Bab 38
Tepat pukul delapan malam, Agam kembali ke rumah. Pria itu, lusuh, kusut, entah apa lagi yang akan dia dengar dari sang ibu yang sudah pasti akan sangat marah besar.
Sejak awal wanita itu tidak pernah mendukung keinginan Agam untuk balas dendam. Biar bagaimanapun, Agam tetap akan kembali sekalipun sang ibu akan marah besar bahkan bisa saja dia mengusir Agam dari rumah.
Hujan masih setia membuncah dari langit. Menumpahkan ribuan kubik air ke bumi. Membasahi bumi Pertiwi dengan dinginnya air malam, juga angin yang berhembus.
Dengan kecepatan tinggi, Agam melesat diatas aspal. Licin sudah pasti, tidak ada ketakutan akan terjatuh untuk lelaki itu.
Dia hanya merasa puas, bahagia, tetapi juga kesal. Entah perasaan apa yang menutupinya. Seharusnya dia merayakan keberhasilannya membuat Indra hancur dengan sangat mudah.
Namun, kini dia merasa takut hanya karena pendapat sang ibu. Agam, selalu berharap ibunya mendukungnya sekali saja. Mendukung tentang urusan ini.
Pria itu tiba di rumah. Dia membuka pintu. Semuanya tampak sepi, dan hening. Tidak ada satupun orang berseliweran menyambut pria itu.
Tidak seperti biasanya. Agam mencari ibunya ke dapur. Kosong, tidak ada siapapun di sana. Namun, makanan utuh di sana, tertata rapi dan telah dingin.
Laki-laki itu pun berjalan ke kamar sang ibu. Alma duduk di kursi roda dengan menghadap jendela. Menatap hujan serta kilat-kilat yang menciptakan cahaya mengerikan.
Serta angin yang menerbangkan korden, membawa air masuk kedalam dan membasahi korden dan juga tubuh Alma.
"Ma!" Agam berlarian, dia segera menutup jendela dan juga korden dengan rapat.
Mencari handuk untuk mengeringkan tubuh sang ibu. Agam mencari selimut dan semua kain tebal untuk membungkus Alma.
"Ma?! Mama kenapa, sih? Apa yang salah?" Agam berjongkok. Dan menggesek kedua tangannya pada telapak tangan sang ibu, agar wanita yang telah berjasa atas hidupnya itu tidak kedinginan.
Agam tidak pernah mau, sang ibu sakit. Bahkan dia rela, dia yang jatuh sakit dan lumpuh, untuk menggantikan posisi Alma.
Plak!
Alma justru menarik tangannya dan dengan keras menampar pipi Agam. Pria itu tertunduk, tidak berani memegang wajahnya yang terasa panas.
Seperti mati rasa dalam waktu yang singkat. Memerah, jelas sekali di sana bekas lima jari sang ibu. Benar-benar membekas, terlukis dipermukaan pipi Agam.
"Kenapa kamu tidak pernah mau mendengar nasihat, Mama! Apa kamu tidak menganggap mama ada?!" teriak Alma.
Agam masih diam membisu. Air mata Alma menetes, ini adalah pertama kali dalam hidupnya dia melukai anaknya. Baik dengan ucapan juga perilakunya. Menyakiti fisik Agam, yang sejak kecil sudah tersakiti.
"Mama sudah bilang jangan teruskan niatmu untuk balas dendam! Apa kamu tuli?! Kenapa tidak mau dengar Mama?!" Alma kalap, dia terus menyalahkan Agam. Atas semua berita yang beredar.
Meskipun, Alma sama sekali tidak akan rugi dengan pemberitaan yang ada. Namun, Alma tidak suka cara Agam. Sejak dulu, Alma meminta untuk tidak melanjutkan niatnya.
Balas dendam tidak akan menyelesaikan semuanya.
"Sekalipun kamu berhasil menghancurkan papamu, Mama—"
Agam memotong ucapan sang ibu. Dia marah, mimik wajahnya mengerikan. Merah padam, dengan mata yang seakan berkobar, tersulit emosi. Api kemarahan Agam membara.
"Dia bukan ayahku! Bukan papaku! Bukan siapa-siapa dalam hidupku! Mama yang tidak pernah mau mendengar Agam! Semua yang terjadi dengan Mama, karena ulah dia! Sadar! Buka mata mama! Dia sudah mengkhianati mama! Sudah membuang kita tanpa dosa! Apa aku harus menerima dia?! Katakan! Katakan, Ma!" teriak Agam. Dia menendang meja nakas di kamar tersebut.
Prang! Semua berserakan dan juga lampu tidur berguling diatas lantai. Dalam sekejap kamar itu berantakan.
Alma menangis. Anaknya memang memiliki watak yang kaku, kasar dan juga meledak-ledak ketika marah. Semua ini memang tidak luput dari masa lalu yang menyulitkan dirinya.
Alma, terisak. Dia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Alma, tidak sampai hati terus menyalahkan sang anak. Dia hanya ingin menuntut keadilan. Namun, caranya salah.
"Lalu apa yang kamu dapatkan, nak? Dia hancur, tapi mama tetap berada di kursi roda kan?" lirih Alma.
Dia meraih tangan sang anak. Menciumnya untuk meredakan amarahnya.
"Aku memang tidak mendapatkan apapun! Tapi Agam tidak akan berhenti sampai mereka merasakan apa yang kita rasakan selama ini. Aku ingin mereka juga berada diatas kursi roda, seperti mama! Aku ingin membuat mereka hancur sampai tidak tersisa!"
Pria itu benar-benar diliputi dengan dendam. Bagiamana tidak, sejak umur delapan tahun. Bahkan lebih kecil dari itu, dia selalu melihat setiap malam, setiap saat Indra di rumah. Alma dan juga pria itu selalu bertengkar.
Alma yang selalu memohon, agar pria itu tidak pergi. Alma yang selalu mengalah, melindungi Agam dari amukan lelaki b******k itu.
Wanita itu rela mendapatkan berbagai pukulan dari Indra, di mana-mana. Demi anaknya, demi Agam.
"Agam!" bentak Alma.
Lelaki itu tidak mendengarkan sang ibu. Agam tidak mau dikekang dan diatur. dia ingin bebas melakukan apapun yang dia inginkan.
Pria itu pergi. Tidak mau terus berdebat dengan sang ibu. Agam, meraih kunci motornya. Ia keluar dari rumah. Entah kemana, menembus hujan. Membiarkan air dingin itu menimpanya. Membiarkan air hujan membasahi seluruh pakaiannya.
Sementara di rumah, Alma terus menangis. Dia menyesal telah melakukan hal tadi. Dia menyesal, membuat Agam pergi lagi dari rumah.
Alma tahu, Agam tidak memiliki siapapun untuk bercerita di luar sana. Hanya Alma yang dimiliki oleh pria itu. Namun, Alma ingin Agam tidak memiliki dendam dengan siapapun.
Ini adalah kesulitan yang nyata. Alma kembali harus memilih antara anak dan juga mantan suaminya. Perasaannya masih sama, dia selalu menganggap bahwa Indra tetaplah suami dan juga ayah dari anaknya.
Cinta menutup luka yang pernah tertoreh. Cintanya jauh lebih besar dari luka yang dia dapatkan dari Indra. Cinta Alma, sangat luar biasa.
Namun, lelaki itu tidak pernah menyadari akan hal itu. Indra buta! Indra memang lelaki yang tidak tahu diuntung.
Semangat itu, Tidak tahu, kemana tangannya mengemudikan stang motornya. Yang jelas, Agam ingin pergi, jauh dari sang ibu. Jauh dari kekacauan yang baru saja dia alami.
*
Di sisi lain, Darren merasa sangat bahagia. Dia tidak bisa berhenti tersenyum. Bahkan sampai tiba di rumah dia tiba-tiba memeluk semua orang yang ada.
Satpam, pelayan, tukang kebun, bahkan ibu dan ayahnya. Dia belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi beberapa jam ini.
Darren terlalu bahagia, karena Aileen akhirnya memberikan kesempatan pada Darren, untuk menjalin hubungan bersama.
Benar! Aileen menerima lelaki itu menjadi kekasihnya. Entah kenapa tetapi Aileen menjawab, ya'.
Setelah itu, Darren pun mau kembali ke rumah. Walaupun hujan, dia tetap menerobosnya. Rasanya begitu tiba di rumah pria itu sudah sangat merindukan kekasihnya.
Tidak peduli, dingin, juga basah di sekujur bajunya, Darren, sangat bahagia saat ini.
"Nak, kamu kenapa?" Almira yang berada dalam dekapan anak semata wayangnya tentu di buat takut, tetapi juga senang melihat ekspresi wajah sang anak yang tidak biasa.
"Ma, Darren punya pacar, Darren punya kekasih. A! Darren, bahagia," teriaknya.
Pria itu mengangkat tubuh sang ibu dan membawanya berputar-putar. Alma menepuk pundak Darren, untuk menghentikan aksinya. Almira takut terjatuh. Terlebih semua tubuh Darren, basah. Sudah pasti baju Almira pun basah.
"Selamat, nak. Selamat. Sudah turunkan, Mama," pinta Almira.
Darren menurutinya. Dan mencium pipi juga kening sang ibu tanpa kehilangan senyum di wajahnya.
"Mama senyum dong. Kek nggak suka gitu Darren bahagia. Tahu nggak, siapa cewek Darren?"
Seharusnya, Almira memberitahukan berita buruk pada anaknya. Namun, wajah bahagia Darren menghancurkan keinginan itu. Tidak ada satu orang tua ingin kehilangan kebahagiaan serta senyum dari anaknya. Termasuk Almira.
Lebih baik dia mendengar cerita Darren dan menunda kabar buruk itu. Kebahagiaan Darren, lebih utama. Toh, dia belum sepenuhnya mengerti tentang bisnis kan? Meskipun kelak semua yang dimiliki Indra akan menjadi tanggung jawab untuk lelaki itu kan?
"Siapa, nak?" Almira pun memaksa senyum dan menangkup wajah Darren.
"Aileen! Mama senang kan? Mama dekat kan sama dia? Aku yakin mama senang," seru Darren. Ia kembali memeluk sang ibu sembari melompat-lompat.
Almira tersenyum. Dia kembali mengusap punggung anaknya. Dia bahagia, sungguh Almira merasa bahagia, melihat Darren seceria ini.
"Iya, sayang. Selamat, ya. Sebaiknya kamu ganti baju, masuk kamar, ganti baju. Kamu mau sakit? Lalu tidak bisa jalan-jalan dengan Aileen, besok? Tidak kan?! Ayo! Cepat masuk sana!" perintah sang ibu.
Darren mengangkat jari jempolnya. Sebelum pergi dia kembali mencium kening sang ibu dan meninggalkan Almira sendirian.
Berbanding terbalik dengan Darren. Almira terduduk dengan kau di sofa. Dia menatap kepergian anaknya. Senyumnya perlahan memudar, jika mengingat pemberitaan diluar sana.
Almira tidak tahu, bagaimana ekspresi wajah Darren, jika mendengar berita buruk tentang sang ayah. Mendengar kehancuran perusahaan yang benar-benar di depan mata.
Hampir lima puluh persen sahamnya turun, dia puluh persen saja sudah menjadi bencana, lali bagaimana sampai lima puluh persen? Ini benar-benar hal yang membuat hancur hati seseorang bukan?
Di tempat lain, dengan tubuh yang menggigil, baju basah. Seorang pria duduk di bar, sendirian dengan botol minuman keras ditangannya, kepulan asap rokok menjadi temannya. Musik yang berisik seakan menjadi alunan merdu untuknya.
Agam, dia memilih berlari pada minuman keras ketika dirinya benar-benar tidak bisa membawa dirinya untuk tetap tenang.
Sejak, dulu hingga kini, hanya alkohol yang selalu menjadi temannya jika kemarahan itu datang. Entah didengar atau tidak, terkadang dia selalu merancau tidak jelas.
Agam, tidak memiliki teman, saudara bahkan kekasih. Dia sendirian, selama dua puluh sembilan tahun, pria itu sendirian.