B-Bagas!” Dina sedikit terkejut.
Bagas menatap tajam. Keadaannya sangat kacau sekarang. Ada luka lebam keunguan di sudut mata sebelah kirinya. Pipi sebelah kanannya juga bonyok dan sedikit membengkak. Wajah dan rambutnya kotor karena tanah yang menempel. Kemejanya juga compang camping dan sobek di lengannya.
“Aku mau bicara!” pungkas Bagas.
Dina belum sempat menjawab, tapi Bagas langsung menarik tangannya dengan kasar.
“K-kamu mau bawa aku ke mana?”
“Ikut saja!” bentak Bagas.
Dina kesulitan mengikuti langkah Bagas yang sangat cepat. Apalagi kakinya juga terluka. Alhasil Dina yang tidak bisa mengimbangi langkah Bagas pun terjatuh.
“Aaah…” Dina meringis.
Bagas menatap gusar. “Ayo cepetan bangun!”
Hardikan itu membuat Dina termangu. Dia menatap Bagas lekat-lekat. Bukannya membantunya berdiri, bukannya meminta maaf karena sudah membuatnya terjatuh, lelaki itu malah membentaknya dan menatap berang.
Dina kemudian bangun berdiri dengan susah payah seorang diri. Dia dengan cepat berbalik dan melangkah menuju kelas.
Eh.
Bagas semakin kesal.
“Dina! Aku mau bicara sama kamu!” Bagas menghadang jalannya.
“Belnya sudah berbunyi! Aku mau masuk ke kelas dulu, kita bisa bicara nanti di jam istirahat dan sebaiknya kamu segera menemui Pak Safiq agar masalahnya tidak semakin besar!” jawab Dina.
Bagas menggeleng. “Aku mau bicara SEKARANG!”
“Tapi belnya sudah berbunyi.”
“AKU TIDAK PEDULI! PERSETAN DENGAN BEL ITU!” suara Bagas melengking keras.
Dina menatap nanar. “Kamu benar-benar sudah mabuk.”
Bagas menghela napas kasar. “Ayo ikut aku sekarang!”
Dina menatap tangan Bagas yang kini menggenggam pergelangan tangannya lagi dengan kasar. Setelah satu tarikan napas yang tampak jelas, Dina langsung menyentak keras hingga tangannya terlepas.
“AKU MAU MASUK KE KELAS!” giliran Dina yang menatap tajam.
Bagas menyapu wajahnya dengan telapak tangan. “Jadi bagi kamu masuk ke kelas itu lebih penting dari pada aku?”
Dina memejamkan mata sebentar. Pertanyaan yang sangat menjengkelkan. Pertanyaan yang sangat kekanak-kanakan. Karena merasa kesal dengan sikap Bagas hari ini, Dina pun memberikan jawaban yang sejatinya tidak ingin didengarkan oleh Bagas.
“Tentu saja! Masuk ke kelas tentu lebih pentinng daripada meladeni orang mabuk seperti kamu!”
Deg.
Bagas tertohok dan tidak bisa lagi berkata-kata. Sementara Dina langsung melenggang pergi. Dia memaksakan kakinya yang sakit untuk bisa melangkah lebih cepat.
Bagas pun masih berdiri di tempatnya dengan sorot mata yang berubah tajam.
“Dina… apa sekarang kamu sudah berani membangkang kepada aku, ha?” desisnya dengan suara yang terdengar menakutkan.