51. Sepatu Baru

1119 Kata
“Tunggu di sini sebentar. Aku akan kembali,” ucap Bagas. Dina menatap bingung. “Kamu mau ke mana?” Bagas hanya mengedipkan mata, berjalan mundur, lalu kemudian berlari pergi. Dina pun menatap bingung. Tapi kemudian dia menunggu seperti permintaan Bagas, Dina kemudian menanti seraya menatap ke lantai bawah. Pengunjung pusat perbelanjaan itu rupanya semakin ramai saja memasuki waktu senja. Mungkin karena orang-orang baru pulang bekerja dan baru memiliki waktu bebas dan sebagainya. Dina kemudian juga menyempatkan diri untuk menelpon ibu Rianti. “Halo, Buk…” Dina langsung menyapa. “Iya, Dina… kenapa?” “Aku ijin pulang telat hari ini, ya, Buk. Aku jalan sama Bagas. Tapi aku akan pulang sebelum matahari terbenam,” ucap Dina. “Iya, Nduk. Hati-hati ya… Rianti juga belum pulang kok. Sepertinya kedua putri ibuk sedang bersenang-senang,” tutur sang ibu. Dina tersenyum. Dia merasa senang mendengarkan kalimat ‘dua putri’ itu. “Jadi Rianti juga belum pulang, Buk?” “Belum. Dan dia ndak ada ngasih kabar apa-apa,” omel sang ibu. Dina tertawa pelan. “Ya sudah… nikmatin waktu kamu ya.” “Iya, Buk.” Tut. Panggilan telepon itu berakhir. Dina tersenyum senang. Dia benar-benar merasa seperti memiliki seorang ibu kandung sekarang. Ternyata Tuhan memberikan Dina kesempatan untuk bisa merasakan ‘bagaimana rasanya memiliki seorang ibu’. Dina tersenyum dan berbalik badan untuk menatap sekitarnya. Ia mencari-cari sosok Bagas yang belum juga kembali. “Ke mana dia? Apa dia ke kamar mandi?” bisik Dina. Dina mengangguk-angguk samar, lalu melayangkan pandangannya ke arah yang lain. Tapi saat itu juga Dina tersentak. Kedua manik hitam itu bergetar. Dina mengenali sosok lelaki yang memakai jas itu. Dia adalah sang ayah sambung alias Tio. “O-Om Tio….” Dina menyebut nama itu lirih. Dina mendadak cemas. Apa kali ini dia akan bertemu muka lagi dengan sang mama. Dina sungguh tidak menginginkannya. Terlihat Tio sedang tersenyum di ujung sana. Menatap ke dalam sebuah Booth yang menjual pakaian wanita. Dugaan Dina pun semakin kuat, pasti Tio sedang menemani sang mama untuk berbelanja. Dina meneguk ludah, lalu menatap cemas. “Aku harus bersembunyi.” Tepat ketika hendak melangkah pergi, Dina melihat seorang wanita berbaju putih mendekat pada Tio. Dia membawa tas belanjaannya. Mereka berdua saling tatap mengobrol dan kemudian tersenyum. Dan sosok wanita itu… Bukanlah sang mama. Deg. Dina mengernyit bingung. “S-siapa itu?” Tak lama kemudian Tio dan wanita berbaju putih itu melangkah. Dina sontak berbalik badan untuk bersembunyi. Detak jantungnya berderu kencang saat sang ayah sambung dan wanita tak dikenal itu berjalan di belakangnya. Dina memejamkan matanya rapat-rapat dan berharap Tio tidak melihatnya. Aliran napas Dina pun tertahan sampai kedua orang itu melewatinya. “Haaaah.” Dina langsung mengembuskan napas panjang. Rasanya sesak sekali. Dia merasa bagai berlari dan kini terengah-engah. Dina kembali menatap Tio dan wanita itu yang berjalan semakin jauh. Keduanya tampak mengobrol dan tersenyum. “Siapa wanita itu?” Dina terdiam. Apa mungkin papa sambungnya itu berselingkuh? Saat itu juga Dina refleks mengeluarkan handphone-nya kembali dan bermaksud untuk menghubungi Emilia. Dina ingin mengadukan apa yang baru saja ia lihat. Tapi kemudian… Jemari Dina yang hendak menekan tombol memanggil itu membeku. “Untuk apa aku peduli?” lirihnya. Dina nyaris lupa. Dia tersenyum menertawai dirinya sendiri yang masih saja mengkhawatirkan sang mama setelah semua pengkhianatan yang terjadi. “Dia bahkan tidak menganggap aku sebagai anaknya, jadi untuk apa aku peduli?” bisik Dina lagi. “Hei! Maaf, ya… aku agak lama.” Dina berbalik mendengar suara itu dan tersenyum. Bagas sudah kembali. Dia membawa dua kantong belanjaan ditangannya. Satu kantong kertas berwarna putih dan satunya berwarna merah jambu. Dina menatap belanjaan itu sebentar. “Hmmm… kamu belanja?” Bagas tersenyum, lalu kemudian menarik Dina ke sebuah kursi tunggu. “Ada apa?” tanya Dina. “Duduk di sini sebentar.” Bagas mendorong kedua pundak Dina dengan pelan agar ia duduk. Dina pun masih menatap bingung. Sementara Bagas kini duduk bersimpuh di bawahnya, lalu membuka kantong berwarna putih itu. Sebuah kotak dengan warna senada dikeluarkannya. Bagas membukanya dan ternyata isinya adalah sebuah sepatu. Dina terkejut. Tapi Bagas hanya tersenyum. Bagas langsung melepaskan sepatu Dina yang sudah kumal itu dan menggantinya dengan sepatu putih bersih, dengan tapak yang tebal. Dilihat sekilas saja sudah bisa dipastikan bahwa harga sepatu itu cukup mahal. “I-ini apa?” tanya Dina. Bagas mendongak, meletakkan jari telunjuknya di bibir. “Ssst… dilarang berkomentar!” ucapnya. Dina pun termangu. Sedangkan Bagas masih mengganti sepatu buluknya dengan sepatu baru. Kemudian Bagas memasukkan sepatu lama itu ke dalam kotak, lalu juga memasukkannya kembali ke dalam kantong. Setelah itu ia bangun berdiri dan tersenyum lagi. “Satu lagi,” ucapnya.” Bagas mengeluarkan kotak dari kantong yang berwarna merah muda. Ternyata isinya adalah dua buah tas punggung dasar warna hitam yang terlihat cantik. Satu tas berbentuk kotak dan ukurannya agak lebih besar. Satu tas lainnya berbentuk oval di bagian atasnya dan terlihat lebih mungil. “A-apa lagi ini?” tanya Dina. “Tas couple,” jawab Bagas. Dina tertegun. Tas itu terlihat sangat cantik sekali. Tapi kemudian ia menatap Bagas karena merasa tidak enak. “T-tapi…. kenapa kamu tiba-tiba ngabisin uang untuk hal-hal yang seperti ini?” tanya Dina. Bagas memutar bola matanya untuk memikirkan alasan sebentar. Kemudian ia tersenyum dan menatap Dina. “Kamu tau, kan kalau aku lolos bergabung dengan klub futsal Garuda?” “Iya. Kenapa?” tanya Dina. “Nah… selain lolos bergabung dengan tim, aku juga mendapatkan semacam reward karena sudah terpilih dan uangnya itu emang udah aku niatin buat beli tas couple buat kita. Aku pengen aja kita make tas ini di sekolah. Pasti akan lucu, kan?” “Lalu bagaimana dengan sepatu ini?” tanya Dina. “Emmm… ternyata uangnya masih bersisa dan aku beliin sepatu aja.” Bagas menyeringai. Dina pun tersenyum, tapi ia masih sedikit merasa tidak enak. “Udah… pokoknya kamu harus terima. Dan besok kamu juga harus pake sepatu sama tas ini ke sekolah, oke!” pinta Bagas. Dina mengangguk. “Tapi… apa nantinya anak-anak yang lain tidak akan menertawakan kita karena memakai tas sama seperti ini?” “Bodo amat! Untuk apa peduli,” jawab Bagas. “Baiklah kalau begitu,” pungkas Dina. Setelah itu perjalanan menyenangkan mereka itu pun berakhir. Bagas kemudian mengantar Dina ke rumah Rianti. Sepeda motor itu berhenti di depan rumah dan Dina pun lekas turun, lalu mencopot helm-nya dan memberikan helm itu kepada Bagas. “Makasih ya, untuk hari ini,” ucap Dina. “Aku yang bilang makasih,” balas Bagas. “Aku.” “Aku.” “Ya udah sama-sama makasih aja,” pungkas Dina kamudian. Bagas tergelak. “Besok aku akan jemput kamu.” “Oke.” Bagas menyalakan motornya kembali, tapi ketika dia hendak melaju pergi… Rianti dan Dion muncul dengan sepeda mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN