“Menurut kamu kita makan dulu apa nonton dulu?” tanya Bagas.
Hening.
Dina malah larut dalam lamunannya. Otaknya masih terisi penuh dengan segala sesuatu tentang Dion. Kejadian di lorong sempit itu seakan-akan enggan pergi dari pikirannya. Semakin Dina coba melupakan dan mengabaikan tentang Dion, justru semakin banyak pertanyaan baru yang muncul di benaknya.
Kenapa?
Kenapa Dion seperti itu? Apa pentingnya sorakan itu baginya? Apa gunanya dia memaksa Dina mengakui semuanya?
“Din...!” tegur Bagas lagi.
Eh.
Dina akhirnya tersadar, ia menatap Bagas lalu tersenyum. “I-iya. Kenapa?”
Bagas menatap nanar, mungkin kecewa karena Dina tidak mendengarkannya. Tapi kemudian Bagas tersenyum. “Kamu maunya kita makan dulu apa nonton film-nya dulu?”
“Mmm… terserah kamu aja deh,” jawab Dina.
“Makan dulu?”
“Oke.”
“Nonton dulu?”
“Nggak masalah.”
“Terus yang mana dong?”
“Terserah kamu aja.”
Bagas makin terheran-heran. Karena ‘terserah’ adalah sebuah kata yang pantang diucapkan oleh seorang Dina. Dia bukanlah termasuk ke dalam spesies cewek yang suka berkata terserah. Dina itu selalu energik, selalu berinisiatif dan blak-blak-an. Sikapnya itu jugalah yang membuat Bagas semakin merasa sayang dan nyaman. Tapi hari ini…
Dina tiba-tiba berubah drastis.
Perubahan itu terjadi sejak Dina mengobrol dengan Dion. Bagas tahu hal itu, tapi dia juga tidak punya celah untuk mempertanyakannya.
“Nonton dulu aja?” tanya Bagas lagi.
Dina mengangguk. “Iya. Kita nonton dulu aja.”
Mereka berdua kemudian beranjak ke sebuah gedung bioskop yang terdapat di sebuah pusat perbelanjaan. Dina tampak lesu dan tidak b*******h. Dia tidak heboh memilih judul film yang akan mereka tonton. Dia juga tidak sibuk mempersiapkan cemilan sebelum masuk ruang bioskop seperti biasanya. Dina terkesan ogah-ogahan. Dan Bagas pun masih berusaha tenang dan coba untuk tidak mempermasalahkannya.
Bagas memilih sebuah film bergenre komedi karena ia tahu Dina akan menyukainya. Bagas berharap tontonan itu akan mengembalikan keceriaan Dina hari ini. Bagas yakin Dina akan tertawa terbahak-bahak saat menonton film yang konyol itu.
Tapi yang terjadi adalah…
Dina melamun sepanjang film itu diputar. Dia bahkan tidak menatap ke layar bioskop sama sekali. Dion yang duduk di sampingnya hanya bisa mengembuskan napas panjang berulang-ulang. Hatinya semakin gelisah. Resah itu kian membelitnya. Cahaya layar yang memantul ke wajah Dion menampilkan raut wajahnya yang sedih. Sesekali Bagas kembali melirik Dina, tapi raut wajah gadis itu tetap sama.
Terdiam dengan tatapan menerawang entah ke mana.
Dan film itu pun usai.
Orang-orang mulai beranjak meninggalkan kursi mereka. Namun Dina masih melamun. Dia bahkan tidak menyadari bahwa film itu telah usai. Bagas memejamkan matanya sejenak. Rasanya sudah cukup untuknya. Dia akan mempertanyakan semuanya. Dia ingin tahu kenapa Dina berubah seperti itu setelah ia berbicara dengan sosok Dion. Bagas akan membahasnya ketika mereka makan nanti.
“Din!” panggil Bagas lagi.
Dina mendongak. Ia tampak bingung dan kaget saat melihat layar yang sudah menampilkan deretan nama-nama tokoh dan semua nama yang ada dalam tim produksi. Dina melongo. Dia benar-benar tidak mengikuti jalan cerita di film itu sama sekali.
Dina kemudian menatap Bagas, lalu tersenyum canggung. “Nggak berasa udah kelar aja, ya. Hehe.”
Bagas tersenyum. “Iya. Film-nya seru, kan?”
Dina mengangguk. “I-iya. Seru banget filmnya.”
Bagas sudah kesulitan memaksakan bibirnya untuk sekedar tersenyum. Tapi ia masih coba bersabar. Menanti moment yang tepat dan tenang untuk membicarakan semuanya. Mereka kemudian beranjak keluar. Keduanya berjalan menuju sebuah restoran yang juga masih berada di dalam pusat perbelanjaan itu. Bagas membawa Dina ke sebuah restoran Jepang, karena Dina memang sangat menyukai makanan khas dari negeri Sakura itu.
Tapi saat akan memasuki restoran itu, langkah Dina malah terhenti.
Ia mematung di belakang Bagas yang sudah berada di ambang pintu masuk. Bagas mengira bahwa Dina masih berada di sampingnya.
“Hari ini kamu mau makan a--”
Kalimat Bagas terputus saat ia menyadari bahwa Dina tidak berada di sisinya. Bagas berbalik dan melihat Dina di belakang sana. Rasa heran itu semakin menjadi-jadi. Bagas menghampiri Dina dan menatap bingung.
“Kenapa?” tanya Bagas.
Dina menatapnya linglung. “K-kayaknya aku pengen langsung pulang aja, deh.”
Bagas mengernyit. “Kenapa kamu tiba-tiba pengen pulang?”
Dina meneguk ludah, ia menatap Bagas ragu-ragu, lalu kemudian tersenyum. “Mama pasti marah karena tadi aku perginya diam-diam. Aku nggak mau aja nambah masalah.”
Bagas tidak bisa berkata-kata lagi.
Dia merasa bahwa sosok yang ada di hadapannya saat ini bukanlah Dina yang dia kenal. Sepanjang mereka berkencan, Dina selalu enggan untuk cepat-cepat pulang ke rumah. Malah terkadang Bagas yang kewalahan membujuk Dina agar mau pulang ke rumah.
“Sebenarnya kamu itu kenapa, Din?” suara Bagas terdengar lirih.
“Aku nggak kenapa-napa, kok.”
Bagas menatap lekat-lekat. “Hari ini kamu sedikit aneh. Ada apa? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu?”
Bagas masih berharap sebuah kejujuran. Dia menanti semua itu terlontar dari bibir Dina sendiri. Bagaimana pun juga Bagas tetap berusaha menjaga ritmenya sebagai lelaki yang tenang dan selalu bersikap dewasa.
“Kenapa, Din? Ayo cerita!” bujuk Bagas lagi.
Dina terlihat meragu. Dia sibuk mengigiti bibirnya sendiri. Setelah itu Dina menghela napas panjang dan kemudian malah menggelengkan kepala.
“Nggak ada apa-apa kok.”
Jawaban itu membuat senyum di wajah Bagas memudar. Ternyata Dina tidak mau terbuka. Ternyata Dina ingin menyembunyikan yang sudah terjadi.
“Aku juga agak kecapek-an hari ini. Maaf ya….” Dina tersenyum.
Bagas meneguk ludah, lalu kemudian mengangguk-angguk. “Oke deh. Kalau itu mau kamu.”
Akhirnya sesi kencan itu berakhir lebih cepat. Bahkan sangat cepat dari biasanya. Bagas kemudian mengantarkan Dina pulang dengan motornya. Sepanjang perjalanan pun Dina tetap diam membisu. Biasanya dia akan sangat heboh. Biasanya mereka akan mengobrol panjang lebar di sepanjang perjalanan. Biasanya Dina akan memeluk Bagas erat-erat. Biasanya Dina akan menyandarkan dagunya di pundak Bagas ketika mereka berboncengan.
Bagas hanya bisa menatap sendu di sepanjang perjalanan itu.
Hingga akhirnya motor itu terhenti di depan gang rumah Dina. Bagas memang tidak pernah diperbolehkan mengantar Dina hingga ke depan rumahnya oleh Dina sendiri. Mama Dina tidak tahu bahwa dia sudah memiliki pacar dan Dina ingin tetap menyembunyikannya dari sang mama. Bagas sendiri sebenarnya cukup berani dan bahkan ingin bersilaturahmi dengan keluarga Dina. Tapi Dina menantang keras keinginan Bagas. Dina merasa bahwa sekarang belumlah waktu yang tepat dan pada akhirnya Bagas menghargai keputusan Dina itu.
“Sampai jumpa besok di sekolah,” ucap Bagas.
Dina memberikan helm yang tadi dipakainya. “Iya. Sampai ketemu besok dan….”
Ada jeda sebentar. Hal itu membuat Bagas sedikit berharap. Mengira bahwa Dina akan buka suara.
“Maaf karena aku minta pulang lebih awal,” lanjut Dina.
Bagas terdiam. Tapi kemudian dia mengangguk.
“Aku masuk dulu, ya! Hati-hati di jalan,” pungkas Dina.
“Iya.”
Dina kemudian beranjak pergi. Sementara Bagas masih di sana dan menatapnya sendu. Suara helaan napas Bagas pun kini terdengar jelas. Dia masih menatap Dina dengan tatapan nanar dan kemudian berbisik lirih.
“Kenapa… kamu menyembunyikannya?”