22. Sebuah Alasan

2114 Kata
“Astaga Dion! Kenapa kamu babak belur seperti ini?” suara bu Siti melengking keras. Dion pun hanya tertunduk. Dia sudah telat datang ke sekolah dan kini sedang berdiri di depan ambang pintu kelas. “Apa yang terjadi, ha? Kamu berantem?” tanya bu Siti lagi. Dion hanya menunduk. Anak-anak yang berada di dalam kelas juga mulai mengomentari penampilan Dion yang sudah babak belur. Mereka semua terkejut dan kini coba menerka-nerka apa yang sudah terjadi kepada Dion. Bu Siti pun menatap prihatin bercampur marah. “Jadi kamu terlambat datang ke sekolah karena berantem? Benar begitu?” tanya bu Siti. Kali ini Dion mengangkat wajahnya dan menatap sayu. “M-maafkan saya, Bu.” Teman-teman sekelas Dion jelas merasa tidak percaya. Mereka sangat yakin bahwa Dion memiliki tangan suci yang tidak akan pernah digunakan untuk memukul orang lain. “Dia jatuh dari motor kali, Bu….” “Nggak mungkin Dion berantem atuh!” “Apa dia diserang orang dijalanan? Seperti dicopet atau gimana gitu?” Terdengar komentar dari beberapa orang siswa. Bu Siti pun kembali menatap Dion. “Apa memang seperti itu? Kamu terjatuh atau diserang orang lain?” Dion terdiam. Sebenarnya dia bisa saja mengiyakan dugaan itu, tapi Dion tidak mau menjadi seorang pembohong. Bu Siti pun tampaknya juga ingin mendengarkan alasan ‘lain’ agar ia bisa memaafkan Dion dan membiarkan murid kesayangannya itu masuk ke dalam kelas. “Ayo jawab! Agar Ibu bisa mengambil keputusan. Apakah kamu bisa masuk kelas dan mengikuti ulangan harian atau--” “Saya bertengkar dengan anak SMA lain, Bu.” Dion cepat-cepat memotong ucapan bu Siti. Eh. Bu Siti menatap kaget. Teman-teman sekelas Dion pun juga menghela napas sesak yang terdengar ramai. Mareka semua terkejut dengan jawaban Dion. Sosok Asep yang tadinya asyik mengemil basreng secara diam-diam pun termangu. Kemasan basreng yang ada digenggamannya juga oleng dan menumpahkan kepingan basreng itu ke lantai. “B-bukannya tadi dia nganter cewek itu? Tapi kenapa dia malah berantem? Sama siapa?” bisik Asep lirih. “Jadi kamu bertengkar dengan anak dari sekolah lain?” Bu Siti bertanya lagi. Seakan masih belum bisa menerima pengakuan Bagas. “Iya, Bu.” Bu Siti memejamkan matanya sebentar, lalu kemudian kembali menatap Dion. “Kalau begitu kamu tidak diperbolehkan mengikuti ulangan harian hari ini. Kamu bisa mengikuti remedialnya saja nanti. Dan kamu tahu kan, kalau di remedial itu nilai tertinggi hanya sebatas KKM nantinya?” Glek. Dion mengangguk pasrah. “Saya tahu, Bu!” Bu Siti sepertinya tidak tega, tapi dia tentu juga tidak boleh pilih kasih kepada murid-muridnya. “Ya sudah. Silakan berdiri di depan pintu kelas sambil mengangkat tangan kamu tinggi-tinggi sampai jam pelajaran saya selesai.” “Baik, Bu.” Dan kemudian Dion pun menjalani hukumannya karena sudah terlambat dan juga karena sudah berbuat onar di luar sana. Dia berdiri di depan pintu kelasnya, di lorong yang kini sunyi. Dion mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dengan tatapan nanar. Ini adalah pertama kalinya Dion terlambat datang ke sekolah. Ini adalah pertama kalinya Dion mendapatkan hukuman seperti itu. Beberapa guru yang melintas di lorong kelas itu pun terkejut dan menegur Dion. Mereka semua syok melihat keadaan Dion dan lebih syok lagi karena Dion dihukum seperti itu. Karena memang Dion terkenal sebagai murid teladan di sekolahnya. Dion itu kesayangan semua guru. Bukan karena ia pintar menjilat dan sebagainya. Tapi karena memang Dion pantas untuk disayangi. Dia selalu belajar dengan sungguh-sungguh. Dion menghormati semua guru. Dion juga anak yang pantang menyerah dan selalu bersemangat. Hal itulah yang membuatnya begitu dicintai oleh majelis guru. Dan sekarang Dion sedang dihukum berdiri di depan pintu kelas dengan keadaan yang babak belur. Keadaan itu tentu saja membuat semua guru yang melihatnya terkejut. Sementara itu di dalam kelas bu Siti pun tampak sesekali melirik keluar kelas. Dari tempat duduknya ia bisa melihat Dion yang masih pada posisi hukumannya di luar sana. Tatapan bu Siti pun beralih pada warga kelas yang kini fokus menyelesaikan ulangan harian mereka. Mata pelajaran yang dipegang oleh bu Siti adalah mata pelajaran Fisika. Mata pelajaran yang cukup menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar siswa. Bu Siti kemudian perlahan bangun dan berjalan mondar mandir di depan kelas, dia mengawasi anak-anak yang sedang menyelesaikan soal ulangan mereka, tapi terlihat jelas bahwa yang dipikirkan oleh bu Siti saat ini adalah Dion. Semakin lama, posisi bu Siti semakin bergeser saja ke dekat pintu, sampai akhirnya bu Siti keluar juga dan menghampiri Dion. “Ehem… sebaiknya kamu ke UKS saja!” tukas bu Siti. Dion berbalik. “A-apa, Buk?” ternyata dia tidak mendengar ucapan bu Siti karena melamun. “Sana ke UKS! Obati luka kamu itu!” sergah bu Siti. Dion mengangguk. “Ayo buruan pergi!” “I-iya, Buk.” Dion pun bergegas pergi. Sementara bu Siti masih berdiri di sana seraya melipat tangannya, lalu kemudian menggeleng-geleng pelan. Dia masih bertanya-tanya kenapa Dion bisa babak belur seperti itu. Siti kemudian masuk kembali ke dalam kelas dan duduk di kursinya. Saat itu juga sosok Asep langsung mengangkat tangan. “Buk, mau tanya. Siapa yang sudah selesai boleh keluar kan, Bu?” tanya Asep. Bu Siti membuang napas pendek. “Iya. Yang sudah selesai boleh keluar.” Asep tersenyum dan kemudian buru-buru menyelesaikan jawabannya. Dari goresan pena itu saja terlihat jelas bahwa Asep hanya mengerjakan asal-asalan. Bahkan ada beberapa soal yang diisinya dengan menyalin ulang soalnya. Asep memang sedikit sedeng. Apalagi dalam pelajaran hitung-hitungan. Memang menurut spesifikasinya, Asep dulunya itu ditempatkan di jurusan IPS. Tapi dia tidak mau terpisah dengan bestie-nya, Dion. Asep akhirnya memohon kepada bagian kurikulum dan kesiswaan untuk mengganti jurusannya. Ia melontarkan berbagai alasan. Meyakinkan para guru bahwa ia akan rajin belajar dengan giat jika ditempatkan di jurusan IPA. Tapi kemudian… Sesal itu memang selalu datang belakangan. Asep tercatat sebagai rangking terakhir di kelasnya dan selalu saja bermasalah dengan nilai-nilai yang anjlok hampir di semua mata pelajaran yang kental dengan rumus dan hitung-hitungannya. Siti pun kini memerhatikan Asep yang tampak gesit mencoret-coret lembar jawabannya. Tak berselang lama kemudian, Asep pun membawa kertas jawabannya itu dengan senyum sumringah dan meletakkannya di atas meja guru dengan hati-hati. “Saya sudah selesai, Bu. Hehehe.” Asep menyeringai. Bu Siti hanya mengangguk, lalu kemudian menyipitkan matanya penuh curiga. “Kamu pasti mau menyusul Bagas, kan?” Pertanyaan itu hanya dibalas dengan tertawa pelan oleh Asep. “Ya sudah sana! Harusnya kamu bisa kecipratan pinter karena akrab sama Bagas. Tapi kenapa….” bu Siti tidak bisa meneruskan kalimatnya dan kemudian hanya mengibaskan tangan, agar Asep segera pergi dan tidak mengganggu konsentrasi teman-temannya yang lain. ** Dion membasuh wajahnya berulang-ulang kali. Luka di sudut bibirnya terasa perih saat terkena percikan air. Dion juga membersihkan rambutnya yang ditempeli pasir juga tanah. Dia membersihkan seragam sekolahnya sebisa mungkin dan setelah semua itu selesai, barulah Dion beranjak ke ruang UKS. Ruangan itu kosong. Tidak ada pihak UKS berjaga di mejanya. Dion pun hanya menghela napas panjang, lalu beranjak duduk di tepi ranjang. Ia tersenyum pelan. Yang ia butuhkan sekarang ini memang hanyalah duduk beristirahat. Kakinya sudah terasa pegal karena berdiri menjalani hukuman bu Siti selama kurang lebih satu jam. Lagi pula Dion merasa tidak ada luka yang perlu diobati. Toh, dia sudah membersihkannya. Hanya ada beberapa memar yang mungkin nantinya akan membengkak, tapi pasti akan hilang dengan sendirinya, begitulah pikir Dion. Dia kemudian berbaring dan menutup matanya dengan pergelangan tangan. Suara embusan napas Dion kini terdengar jelas. Bayangan wajah Dina masih saja mengganggunya. Ancaman yang dilontarkan oleh Bagas juga masih terngiang-ngiang di telinga. Dion kemudian tersenyum. Dia sama sekali tidak takut dengan ancaman itu. Segala yang sudah diperbuat oleh Bagas justru semakin membuat Dion terpancing. Justru membuat Dion semakin tertantang untuk merebut Dina dari tangan Bagas. Dion lalu membuka matanya lagi. “Tapi harusnya aku tidak melakukan hal gila seperti ini. Apa aku benar-benar tertarik pada gadis itu? Rasanya tidak. Aku bahkan tidak yakin dengan perasaan aku sendiri. Tapi kenapa? Aku tidak terlalu menginginkannya, tapi aku juga tidak suka dia dimiliki oleh lelaki itu. Perasaan macam apa ini?” Dion berkicau sendiri seraya berpikir. Ya, Dion memang tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Toh segalanya dimulai memang karena kebetulan demi kebetulan yang tercipta. Bahkan di awal pertemuan mereka, Dion begitu membenci Dina karena sudah membuat bubur kacang ijonya meletus. Setelah itu Dion hanya tertarik karena ternyata Dina adalah pacarnya Bagas. Rasa ketertarikannya pada sosok Dina kian tumbuh tatkala gadis itu menyoraki kemenangannya ketika pertandingan futsal dan setelahnya… Dion hanya merasa ‘senang’ mengganggu Dina yang selalu gugup ketika berhadapan dengannya. Tapi setelah itu… Dina selalu berada dalam pikirannya dan mulai menganggu. Latar belakang Dina yang agaknya menyedihkan itu juga membuat Dion selalu memikirkannya. Alhasil sekarang ini Dion tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Entah dia benar-benar menyukai Dina… Atau dia hanya merasa iba kepada gadis yang malang itu. Dion coba melupakan sejenak segala prahara yang mendatangkan galau di hatinya. Dia memejamkan mata lagi. Masih ada cukup waktu untuk beristirahat sebelum jam pelajaran berikutnya dimulai. Dion sangat bersyukur karena bu Siti menyuruhnya ke UKS dan sekarang dia bisa menenangkan diri sebentar. “LO BERANTEM AMA SIAPA SETAN!” Teriakan yang serta merta dengan guncangan hebat itu membuat jantung Dion nyaris copot. Asep langsung menyelonong masuk, berteriak dan mengguncang-guncang Dion yang baru saja memejamkan matanya. Dion melotot, lalu kemudian mengatur napasnya yang sesak karena terkejut. “Lo gausah teriak-teriak bisa nggak, sih?” sergah Dion kemudian. Asep tidak peduli. Dia masih menatap antusias dan mengulangi pertanyaannya. “Eh, Kambing… lo berantem ama siape? Bisa-bisanya lo babak belur begini. Bukannya tadi lo cuma nganterin si Dina ke sekolahnya? Terus kenapa lo jadi babak belur? Apa jangan-jangan lo maling sesuatu di SMA itu dan ketahuan?” Plak. Dion langsung menampar jidat Asep. “Tuduhan lo itu bangke sekali! Maling pala lu!” Asep mengaduh kesakitan seraya menggosok-gosok keningnya yang kini berwarna merah mengkilat. “Ya… makanya cerita! Lo berantem ama siapa? Setau gue lo nggak punya musuh. Apa jangan-jangan….” Asep menyipitkan mata dan menatap curiga. Deg. Dion meneguk ludah dan langsung menghindari tatapan matanya Asep. “Lo berantem apa pacarnya si Dina ya?”. Tebakan Asep sepenuhnya benar. Membuat Dion kini menjadi kikuk. Mungkin ia merasa sedikit malu. “Bener kan, tebakan gue?” Dion tidak menjawab, tapi Asep sudah yakin bahwa tebakannya benar. “Lagian lo ngapain nyari penyakit sih? Dari awal kan, lo udah tau kalo si Dina itu sudah punya pacar. Dan lo juga udah kenal ama si Bagas! Kita sering tanding futsal dan latihan bareng juga sama tim dia. Iya, kan? Lo emang salah. Lo lupa ya… kita juga lagi seleksi buat ikut tim futsal Garuda. Dan kalo lo ama si Bagas lolos… kalian berdua juga akan jadi teman satu tim!” Asep berceramah panjang lebar. Dion tersenyum kecut. “Lo inget nggak… pas pertama kali kita tanding ama tim dia?” Asep mengernyit. “Maksud lo?” “Saat itu dia udah ngeremehin gue. Waktu itu dia bahkan terang-terangan mengejek tim kita,” jelas Dion. Asep coba mengingat-ingat dan kemudian ia menjentikkan jarinya. “Oh… yang waktu itu si Bagas ketawa-ketawa dan bercanda agar lo nggak nangis kalo kalah? Itu kan, kalimat candaan anjiiir… semua orang juga tahu kalo dia becanda. Lo sensian amat kayak perawan datang bulan.” Dion mengembuskan napas panjang. “Nggak! Bukan itu penyebabnya. Tapi gue denger sendiri gimana dia ngeledek tim kita di toilet. Dan dia juga ngeledek gue sebagai kapten tim.” “Di toilet?” Asep menatap bingung tak mengerti. “Iya. Waktu itu gue lagi ada di dalam toilet dan si Bagas masuk juga bersama timnya. Dia benar-benar meremehkan kita dengan mengingatkan timnya agar tidak perlu bersusah-susah mengeluarkan tenaga ketika bertanding nanti karena dia yakin timnya akan menang. Dia juga mengejek gue yang katanya terlihat lemah. Dia itu licik. Si Bagas itu adalah tipikal orang yang suka menjelekkan dan merendahkan orang lain di belakang. Tapi kemudian dia akan berlagak ramah dan baik di depan orang yang sudah dia jelek-jelekkan,” jelas Dion. Asep pun kini terdiam. Sementara Dion tampak menatap penuh dengan bara dendam. “J-jadi itu alasannya lo ngedeketin pacar si Bagas? Untuk ngebales dia?” tanya Asep kemudian. Dion menghela napas panjang. “Mungkin….” “Mungkin?” “Iya, mungkin itu adalah salah satu alasannya, tapi… ada alasan lain kenapa gue ngelakuin ini semua,” jawab Dion lirih. “Alasan lain? Apa…?” tanya Asep. Dion tidak lagi menjawab. Ingatannya kini melayang pada satu nama yang membuat rasa bencinya kepada Bagas semakin menjadi-jadi lagi. “Lani…,” bisiknya lirih. Kening Asep berlipat. “Siapa Lani?” Dion hanya mengembuskan napas panjang dan kemudian memejamkan mata. Segala memori akan kehilangan itu pun langsung memenuhi ruang hati dan ingatannya. Membawa Dion pada hari malapetaka yang mengerikan itu. Bayangan sosok perempuan yang memiliki senyum yang manis itu pun kembali terbayang olehnya. “Lani… sekarang kamu sudah tenang ‘disana’ bukan…?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN