Waktu dan semesta akhirnya mempertemukan mereka kembali.
Dina dan Bagas termangu menatap Rianti dan Dion yang juga menatap mereka. Situasi pun berubah canggung. Bagas yang tadi tersenyum kini langsung membuang wajah dan hanya menatap Dina saja.
Bagas tersenyum kepada sang kekasih walau terlihat sedikit dipaksakan.
“Ya sudah… kalau begitu sampai ketemu besok di sekolah, ya!”
Dina mengangguk. “I-iya.”
Di sisi sebelah sana. Dion pun juga tersenyum canggung pada Rianti.
“Kalo gitu gue cabut dulu ya!”
“Lo nggak masuk dulu. Katanya lo mau mampir?” tanya Rianti.
Dion hanya berdehem. Dina dan Bagas juga mendengar percakapan mereka itu. Tampaknya ke empat anak muda itu pun sama kagetnya. Mereka tidak menyangka bahwa sang waktu akan mempertemukan mereka lagi dalam satu titik temu seperti sekarang ini.
Kedua laki-laki itu agaknya sama-sama terlihat enggan untuk berlama-lama di sana.
Namun kemudian sebuah angkot berhenti di depan rumah. Ternyata itu adalah ibu Rianti yang baru pulang dari pasar.
Suasana canggung itu tentu semakin mengudara.
“Oalah… ramai sekali ini,” tukas sang ibu.
Bagas yang sudah mengenal ibu Rianti lebih dulu, pun langsung menyapa. Bergegas turun dari motornya dan menunduk hormat. “Selamat sore, Buk.”
“Nganterin Dina, toh?”
“Iya, Buk. Aku nganterin Dina,” jawab Bagas.
Tatapan sang ibu kemudian beralih pada lelaki tinggi berkulit putih dengan setelan baju sepedanya yang serba hitam. Dion hanya berani menatap sejenak, lalu menundukkan pandangannya.
“I-ini Dion, Buk! Temen aku,” ucap Rianti buru-buru.
“Salam, Buk!’ Dion berkata malu-malu.
Sang ibu mengangguk, lalu menatap Rianti seraya mengulum senyum.
“O ini lanang yang kemarin itu fotonya kamu tunjukin ke ibuk itu ya?”
Deg.
Dina dan Bagas melotot.
Pun demikian dengan Rianti yang langsung memekik. “IBUUUUK….!”
Kedua pipi Rianti langsung memerah. Dina dan Bagas pun saling pandang dan kompak menahan tawa mereka. Membuat Rianti semakin malu. Dia menatap sengit pada sang ibu, tapi sang ibu malah membalasnya dengan mencibir.
Dion pun hanya garuk-garuk kepala.
“Ya sudah kalau begitu ayo kalian semua masuk dulu. Kebetulan ibuk sudah memasak. Ayo makan semuanya, baru pada balik,” ucap sang ibu.
Eh.
Dion terpana.
Bagas pun juga termangu.
Sang ibu kemudian berjalan duluan ke dalam rumah.
Bagas tampaknya masih berat hati. Dia tidak begitu suka makan-makan di rumah orang yang tidak terlalu ia kenal.
“Lo singgah dulu ya, mau kan?” Rianti berkata pada Dion.
Dina dan Bagas kini diam. Seperti menyimak pembicaraan kedua manusia itu.
“Oke, deh!”
Jawaban Dion di luar dugaan. Semua orang mengira bahwa Dion akan menolak tawaran itu. Tapi lelaki itu malah mengiyakan dengan mudah. Rianti yang menatapnya kini malah termangu dengan muka bodohnya.
“K-kalau begitu ayo masuk,” ucap Rianti kemudian.
Dion mengangguk, lalu mendorong sepedanya masuk lebih dalam ke pekarangan rumah Rianti dan juga melepas helm sepeda yang melekat di kepalanya.
Setelah itu Rianti beranjak mendekati Dina dan Bagas.
“Lo juga masuk dulu, Gas! Kapan lagi yakan… lagian masalah lo sama Dion udah kelar kan? Semua pure salah paham,” ucap Rianti.
Bagas tidak menjawab. Dia masih berdiri tenang di tempatnya.
“Gue masuk duluan ya. Gue tunggu kalian di dalam,” pungkas Rianti lagi.
Rianti tersenyum senang, lalu berlari menghampiri Dion. Mereka berdua masuk lebih dulu ke dalam rumah meninggalkan Dina dan Bagas di halaman.
Bagas menghela napas panjang.
“Kamu bisa pulang saja. Nggak apa-apa kok. Nanti aku yang ngomong sama ibuk dan Rianti. Nanti aku bilang saja kalau kamu punya kepentingan mendesak,” ucap Dina.
Bagas berpikir sebentar. Dia tidak ingin bergabung, tapi juga merasa sedikit cemas karena Dion malah tinggal dan tidak menolak tawaran itu.
“Udah nggak apa-apa, kok. Aku tau kamu males singgah-singgah seperti ini. Iya, kan?” tukas Dina lagi.
Bagas meneguk ludah dan kemudian menjawab.
“Ayo kita masuk ke dalam!”
Bagas dan Dina akhirnya bergabung.
Rianti dan Dion sudah duduk duluan di meja makan. Rupanya sang ibuk langsung menyajikan makanan untuk mereka berempat.
“Ayo buruan!” hardik Rianti. Tapi kemudian dia tersadar bahwa ada Dion di sampingnya dan berdehem. “Kalian kenapa lama sekali?” nada suara Rianti berubah melembut.
Dion dan Dina akhirnya duduk.
Mereka kini duduk berhadap-hadapan. Dina berhadapan dengan Rianti. Dion pun berhadapan dengan Bagas. Tatapan mata kedua lelaki itu sempat bertemu, namun keduanya sama-sama langsung membuang muka. Mereka berdua sudah pernah terlinat perkelahian hingga saling adu jotos dan sekarang malah dipertemukan di meja makan seperti ini.
Sang ibu kemudian ikut bergabung. Dia duduk di ujung meja sendirian. Di sisi kirinya Dina dan Bagas. Sedangkan di sisi kanannya ada Rianti dan Bagas.
“Ayo langsung di makan saja. Ndak usah malu-malu.” sang ibu mempersilakan.
Dion dan Bagas sama-sama tidak bergerak. Alhasil para perempuan yang kemudian bergerak mengambilkan nasi ke piring, lalu juga menyodorkan lauk ke hadapan mereka.
Bagas menatap lauk pauk yang tersaji itu dan sepertinya dia tidak menyukainya. Bagi Bagas semua makanan yang tersaji itu diyakini tidak enak dan tidak sesuai dengan seleranya. Bagas tidak menyukai makanan kampung seperti itu. Memang makanan yang tersaji di atas meja makan itu jauh dari kata mewah. Lauknya hanya tempe dan tahu yang digoreng kering. Ada sambal terasi sebagai pelengkapnya. Lauk lainnya adalah telur dadar. Selebihnya hanya ada sayuran seperi tumis kangkung, buncis dan wortel yang dikuah sup. Kemudian ada kerupuk sebagai pelengkapnya.
“Kamu mau lauknya apa?” tanya Dina.
Bagas melirik menu di meja. Tidak ada satu pun menu yang menggugah seleranya. “Telur aja.”
Dina pun memotongkan telur dadar dan meletakkannya ke piring Bagas.
“Duh… romantis banget kalian berdua,” sindir Rianti.
Dina dan Bagas pun hanya berdehem.
Berbeda dengan Bagas yang terlalu malu-malu, Dion tampak bersemangat. Dia tersenyum cerah melihat semua menu-menu yang tersaji.
“Wah… sudah lama saya tidak makan masakan seperti ini,” ucapnya.
Ibu Rianti menatapnya dan tersenyum. “Kenapa?”
“Dulu Bunda sering masak makanan seperti ini. Tapi setelah bunda tiada, saya jarang makan menu seperti ini, Buk,” jawab Dion.
Ibu Rianti terpana sebentar. “J-jadi ibu kamu….”
Dion mengangguk sambil tersenyum.
Rianti yang duduk di sampingnya juga tertegun. Pun dengan Dina di depannya. Mereka baru tahu jika ibu Dion sudah tiada.
“Jadi bunda kamu udah nggak ada?” tanya Rianti.
“Iya.”
“Sejak kapan?”
“Hmmm… ketika aku lulus SMP.”
Rianti menatap sendu. Turut prihatin atas kehilangan yang dirasakan Dion.
Dina pun juga masih tertegun dengan suapannya yang masih menggantung.
Dion menyuap nasinya ke mulut. “Hmmm… sambal terasinya enak sekali, Buk,” pujinya.
“Kamu suka?”
“Suka sekali, Buk.” Dion tersenyum.
Dion tidak malu-malu lagi. Dia mencoba semua lauk yang ada dan terus berkomentar setiap kali mencicipinya. Dion yang cas cis cus itu tampaknya membuat ibu Rianti senang. Rianti pun terlihat senang melihat interaksi Dion dan ibunya. Dion ternyata mudah untuk akrab dan seolah-olah dia terlihat sudah mengenal ibu Rianti sejak lama.
Namun Bagas…
Hanya diam membisu.
Lauk di piringnya pun hanya secuil telur dadar saja. Dia menolak setiap kali Dina menawarkannya menu yang lain. Sikap Bagas itu pun membuat Dina kewalahan sendiri.
“Bagas lo kok jadi pendiem banget hari ini,” tukas Rianti kemudian.
Bagas menatap Rianti, lalu tersenyum. “Bukankah memang etikanya ketika makan itu kita harus diam?”
Deg.
Pertanyaan Bagas sukses membuat raut wajah semua orang berubah.
Mendadak suasana berubah sunyi untuk sekejab. Tapi kemudian ibu Rianti buru-buru bersuara.
“Ayo diambil lauknya! Jangan malu-malu pokoknya. Dion tambah lauknya! Kamu juga Bagas!”
“IYA, BUK…!” jawab keduanya nyaris serempak.