Eksekusi
Desa Sukosari, Mojokerto. Udara sejuk penuh oksigen segar berduyun-duyun memenuhi rongga d**a Dinu di hari pertamanya menginjakkan kaki di desa penuh panorama indah ini. Setelah berhari-hari perjalanan dari suatu tempat di Bogor yang terpencil dan rahasia, akhirnya Dinu melihat sendiri bagaimana desa ini seindah yang dijelaskan dalam berlembar-lembar laporan yang penuh deskripsi dan minim sekali foto. Laporan dasar keadaan Sukosari pun tak terlalu bisa diharapkan. Tak sedetail dan lengkap yang ia inginkan. Tak setebal yang ia bayangkan. Tak lebih dari sepuluh halaman! Semuanya hanya soal keadaan alamnya yang berada di dataran tinggi dengan potensi pertanian, perkebunan dan peternakan yang melimpah. Hanya itu. Selebihnya, Dinu harus menemukannya sendiri. Ini seperti perjalanan dengan peta buta. Ah, bukan, tidak sepenuhnya buta, hanya remang-remang karena jalan di depan dipenuhi kabut tebal yang harus ia singkap selapis demi selapis.
Pemuda sawo matang dengan tubuh jangkung itu baru turun dari delman yang ia sewa dari stasiun Mojokerto. Dia berhenti di bawah gapura besar setinggi empat meter yang bertuliskan, ‘desa Sukosari’. Kusir delman berbadan pendek tapi kekar itu membantu Dinu menurunkan semua koper-koper besarnya dari delman. Ada dua koper besar yang tua dan usang. Jamur putih sudah tumbuh di ujung-ujung koper yang jarang tersentuh, seperti debu namun tak terbang oleh tiupan. Dinu sendiri menggendong ransel kain hitam di punggungnya. Tas serut itu tampak penuh, diisi terlalu banyak hingga kain-kainnya menyembul keluar.
“Terima kasih, Pak,” ucap Dinu setelah membayar beberapa lembar rupiah pada pak kusir.
Pak Kusir itu tersenyum tipis lalu naik lagi ke delmannya dan pergi.
Bukan di depan rumah Dinu turun dari kendaraan bertenaga kuda itu, laki-laki itu masih harus berjalan jauh menyusuri jalanan makadam dengan bebatuan kecil tajam menghiasi permukaan. Dilihatnya jauh ke depan dari titik ia turun. Jalanan kerikil berbatu yang berkelok dan naik turun dengan semak-semak hijau rindang di kanan kirinya. Pohon-pohon besar menjulang tinggi berbaris tak beraturan di sepanjang kanan dan kiri jalan. Bunga-bunga rumput, putih panjang mirip kapas, tumbuh juntai-menjuntai. Beberapa merambat liar hingga ke tengah jalan.
“Mari kita selesaikan dalam dua bulan,” pekik Dinu pelan dengan napas berat.
Dia kencangkan tali ranselnya, lalu mengangkat koper tuanya masing-masing satu di tangan kanan dan kiri. Tak ada roda di kedua kopernya, tak bisa digeret seperti koper-koper edisi terbaru yang selangit harganya. Otot-ototnya berkontraksi, menyembul keluar dalam barisan seperti akar di bawah lapisan kulitnya. Dengan langkah-langkah kecil yang cepat, Dinu mulai menuruni jalan kerikil itu pelan-pelan.
Ini masih pagi. Pagi menuju siang. Matahari sudah keluar dari bayang gunung penanggungan. Terang dan hangat. Cukup panas untuk menelurkan butiran keringat sebiji jagung di kening dan pelipis Dinu. Dia hampir mencapai bawah dengan napas terengah-engah. Diturunkannya sebentar kedua koper tuanya dengan hati-hati.
“Butuh bantuan, Mas?”
Dinu terperanjat. Tiba-tiba suara itu menghampiri Dinu dari belakang. Seorang pemuda dengan senyum lebar berdiri di belakang Dinu. Dia lepas sarungnya yang mengalung di bahu lalu melilitkannya bak ikat pinggang di perutnya. Rambutnya berombak ringan, seperti terbang dan enggan menyentuh kulit kepalanya. Matanya bulat, dengan alis tipis setegak gunung.
Belum juga Dinu memberi jawaban, pemuda itu sudah mengangkat dua koper Dinu dengan wajah cerianya. “Ayo, Mas!” serunya berjalan mendahului Dinu. Dia bahkan tak waspada sama sekali pada orang asing seperti dirinya. Dinu buru-buru menyusulnya, berlarian kecil demi mensejajari pemuda itu. Tidak, demi menjaga kopernya tetap aman. Siapa tahu dia maling, kan?
“Ikhlas. Namaku Ikhlas, Mas.” Pemuda itu nyengir dengan gigi-gigi kusamnya yang berbaris rapi di balik bibirnya.
Dinu mengulas senyum paling tulusnya. “Dinu,” balasnya menjaga sopan santun. Semoga pemuda itu melakukannya seikhlas namanya. Batin Dinu.
“Mas pasti orang kota ya? Baru sampai di sini?” tanya Ikhlas renyah. Koper-koper besar itu terlihat sangat ringan di tangannya. Ikhlas berjalan seolah tanpa beban. Langkahnya pun ringan padahal jalanan naik turun ini cukup melambatkan langkah Dinu.
“Ah, saya pindah-pindah terus, tidak pernah menetap lama,” jawab Dinu diplomatis. Tak lupa ia bubuhkan senyum di akhir ucapannya.
“Keliling Indonesia, Mas?” tanya Ikhlas semakin bersemangat. Matanya makin berbinar.
Dinu menggeleng sungkan. “Masih di Jawa saja,” jawabnya pelan. “Kamu tinggal di Sukosari?” tanya Dinu mengalihkan topik sebelum Ikhlas makin antusias dengan kisah hidupnya.
“Iya, Mas. Kalau bukan penduduk Sukosari ya tidak mungkin aku di sini sekarang, Mas.” Ikhlas nyengir.
Jawaban yang menyebalkan.
Mereka sudah sampai di ujung jalan besar yang berkelok naik turun. Ikhlas berhenti tat kala sampai di penghujung jalan dengan tiga persimpangan jalan. Ketiga jalan lanjutan lebih sempit dan semakin terjal berbatu. Ikhlas menengok setiap arah satu per satu lalu berhenti di wajah Dinu yang juga bingung harus mengambil jalan mana.
“Mas belum ada tujuan mau kemana? Yaudah ke rumah saya dulu mau?” tawar Ikhlas sedikit pun tak menaruh curiga.
Dinu tercenung. Jawaban apa yang harus ia berikan untuk menolaknya? Tatapan Ikhlas penuh kepolosan dan ketulusan. Pemuda itu meletakkan dua kopernya dan meregangkan otot-otot tangannya sembari menunggu jawaban Dinu.
Ikhlas berjalan sebentar menengok ke jalan yang mengarah ke Timur, berbelok ke arah kanan. Jalanannya lebih landai, batuannya agak tumpul, lebih banyak tanah liatnya. Sedikit lebar dibanding dua jalan lainnya. Belum seratus meter Ikhlas menyusuri jalan itu, dia mendengar keramaian dari ujung jalan. Satu rombongan sedang berbondong-bondong berjalan ke arahnya. Ikhlas bergegas kembali dengan berlari menghampiri Dinu.
Lagi-lagi, Dinu belum menjawab, Ikhlas tiba-tiba mengangkat lagi koper-koper miliknya dan menyeret Dinu masuk ke pekarangan rumah. Tak sempat bertanya atau menolak, ketika jeda sedetik kemudian kerumunan orang dengan kebisingan yang penuh amarah datang dari persimpangan kanan jalan melewati tempat mereka. Tak kurang dari sepuluh bapak-bapak bergabung dalam rombongan itu dengan clurit, parang bahkan cangkul di genggaman masing-masing. Wajah-wajah mereka dipenuhi kedengkian. Guratan amarah telah mendominasi seisi eskpresi mereka. Dengan langkah besar-besar yang tegas seperti dibuat-buat, rombongan itu melintas dengan teriakan, ‘NEFIS! MATA-MATA! MATI KALIAN!”. Seorang wanita digiring di tengah-tengah rombongan kecil itu. kebayanya kusut, kain jariknya sobek, dan kedua tangannya terikat ke belakang. Gelungan rambutnya berantakan. Dia tertunduk dan menangis tersedu. Seperti penuh penolakan namun hanya bisa pasrah.
Teriakan kemarahan terus menerus mengiringi kepergian mereka. Suaranya masih juga menggema bahkan setelah rombongan itu menghilang di tikungan. Setiap pintu rumah kemudian dibuka pelan-pelan dari dalam dan wajah-wajah takut mengintip dari sana. Termasuk rumah tempat Ikhlas menyeret Dinu untuk bersembunyi. Seorang wanita tua membuka jendela rumahnya sambil was-was namun penuh kebencian. Dinu hanya sempat melihat eskpresi itu sekilas. Dia tak paham apa yang sedang terjadi di sini.
“Ada yang tertangkap lagi. Padahal Bu Suminem itu baik sekali orangnya. Sering kasih saya makanan,” gerutu Ikhlas dengan perasaan bercampur-campur.
Dinu spontan mengikuti mereka diam-diam. Dia menitipkan kopernya pada Ikhlas tanpa menunggu kesanggupan. Ikhlas meneriaki Dinu, mengejarnya sampai ujung gang tapi Dinu tak menghiraukan.
Masih dikuasai rasa penasaran dan terkejut pagi-pagi sudah disajikan adegan tak terduga ini, Dinu berhasil mengikuti rombongan itu tanpa mengundang curiga. Karena nyatanya banyak juga orang penasaran dan bergabung dalam barisan mereka tanpa diminta. Mereka sampai di penghabisan jalan makadam yang menghubungkan jalan utama desa dengan perkampungan Sukosari. Hamparan sawah padi menyambut mereka dengan warna hijau segar bersembur kuning. Masa panen tinggal menunggu bulan saja. Sepuluh pria itu menggiring sang wanita menyebrangi sawah melalui pematang sawah yang sempit dan becek. Para petani yang baru mulai menyiangi padi mereka, terpaksa berhenti sebentar. Mereka ingin tahu siapa yang tertangkap kali ini. Perhatian mereka tersedot pada keramaian yang baru saja lewat. Tapi anehnya, tak ada wajah terkejut satu pun. Respon mereka juga cepat sirna dan dengan cepat kembali menyiangi padi.
Dinu masih menjaga jarak dari rombongan utama. Menyembunyikan diri di tengah rombongan warga yang mengikuti penangkapan itu.
Akhirnya mereka berhenti. Di sebuah bibir hutan, lereng yang cukup terjal dan curam sekali. Di bawahnya hanya ada kanopi-kanopi daun pinus yang jarang. Kabut sedang turun, namun samar dan tipis. Asap putih menyelimuti lereng. Jurang tak tertembus mata. Dinu mendongak ke bawah hati-hati.
“Meski bukan puncak gunung, jatuh dari sini bisa mati,” gumam Dinu. Dia melihat lereng batuan yang tajam di balik samarnya kabut.
Tepat setelah Dinu mengatakannya, wanita itu jatuh. Mereka mendorongnya. Bahkan butuh beberapa detik hingga terdengar bunyi debam tubuhnya menghantam dahan pohon dan akhirnya jatuh ke tanah. Sontak, Dinu menahan napasnya dengan mata melebar penuh. Dia menahan keterkejutannya.
Lalu sorakan ‘Merdeka!’ riuh gemuruh dengan kepalan tangan meninju ke atas serempak, mereka kembali pulang tanpa sedikit pun rasa bersalah. Apa yang terjadi? Dinu masih berusaha menerka. Dia masih berdiri di tepi tebing itu, melihat jauh ke bawah bersamaan dengan kabut yang semakin hilang. Dia tak menemukan jasad wanita itu di bawah sana. Dedaunan menutupi jarak pandangnya. Belum dengan semak belukar yang begitu rindang dan batu-batuan cadas yang berbaris siap merenggut nyawa siapapun yang terjun.
Dinu tak bisa mendefinisikan apa yang ada di hati dan perasaannya. Sama sekali tak sinkron. Sedikit data yang ia jadikan bekal menginjakkan kaki di sini, akan mewajari apa yang baru saja dia saksikan. Namun, ada nurani yang meronta keras mendesaknya untuk berontak. Dia tak sampai membayangkan kengerian ini yang terjadi. Dugaannya hanya terhenti pada penangkapan, penjara, atau apapun yang masih wajar-wajar saja untuk warga desa. Tapi main hakim sendiri seperti ini, terlalu jauh dari batas prediksinya.