10. Keluarga?

1914 Kata
Dina sedikit takut-takut saat akan masuk ke dalam rumah. Sang mama pasti akan langsung menyemprotnya dengan amarah yang membabi buta. Hardikan, cacian dan makian pasti akan berkumandang menembus gendang telinga Dina yang semakin hari sudah semakin menipis. Dina mengatur napasnya sejenak, lalu memutar knop pintu di hadapannya. Ia mengernyit. Pintu utama terkunci dan itu bukanlah sesuatu hal yang biasa terjadi. Dina melotot. Apa sang mama mengunci pintu untuknya dan tidak membiarkannya masuk ke dalam rumah? Raut wajah Dina berubah cemas. Dia mempunyai PR Biologi yang harus dikebut malam ini. Juga ada beberapa tugas ringkasan lainnya yang harus siap untuk esok hari. Dina menghelan napas sebentar, lalu bermaksud mengetuk pintu itu. Tapi kemudian tatapannya tertuju pada sebuah benda mengkilat yang ada di dekat pot bunga. Kunci rumah itu ada di sana. Dina tersenyum dan buru-buru mengambilnya, lalu kemudian masuk ke dalam rumah. Suasananya lengang dan gelap. Dina meraba-raba dalam gelap, lalu kemudian menyalakan lampu. Matanya menyipit sebentar karena silau. Tidak ada siapa-siapa. Sepertinya sang mama, papa sambung dan adiknya Varrel sedang tidak ada di rumah. “Bagus, deh!” desis Dina pelan. Dina kemudian memeriksa tumpukan cucian Varrel yang tadi sore ia tinggalkan begitu saja di kamar mandi. Ternyata sudah tidak ada lagi. Sepertinya sang mama sudah membereskannya. Dina tersenyum senang. Ia melangkah menuju kamarnya, tapi kemudian Dina teringat satu hal. Dia buru-buru berlari ke dalam kamar sang mama. Matanya dengan cepat menyapu segala penjuru. Kedua sudut bibir Dina terangkat saat ia melihat benda yang dicarinya. “Yes!” Dina segera mengambil handphone-nya yang tergeletak di atas meja rias sang mama. Dia pun kemudian bergegas lagi keluar, masuk ke kamar dan mengunci pintu kamarnya itu. Dina langsung mengambil sebuah meja lipat, mengambil beberapa buku pelajaran di rak dan bersiap untuk bertempur malam ini. Akan tetapi belum juga mulai, dia malah menguap lebar. “Ini mata malah mengantuk,” desisnya. Dina mengikat rambutnya. Kemudian keluar kamar untuk membasuh wajah. Sebelum itu dia mengambil satu sachset kopi instan merek top coffee varian rasa gula aren. Dina itu suka sekali dengan kopi. Tapi karena budget yang terbatas, dia tidak bisa membeli kopi-kopi mahal kekinian, apalagi sejenis kopi Starbucks. Alhasil Dina menjatuhkan pilihan pada kopi kemasan yang murah meriah. Dengan uang sepuluh ribu rupiah saja dia sudah bisa mendapatkan lima belas sacshet kopi instan itu. Tentu sangat hemat dan efisien sekali untuknya. Perihal uang jajan, Dina kadang mendapatkan jajan dari mamanya, tetapi lebih sering tidak. Beruntung papa sambungnya juga sering memberi Dina uang saku. Kadang secara diam-diam tanpa sepengetahuan mamanya. Ya, lucu sekali bukan. Seharusnya mama Dina yang bersikap seperti itu, tapi ini malah sebaliknya. Dina memang tidak mempunyai masalah dengan sosok papa sambungnya, Tio. Dia menghargai lelaki itu dan juga menghormatinya. Tio pun juga tidak pernah bersikap buruk kepada Dina. Tio adalah sosok pekerja keras. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja. Dina bahkan jarang bertemu dengannya. Kadang berhari-hari dia tidak melihat sosok Tio di rumah itu. Yang menjadi permasalahan adalah sang mama yang terlalu mengagung-agungkan putra Tio alias Varrel. Dan ada satu hal lagi yang paling menyebalkan. Sang mama akan bersikap manis jika suaminya itu berada di rumah. Dia bersikap seperti sosok ratu yang lemah lembut. Sang mama akan bertutur baik kepada Dina. Namun ketika Tio tidak ada di rumah, dia akan menatap Dina dengan sinis dan terus menyiksanya. Kadang Dina jadi berpikir, sebenarnya siapa yang orang tua tirinya di rumah itu? Aneh. Tapi nyata. Dina sudah siap untuk bertempur. Dia sudah selesai membasuh wajah dan juga membuat kopinya dan kembali masuk ke dalam kamar. Tanpa buang-buang waktu, Dina pun segera menyelesaikan kewajibannya sebagai pelajar. Dina kini menjadi fokus. Dia bekerja seraya menyalakan musik dari handphone-nya yang disambungkan dengan earphone ke telinga. Gerakan tangan Dina yang menulis dengan pulpen itu terlihat cepat. Tulisannya pun juga sangat rapi dan cantik. Dina mengerjakan PR da tugas-tugasnya itu bersama malam yang semakin larut. Sesekali ia menguap lebar. Sesekali ia juga meneguk cangkir kopinya yang diminum sedikit demi sedikit. Lama kelamaan kopi dicangkir itu pun terasa semakin dingin saja. Dina beralih dari satu tugas ke tugas yang lainnya. Dia melepas earphone karena telinganya mulai jengah mendengarkan musik. Dina masih berkutat dengan tugas-tugas sekolahnya itu. Hingga kemudian dia mendengar deru suara mobil yang memasuki halaman rumah. Goresan pena Dina terhenti sejenak. Mereka sudah pulang ke rumah. Dina langsung mematikan lampu utama kamarnya dan hanya menyalakan lampu belajar yang memancarkan cahaya kuning lembut yang temaram. Dia ingin berpura-pura tertidur saja dan tidak mau keluar lagi dari kamar itu. Tak lama kemudian terdengar suara pintu dibuka. Suara tawa Varrel juga langsung memecah keadaan yang tadi sunyi. Sepertinya bocah itu sangat senang karena pulang bermain dengan papa dan mama baru yang teramat sangat mencintainya itu. “Mah… Pah… besok aku mau naik bianglala lagi, ya.” Terdengar suara Varrel yang sangat ceria. “Iya Sayang… besok kita ke sana lagi, ya.” terdengar suara mama Dina yang sangat lembut seperti suara bidadari. “Yeeey… hore! Besok aku akan naik bianglala lagi.” suara tapak kaki Varrel terdengar jelas. Meskipun tidak melihatnya secara langsung, tapi Dina bisa tahu bahwa Varrel sedang berlari-lari kegirangan dengan kaki-kaki gemuknya itu. Tanpa sadar Dina pun menyimak pembicaraan itu. Sepertinya mereka bertiga baru saja pulang bersenang-senang. Dina tidak akan pernah mau diajak pergi oleh Tio. Tapi terkadang dia juga merasa sedih jika mereka tidak mengajaknya. Dina mengembuskan napas panjang. Berusaha menyingkirkan pikiran yan mengganggu dan kembali fokus pada tugasnya. Tapi kedua telinganya masih menangkap pembicaraan di luar sana. Kali ini terdengar suara Varrel yang lagi-lagi heboh membuka mainan barunya. Suara plastik yang krasak-krusuk itu pun terdengar jelas. Memang keberadaan mereka semua tepat berada di balik pintu kamar Dina. Dina hanya bisa mengembuskan napas kasar saat mendengar sang mama yang terus saja mengelu-elukan Varrel sebagai anak yang baik, pintar dan juga sangat penurut. Muak sekali rasanya mendengar semua bacotan itu. Obrolan sang mama dan papa sambungnya kemudian beralih membahas tentang rencana pendidikan Varrel. Sang mama menyarankan sekolah dengan fasilitas dan kualitas terbaik. Sang mama rupanya juga sudah melakukan survey yang sangat mendalam hingga kemudian dia menemukan beberapa sekolah dasar yang sekiranya bagus untuk Varrel. Hati Dina mulai menjerit. Sang mama tidak pernah peduli pada pendidikan Dina. Sang mama acuh tak acuh. Dia bahkan tidak peduli meski Dina sudah keluar sebagai juara satu umum di sekolahnya. Seakan semua prestasi itu bukan apa-apa di mata sang mama. Bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Dina bahkan paling takut jika ada undangan rapat wali murid atau semua kegiatan yang melibatkan para orang tua. Alasannya adalah karena… Sang mama tidak akan pernah datang ke sekolahnya. Dina tersenyum lemah. Dia sudah terbiasa dengan situasi seperti itu, tapi tetap saja… terkadang ia tidak bisa mengendalikan perasaan. Dina tidak bisa menampik kenyataan bahwa rasa iri itu semakin tumbuh subur di hatinya. Dina juga seorang anak yang ingin merasakan hangatnya sebuah keluarga dan ia tidak pernah memiliki itu. Dina menutup bukunya. Semangatnya yang tadi menggebu-gebu seakan menguap dan lenyap. Ia ingin tidur saja dan melanjutkannya di subuh hari. Dina menyetel alarm di handphone-nya. Ia ingin bangun pada jam tiga pagi dan melanjutkan pekerjaan rumahnya itu. Setelahnya Dina berbaring. Menyumbat telinganya dengan earphone dan menyalakan lagu agar tidak lagi mendengar obrolan dibalik pintu kamarnya. Dina coba memicingkan mata. Alunan lirik lagu yang lembut itu mulai membuatnya tenang dan rileks. Tapi beberapa saat kemudian… Aliran bening menetes dari kelopak matanya yang tertutup itu. Dina menangis. Sesuatu yang sebenarnya sering ia lakukan di dalam kamar yang sempit dan pengap itu. Kamar yang sejatinya adalah ruang untuk meletakkan pakaian, ruang untuk wardrobe yang sangat sempit. Ruang yang bahkan selalu gelap meskipun di siang hari karena tidak mempunyai jendela. Dina mencoba untuk terlelap. Berharap pagi segera datang dan dia bisa keluar dari rumah itu menikmati secuil kebahagiaan di sekolah. Tapi kemudian… Sebuah aroma yang cukup menusuk mulai mengganggunya. Membuat Dina meneguk ludah dan kemudian terduduk dari posisi tidur. Dina melepas earphone-nya. Lalu kemudian mengendus aroma itu untuk memastikan bahwa penciumannya tidak salah. Glek. Dina meneguk ludah. Itu adalah bau dari salah satu makanan kesukaannya. DURIAN. “Hah… baunya enak sekali,” bisik Dina lirih seraya menjilati bibirnya sendiri. Dina kemudian membuang napas pendek, mengacak-acak rambutnya seolah-olah dia sudah tertidur, lalu kemudian beranjak mendekati pintu. Tampaknya aroma durian itu sudah menggoyahkan tekad Dina untuk tetap berada di dalam kamarnya. Dina akhirnya keluar kamar. Dia menguap lebar seraya berjalan masuk ke dalam toilet. Berakting layaknya orang yang terbangun karena hasrat ingin ke toilet di tengah tidur yang nyenyak. Sang mama meliriknya sebentar, tapi Dina langsung membuang wajahnya. Dina kemudian berdiam diri sebentar di dalam kamar mandi. Dia berdiam diri beberapa menit dan kemudian keluar lagi dari kamar mandi yang terletak di seberang ruang keluarga itu, tepat di samping pintu menuju dapur. Dina sengaja melangkah lambat-lambat seraya berharap dalam hatinya. “Kamu kebangun, Din?” tanya Tio. Yes! Itu dia yang Dina tunggu-tunggu. Teguran dari papa sambungnya. Dina tersenyum malu, sambil menggaruk-garuk. “Iya, Om,” jawab Dina malu-malu. Dina melirik sang mama, Tapi Emilia langsung membuang muka. Terlihat jelas bahwa dia tidak menyukai kehadiran Dina di tengah-tengah suasana hangat keluarga kecilnya. Tio tersenyum. “Oh iya, ada martabak durian nih!” “Eh, I-iya, Om.” Dina belagak ‘tidak terlalu tertarik’. “Bawa aja beberapa potong ke kamar,” tukas Tio lagi. Dina jelas bersorak dalam hatinya. Ia mendekati meja bundar yang rendah itu dan hendak mengambil martabaknya, tapi belum juga jemarinya menyentuh, si cengeng Varrel langsung berteriak. “JANGAN AMBIL…! INI MARTABAK AKU!” rengeknya. Deg. Sangat menyebalkan. Jemari Dina sontak surut kembali. Apalagi sang mama juga menatap tajam padanya. Tatapan yang menyiratkan bahwa Dina tidak boleh mengganggu Varrel. “Varrel… kamu nggak boleh gitu dong! Ayo bagi sama kakaknya,” tegur Tio. Si bocah itu malah memeluk kotak berisi martabak itu dan menatap sengit pada Dina. “Nggak mau. Ini punya aku!” Dina benar-benar tertohok dalam situasi yang sangat menjengkelkan itu. Remeh, tapi terasa menyayat hatinya. Tio masih berusaha membujuk, tapi bocah itu kemudian malah menangis. Dina menjadi bingung. Ingin rasanya dia pergi saja dari sana. Tapi melangkahkan kaki pergi dalam situasi seperti itu pun juga terasa salah. “Iya… Sayang. Martabaknya nggak akan diambil, kok.” Emilia kemudian membujuk Varrel, lalu menatap tajam lagi kepada Dina. “Kak Dina juga nggak terlalu suka duren kok. Dia gampang demam kalo makan duren.” Deg. Dina merasa getir. Padahal sang mama sangat tahu bahwa durian adalah jenis buah yang sangat Dina sukai. Dina mengepalkan tangannya kuat-kuat, lalu kemudian memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Meski enggan, tetapi dia harus bersuara untuk mengakhiri keadaan yang terasa amat menyiksa itu. “Iya. Kakak nggak ambil kok. Kakak balik tidur lagi, ya.” Dina berkata seraya tersenyum kepada Varrel yang masih menatapnya dengan wajah menjengkelkan. “Kamu nggak boleh gitu, Rel.” Tio masih menasehati anaknya. Dina beralih menatap Tio. “Nggak apa-apa kok, Om. Aku memang gampang demam kalo makan durian. Kalau begitu aku balik tidur lagi ya, Om.” Tio menggangguk seraya tersenyum. Setelah itu Dina langsung masuk kembali ke kamarnya dengan senyum yang masih mengembang. Tapi setelah ia menutup dan mengunci pintu kamar… Raut wajah sedih itu langsung terlihat jelas. Dina memukul-mukul dadanya sendiri dengan suara napas yang bergemuruh. Rasanya sesak sekali. Kedua bola matanya juga sudah terasa panas. Air mata dengan cepat berlinang, lalu terasa hangat kala jatuh di pipinya. Dina menangis. Dia menyesal. Dia menyesal karena keluar dari kamar itu. Dia menyesal karena harapan kecilnya yang ingin mencicipi ‘sedikit rasa durian’. Keinginan sepele yang nyatanya memberi luka. Dina mencoba menenangkan diri. Dia menyeka air matanya, lalu berbisik pelan. “Kenapa hidup aku seperti ini…?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN