Indra dan Almira, dua orang yang masih menunggu dokter untuk menangani kondisi Darren. Sama halnya dengan Aileen yang hampir dua jam belum juga ada perkembangan.
Mereka panik, dan Almira terus menangis tanpa henti. Dia tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Tidak ada, satupun orang tua di dunia yang menginginkan anaknya celaka.
"Keluarga pasien?" teriak sang perawat yang baru saja membuka pintu.
Indra dan istrinya pun segera mendekati wanita tersebut.
"Kami orang tuanya, sus. Bagaimana kondisinya?" sergah Indra, sembari memeluk bahu sang istri.
"Dia baik, sebentar lagi dia akan dipindahkan ke ruang perawatan. Mohon untuk menyelesaikan administrasinya, Tuan. Ini adalah beberapa rincian tindakan yang dilakukan tadi," tuturnya. Kemudian ia meyerahkan satu lembar kertas dengan banyak angka dan juga keterangan jelas.
Indra menerimanya dan mulai membacanya kemudian meninggalkan tempat itu. Meninggalkan istrinya agar tetap di sana dan dia pun menuju tempat p********n. Juga mengantri untuk pengambilan obat anaknya.
Nasib Indra benar-benar sial, bahkan dompet saja tertinggal. Dia pun mengecek ponselnya, juga tidak terbawa. Alhasil dia harus kembali di tempat istrinya.
Almira pun lupa tidak membawa apapun. Mereka terlalu panik, ditambah dengan kejadian yang ada di jalanan tadi membuat semua semakin rancu.
"Terus gimana ini, pa?" cemas Almira. Dia mulai sedikit tenang, tetapi harus kembali kebingungan. Karena masalah ini.
"Ya sudah, Mama tenang dulu, papa akan pulang untuk ambil uangnya. Mama jaga Darren."
Pria itu, mencium kening istrinya, kemudian pulang bersama dengan sopirnya.
*
Pagi ini suara ketukan pintu setelah kepergian petugas kebersihan itu, membuat Agam dan Aileen saling bersitatap.
Kemudian Dewi muncul dari balik pintu, dengan senyumnya yang hangat dan sangat teduh.
Dia membawa rantang susun, yang sudah pasti makanan untuk anaknya.
"Pagi, sayang. Gimana kondisinya? Sudah baikan?" tanya Dewi sembari berjalan mendekati Aileen.
Agam pun berdiri dan berpindah dari kursinya. Memberikan kesempatan untuk wanita paruh baya itu melepaskan rindu yang sejak semalam mereka tidak bertemu.
"Baik, Bu. Pagi-pagi sudah bawa sarapan, ibu. Ayah, gimana?" tukas Aileen.
"Sudah jangan pikirkan bapak. Dia baik, sudah siap sarapan Ayana juga. Tadi ibu buru-buru ke sini, karena tahu kalau kamu sakit itu pasti mau yang aneh-aneh. Nanti kasian Agam kalau sampai kamu minta yang susah di cari," ujar Dewi.
Aileen tertawa, karena memang begitulah Aileen. Dewi mengeluarkan semua makanan yang dia bawa. Nasi tim dengan taburan abon serta ceker ayam di atasnya.
Mencium aroma yang menguar membuat perut Aileen keroncongan. Agam memperhatikan keduanya, dengan diam dan sedikit tenang, melihat kondisi Aileen yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
"Wah! Keliatannya enak, Bu. Aileen mau," cicitnya.
Dewi tersenyum dan menyuapinya. "Agam, ayo kamu makan sekalian, gih," ucap Dewi. Dia pun menyodorkan satu rantang yang isinya beda dari milik Aileen.
Nasi pecel, dengan lele. Sangat terlihat enak dan sudah pasti rasanya akan memanjakan penikmatnya.
Agam masih enggan untuk menerimanya. Dia malu, dan sedang tidak mood untuk memasukkan apapun ke dalam mulutnya.
"Ayo, nak. Makan dulu, kamu masih harus menjaga Aileen, kan? Setelah ini ibu akan pulang, lho. Kalau kamu kelaparan terus tinggalin Aileen untuk beli makan, terus sama siapa Aileen di sini?"
Dewi melakukan itu agar Agam tidak menolak pemberiannya. Itu adalah bentuk ucapan terima kasih Dewi dan Sastro pada Agam yang sudah mau menjaga Aileen semalaman.
Bahkan pagi ini Aileen sudah terlihat sangat baik, mereka berharap bahwa gadis itu bisa segera di bawa pulang.
"Makan, Gam. Enak, kok masakan, ibu.l," timpal Aileen. Agar kekasihnya itu juga mau makan bersamanya.
"Nanti Agam makan, Bu. Biar Agam yang suapi, Aileen." Pria itu mendekati Dewi dan mencoba mengambil alih sendoknya.
Awalnya Dewi menolak, tetapi lelaki itu bersikeras, akan menyuapi Aileen, dan akhirnya Dewi pun mengalah. Dia juga harus segera kembali, karena ada pesanan kue untuk siang nanti.
Rejeki memang tidak terduga. Sekalipun Dewi menolaknya, customer tersebut tidak mau memesan di tempat lain. Dia malah akan membatalkan acaranya. Meskipun itu tidak penting bagi Dewi.
Akan tetapi bagaimana jika acara itu sudah menyebarkan undangan. Sudah pasti akan banyak orang yang tertipu. Dan keluarga itu akan malu. Alhasil Dewi pun menyetujuinya.
"Ibu pamit, ya nak. Agam, terima kasih, ya. Kalau ada apa-apa kamu telepon ibu, saja. Misalkan kamu mau pulang atau apa, kamu hubungi ibu saja," tuturnya.
"Ibu tenang, aja. Agam nggak ke mana-mana," jawabnya.
Dewi tersenyum dan menepuk pelan bahu pria itu, kemudian dia pun kembali pergi. Begitu akan keluar dari rumah sakit, dia melihat Indra yang berjalan dengan terburu-buru.
"Pak Indra? Bapak di sini? Siapa yang sakit?"
Indra pun menoleh dan menatap Dewi. Seketika dia ingat tentang kecelakaan yang melibatkan Aileen di sana. Belum lagi korban lain, yang harus dia urus juga.
Semalaman dia memikirkannya di rumah, tanpa bisa kembali ke rumah sakit. Saldo di rekeningnya lenyap dalam sekejap untuk pengobatan beberapa korban.
Pagi ini dia kembali, dan telah menyelesaikan semua biaya administrasinya.
Namun, Indra bahkan tidak membayar biaya pengobatan Aileen. Dia membisu dan mungkin melupakannya.
"Bu— Bu Dewi. In— ini, Darren. Dia, dia— ya anak muda, Bu. Mungkin dia depresi atau apa, yang jelas dia mencoba untuk melukai dirinya sendiri," terang Indra. Seakan menyindir bahwa adanya Darren di sini karena ulah Aileen.
"Apa? Kenapa begitu, saya turut sedih. Semoga saja, Darren segera sembuh, pak. Saya permisi dulu."
Dewi meninggalkan Indra. Tidak ingin membahas hal itu semakin jauh, karena dia tahu kemana arah pembicaraan Indra. Bukankah Dewi juga mengetahui hubungan Aileen dengan Darren.
Namun, Dewi tidak tahu kelanjutannya. Dia tidak mau memikirkannya, karena terpenting adalah kebahagiaan Aileen, bersama dengan siapapun Dewi akan tetap mendukungnya.
Di ruangan Aileen. Gadis itu telah menyelesaikan makannya. Agam dengan telaten membantunya untuk melakukan apa yang seharusnya dia lakukan.
Memberikan minum, atau mengupas buah untuk gadis itu. Memiliki Agam saat ini adalah sebuah kebahagiaan yang patut disyukuri. Terlepas dari sikapnya yang keras, tetapi Agam tetaplah lelaki yang lembut.
"Kamu makan juga, gih. Mau aku suapi?" kelakar Aileen. Dia memegang sendok saja susah, dengan tangan yang terpasang gips tidak mungkin melakukan aktivitas walaupun sepele.
"Dengan mulutmu?" Agam menatap wajah Aileen tanpa berkedip. Dia ingin tertawa ketika melihat ekspresi wajah gadis itu. Namun, Agam tidak bisa menarik kedua sudut bibirnya.
"Ngawur! Udah makan sendiri sana," ketus Aileen.
Agam pun memakannya, dengan perlahan sampai ia menghabiskan satu piring nasinya. Dia kelaparan dan menjadi brutal seharusnya, tetapi hebatnya dia bisa menahannya sampai saat ini.
"Kamu tahu siapa yang menabrakku?" Agam terdiam dan hampir tersedak air minumnya.
"Hei, hati-hati. Aku tidak minta, aku tidak minta," sergah Aileen. Dia mencoba bangkit dan ingin membantu Agam untuk mengelap bibirnya.
Namun, Agam mencegahnya dengan menahan dadanya, diatas dadanya lebih tepat.
"Jangan ceroboh. Tidur saja." Agam kembali untuk duduk dia juga belum menjawab pertanyaan gadis itu.
"Iya, maaf. Jadi, siapa? Kamu tahu siapa dia?"
Sejenak Agam terdiam haruskah dia mengatakannya? Apakah Aileen akan percaya jika Agam mengatakan bahwa Indra adalah salah satu penumpang di mobil yang telah mencelakakan dirinya?