Waktu sudah menunjukkan jam makan siang. Aiyaz sama sekali tidak memberikan pekerjaan apapun untuk Caca. Selain tidak memiliki ide untuk memberi Caca pekerjaan, dia juga tidak mau jika wanita itu kembali pingsan karena tubuhnya yang belum benar-benar bugar.
Dan Aiyaz hanya menyuruhnya untuk menyiapkan makan siangnya saja di meja khusus, di ruangan sebelah sana. Dia sengaja menyuruh Bobby untuk mendatangkan beberapa Chef ke ruangan kerjanya, supaya mereka bisa berhadapan langsung dengan Caca.
Dia duduk di kursi kebesarannya sembari memperhatikan Caca yang ada di ruangan bar kecil, di sebelah sana. Wanita itu sedang berbicara dengan tiga orang Chef.
Lihatlah dia, dari cara dia berbicara memang sudah terlihat seperti layaknya pekerja lama. Tapi, apakah dia yakin mau membuat Caca berlama-lama bekerja dengannya. Sedangkan dia sendiri tahu kalau Caca berteman dengan ketiga adiknya.
Tiba-tiba saja dia memikirkan ketiga saudaranya. Yah, dia sadar ada jadwal rapat tambahan sore ini.
“Kau sudah beritahu mereka kalau aku tidak berada disini?” tanya Aiyaz melirik ke arah sana tanpa memandang Bobby yang duduk berseberangan meja dengannya.
Bobby tengah memeriksa berkas yang telah selesai ditanda tangani oleh Tuan Besarnya, dia melirik ke arah pria itu sekilas.
“Sudah, Tuan. Awalnya Tuan Gamal tidak percaya. Tapi saya bilang kalau Tuan ada keperluan lain,” ujarnya memberitahu.
Aiyaz mengangguk kecil sebagai balasan kalimat Bobby. Dia menyandarkan punggungnya disana, memainkan pena yang masih tersemat di jemari kanannya.
Entah apa yang dia pandang dari wanita aneh itu. Yah, selain super cerewet, dia juga super aneh. Hanya dia wanita aneh di dunia ini yang tidak mau menerima gaji besar.
‘Sungguh munafik sekali,’ bathinnya lalu sedikit menyeringai.
Sesekali Bobby melirik pria di hadapannya. Tuan Besarnya ini memang tidak bisa ditebak apa maunya.
Sejak tadi, fokusnya terus tertuju kepada Caca. Dia berniat mempekerjakan Caca. Tapi dia sendiri justru bingung mau memberinya pekerjaan apa. Bobby merasa kalau suatu saat nanti, pria ini akan terjebak dalam permainannya sendiri.
Bobby benar-benar yakin kalau dia akan disusahkan sampai selanjutnya.
“Apa Anda yakin tidak mau memberitahu hal ini pada mereka, Tuan?” tanya Bobby kembali membuka suara.
Aiyaz langsung meliriknya tajam.
“Maksudmu?”
Bobby masih melakukan pekerjaannya, tapi bibirnya kembali bersuara.
“Saya pikir, lebih baik Anda jujur saja. Dan tidak perlu menutupi kalau Nona Caca magang di perusahaan ini sekaligus bekerja untuk Anda. Karena bagaimana pun Anda menutupinya, tetap mereka pasti akan tahu juga, Tuan. Kecuali jika Anda membawa Nona Caca ke Althafa. Mungkin yang tahu hal ini hanya Tuan Gamal saja,” jelas Bobby panjang lebar.
Aiyaz menelaah kalimat panjang Bobby. Dia juga sudah memikirkan hal itu sebelumnya.
Tapi ketika mengingat nama Gamal. Ah, sudahlah. Semua rencana akan berantakan jika sudah diketahui olehnya.
Bukan karena dia akan membongkar semua rencananya, tapi karena pria itu terlalu jahil dan pasti akan menilainya yang tidak-tidak. Dan ejekannya itu pasti akan terbawa sampai mereka kembali ke mansion.
Itulah yang sangat ia tidak sukai dari sosok Gamal. Dimanapun dan kapanpun, pria tidak akan pernah membuat damai orang yang pantas untuk dikuntit.
“Haahhh … aku sudah memikirkan hal yang sama. Yang paling penting hari ini, usahakan mereka tidak ke ruanganku. Jaga ketat sampai aku membawa Caca ke Althafa,” ujarnya memerintah.
Bobby mengangguk paham.
“Itu sudah saya atur, Tuan. Tapi, Tuan—”
Aiyaz masih menatap Caca yang masih berada disana.
“Hmm …”
Bobby ikut melirik ke arah yang sama dan sedikit mencetak senyuman tipis. Sangat jeli, Aiyaz melihat senyuman yang terpatri di wajah Bobby.
“Kau senyum dengan siapa??” tanyanya mencurigai sesuatu.
Bobby kembali menatap ke depan.
“Nona Caca, Tuan. Dia sungguh gadis yang baik. Sepertinya dia memang berniat bekerja,” ujarnya berpikiran positif.
Tapi tidak dengan Aiyaz, dia masih mengunci pandangannya pada Bobby.
“Kau menyukainya?? Jujur saja,” ujarnya menyelidiki sambil menyeringai.
Glek!
Mata Bobby membulat. Bagaimana mungkin pria ini bisa mengatakan hal itu, pikirnya.
“Ah … tidak, Tuan. Saya hanya kagum padanya. Dia tidak seperti mahasiswa pada umumnya yang suka dengan hal-hal instan. Lihat saja dia, bahkan dia menolak gaji besar dari Anda.” Bobby mencoba menjelaskan jika dia tidak memiliki ketertarikan terhadap Caca dan hanya sebatas kagum semata.
Aiyaz menepis semua ucapan Bobby. Mana mungkin ada wanita yang menolak gaji besar kecuali jika dia memiliki rencana lain yang lebih besar dan menguntungkan untuknya.
“Tidak. Kau hanya belum tahu saja, Bob. Dia tengah bersembunyi dibalik topeng. Tapi kalian tidak bisa melihatnya,” ujarnya dengan nada sedikit berbisik.
Bobby memasang wajah bingung. Tiba-tiba saja kepalanya pusing menghadapi sikap Tuan Besarnya hari ini. Dia merasa jika selama satu harian ini, pria itu tidak bersikap normal.
“Kita akan tahu karakter asli wanita ini setelah kita mengikuti kesehariannya. Lihat saja nanti,” ujarnya menyeringai.
Glek!
Entah kenapa Bobby merasa merinding melihat sikap Tuan Besarnya semakin aneh. Dia tidak tahu apa kesalahan Caca terhadap pria ini sampai dia seakan ingin membalaskan sebuah dendam. Padahal seharusnya pria ini tahu kalau Caca adalah teman baik dari ketiga Nona Besarnya.
…
Hari ini, dia sangat ingin bermalas-malasan sembari memperhatikan gerak-gerik wanita bernama Cempaka Candramaya. Tidak tahu apa yang membuat nalurinya terpikat, tapi dia ingin sekali mencari tahu sisi kelam dari seorang Caca.
Di sisi lain, dia memikirkan satu hal lagi. Bagaimana jadinya kalau Caca berterus terang kepada ketiga adiknya mengenai pekerjaannya disini.
Dia bisa diwawancarai habis-habisan sama ketiga gadis itu. Sudah bisa dipastikan kalau Grandma dan sang Mommy pasti ikut mewawancarinya.
Ah, tidak. Itu akan membuatnya pusing. Keadaan seperti itu bahkan 7 kali lebih pusing, melebihi pusingnya saat dia bertaruh dalam permainan bisnis.
Dia harus bertindak cepat memikirkan cara lain agar Caca tetap membungkam mulutnya.
…
1 jam kemudian.,
Penampilannya sudah sangat berantakan sekali. Dia lebih memilih bermain rubik dari pada melanjutkan 3 berkas yang tersisa.
Sedangkan Bobby, dia sudah lelah mengingatkan Tuan Besarnya untuk menyelesaikan berkas terakhir. Hampir 87 rubik telah dimainkan oleh pria ini. Entahlah, Bobby menyerah menghadapinya siang ini.
Dia menoleh ke arah sana, melihat para Chef sepertinya telah selesai menghidangkan makanan.
“Sepertinya mereka telah selesai, Tuan.”
Aiyaz melirik ke arah sana. Dia melihat Caca berjalan ke arahnya. Spontan, dia langsung membenarkan posisi duduknya, dan melempar rubik itu ke dalam keranjang khusus di bawah meja kerjanya.
Braakk!
“Hhmm … mana berkas selanjutnya?” ujarnya lalu mengambil sembarang berkas yang ada disana.
Bobby menatapnya bingung. Dia melihat Caca berjalan menghampiri mereka, dan otaknya mulai memahami sesuatu.
“Sudah selesai, Tuan. Sudah waktunya makan siang, apa ada yang Anda butuhkan, Tuan?” tanya Bobby melirik pria itu.
Aiyaz menggeleng kecil.
“Tidak ada. Kau boleh istirahat,” balasnya lalu menjangkau ponselnya yang ada disana, dan berpura-pura memainkannya.
“Terima kasih, Tuan.” Dia segera mengambil semua berkas yang ada disana, dan beranjak dari duduknya.
Caca mendekati mereka dan tersenyum ramah pada pria yang dia tahu bernama Bobby.
“Mari, Tuan … Nona …” Bobby ikut menyapa ramah Caca.
“Iya, Pak.” Caca menjawabnya ramah.
Setelah kepergian Bobby dari ruangan itu, Aiyaz melirik Caca yang sudah berdiri di hadapannya.
“Ada apa?” tanyanya dengan ekspresi datar.
Caca menunjuk ke arah ruangan yang sudah tersedia makanan untuk Bossnya.
“Pak, makan siang sudah siap. Sebaiknya Anda makan siang dulu,” ujarnya memberitahu.
Aiyaz menyandarkan punggungnya disana.
“Nanti saja. Aku masih sibuk, tidak berselera makan.” Dia kembali fokus pada ponselnya.
Caca terdiam mendengar ucapan Bossnya. Tapi dia pikir, kasihan makanan disana diacuhkan begitu saja.
“Baiklah, Pak. Saya permisi,” ujar Caca sopan lalu berbalik badan dan kembali ke ruangan itu.
Aiyaz meliriknya dengan tatapan menyelidiki. Entah kenapa dia menjadi detektif siang ini. Memantau gerak-gerik Caca yang seakan mencurigakan untuknya.
‘Dia kembali kesana. Ternyata dia mau makan siang seorang diri. Apa dia tidak tahu kalau aku kelaparan disini??’ bathinnya ingin mengumpat.
Dia memutar kursinya ke arah kiri, meremas kasar rambutnya. Aiyaz tidak tahu ada apa dengan dirinya, berhadapan dengan Caca membuatnya kehilangan akal.
Tidak, dia merasa jika Caca pasti memakai mantar sehingga membuatnya seperti ini. Yah, dia harus fokus dan tidak boleh lengah.
“Lihat saja dia?? Dia mengambil semua lauk, dan dia akan menikmatinya seorang diri. Dasar wanita!” gumamnya dengan rahang ikut mengeras.
Kini, dia menyiku diatas meja. Memejamkan matanya, sembari berpikir keras mengenai cara untuk menyembunyikan identitas Caca sebagai pekerja pribadinya.
“Tidak, tidak! Gamal tidak boleh tahu! Dia sangat payah!”
Aiyaz berusaha keras memikirkan banyak cara agar ini tidak diketahui oleh siapapun. Tapi dia memikirkan sikap alami Caca beberapa waktu lalu.
Dia memohon seakan dia tengah kesulitan. Hatinya merasa jika Caca memang wanita baik-baik. Tapi kenapa otaknya terus menolak dan ingin sekali menemukan jati diri Caca sebagai wanita nakal.
“Ahh! Ada apa dengan otakmu, Aka! Jangan bodoh! Ingat, dia hanya wanita! Kau bisa dengan mudah—” gumamnya terhenti saat mendengar suara tepat di samping kanannya.
“Pak??”
Deg!
Dia membuka pejaman matanya, lalu menoleh ke arah kanan.
“Biar saya menyuapi Anda, Pak. Saya tahu Anda pasti sangat sibuk sekali,” ujarnya sambil tersenyum lalu menyodorkan segelas air mineral ke arahnya.
Glek!
‘Mau apa dia??’ bathinnya menatap curiga.
“Kau mau apa?” tanya Aiyaz sedikit bergidik ngeri.
Caca tersenyum dan mengangkat sendok yang sudah berisi makanan.
“Ini. Mau menyuapi Anda, Pak.” Caca sangat jujur sekali. Dia mengangkat gelas itu dan memberinya ke arah Bossnya.
“Ini, Pak. Minum dulu, baru makan.”
Aiyaz ragu mengambilnya.
“Ah, tidak. Terima kasih. Saya bisa makan sendiri nanti,” ujarnya menolak halus. Dia kembali berpura-pura menghadap ke arah laptop yang masih menyala.
Caca bingung dengan sikap Bossnya ini. Apa mungkin pria ini menolak karena takut jika ia memberi racun di makanan ini, pikirnya bertanya-tanya.
“Apa Bapak takut kalau saya memberi racun di makanan ini?” tanya Caca memastikan.
Aiyaz meliriknya.
Deg!
Ekspresi Caca terlihat sedih dan kecewa. Kenapa ekspresi itu seperti ekspresi Embun ketika keinginannya tidak terpenuhi.
‘Shitt!’
Aiyaz hanya menatapnya tanpa bersuara. Dia masih membaca apa yang diucapkan oleh Caca dihatinya.
‘Kenapa dia takut? Memangnya salah kalau aku melakukan pekerjaanku?’ bathinnya sedikit menarik diri.
Dia tersenyum kecut mendapat tatapan diam dari Bossnya.
“Maaf, Pak. Saya … saya permisi,” ujarnya sambil menunduk hormat, lalu mengambil kembali gelas yang masih utuh itu. Dia hendak berbalik badan dan berjalan ke arah ruangan ujung sana.
Aiyaz mencekal pergelangan tangannya.
“Tunggu. Baiklah lakukan,” ujarnya terpaksa menuruti keinginan wanita ini.
Caca mengerjap dengan senyuman sedikit mengembang.
“Anda serius, Pak?”
“Hmm …”
“Baiklah.”
Caca sangat bahagia sebab pria ini percaya padanya.
“Bapak minum dulu, biar tenggorokannya lancar saat makan nanti.”
Aiyaz mengerutkan keningnya. Kenapa dia mengajari seolah sedang memberi makan anak kecil, pikirnya.
Ragu, dia mengambil gelas berisi air mineral itu. Dia sedikit menciumnya.
Caca merasa jika Bossnya ini ragu. Tidak ada salahnya jika dia mengatakan sesuatu yang ada dibenaknya.
“Kalau Bapak ragu, saya bisa meminumnya sebelum Anda, Pak.”
Aiyaz meliriknya dengan ekspresi datar, lalu menyodorkan gelas itu ke arah Caca. Tentu saja Caca langsung meminumnya sedikit, dia lalu tersenyum.
Setelah Caca meminumnya, tidak dia sangka jika Bossnya akan meminum gelas bekas bibirnya.
“Pak—”
Aiyaz meliriknya lagi.
“Ada apa?”
“Tapi … itu bekas saya, Pak.” Caca tersenyum tipis.
“Tidak masalah. Supaya—”
“Supaya apa, Pak?”
Caca menatapnya bingung.
“Haaahh …”
‘Supaya kau yang teracuni duluan!’ geramnya dengan rahang mulai mengeras.
“Kau tidak jadi menyuapiku?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan.
“Aahh … iya, Pak. Saya jadi lupa,” ujarnya sambil menyendok makanan lalu mengarahkannya ke mulut pria bertubuh besar itu.
Aiyaz mengunyah makanan itu perlahan. Sembari menikmati rasanya, dia ikut mewanti-wanti lambungnya. Jika terjadi sesuatu dengan lambungnya, dia harus segera memuntahkan isi perutnya.
Caca menyuapi Aiyaz dengan setulus hati. Tetapi berbeda dengan Aiyaz yang selalu mewanti-wanti lambungnya.
Dia masih terus berpikiran buruk mengenai Caca. Bukan dia menolak sikap baik pekerja barunya itu, tetapi karena Caca sempat mengumpatnya waktu lalu, saat mereka pertama kali bertemu.
Itu sebabnya dia merasa jika Caca hanya berpura-pura baik saja padanya. Apalagi Caca bekerja sekaligus magang di perusahaan ini. Walau dia tahu kalau Caca akan menghabiskan banyak waktu di ruangannya dari pada melakukan tugasnya untuk magang.
Awalnya dia merasa was-was, tapi lama-kelamaan dia merasa tenang mendapat suapan dari Caca hingga sempat menambah makanan sampai 2 kali. Selain benar-benar lapar, dia juga mau mengerjai Caca. Apakah wanita ini mengeluh atau tidak, pikirnya.
…
25 menit kemudian.,
“Bapak mau lagi??” tanya Caca masih betah berdiri sambil menyuapi pria ini.
Aiyaz sedikit risih dengan panggilan itu.
“Jangan memanggilku Bapak. Aku masih muda,” ujarnya sambil mengunyah.
Caca mengerutkan kening. Kenapa Bossnya marah saat dia memanggilnya Bapak, sedangkan pekerja lain juga memanggilnya dengan panggilan yang sama, pikirnya.
“Jadi, saya harus memanggil apa, Pak?”
“Terserah. Asal jangan memanggil Bapak.”
“Tuan?”
“Aku bukan Tuanmu.”
Caca mulai berpikir keras.
‘Bapak tidak, Tuan tidak. Lalu aku harus manggil apa??’
“Abang??”
Aiyaz menghela panjang napasnya.
“Aku bukan Abangmu, Caca.” Giginya merapat geram.
Caca tersenyum kecut dan mulai salah tingkah.
“Lalu saya harus memanggil apa, Pak??”
Aiyaz ikut berpikir. Panggilan apa yang cocok untuk Caca. Sebab telinganya sangat risih bila harus mendengar Caca memanggilnya Bapak. Menurutnya itu panggilan yang sangat menggelikan.
“Kau tahu Aza, Bening, Embun memanggilku apa?”
Caca mengangguk kecil.
“Tahu, Pak.”
“Apa??”
“Panggilan Mas??”
“Hmm …”
Glek!
“Saya memanggil Mas??”
“Hmm …”
“Bapak serius??”
Aiyaz geram dan menoleh ke arah kanan.
“Saya sudah katakan jangan panggil saya Bapak, Cempak!”
Deg!
Caca tertegun.
“Maksud saya, Caca. Panggil saya tadi saja. Jangan Bapak.” Aiyaz langsung membuang pandangannya ke arah depan saat melihat ekspresi Caca telah berubah. Dia kelepasan menyebut nama Cempak barusan.
‘Cempaka, bodoh! Bukan Cempak! Ayolah, Aka! Cempaka! Cempaka Candramaya!’
Caca diam saja dan tetap melanjutkan suapan terakhirnya. Tidak ada sapaan lagi yang Caca lontarkan saat dia hendak pergi dari sana menuju dapur keci, kecuali kata permisi.
Aiyaz memperhatikan gerak-gerik Caca. Dia merasa tidak enak hati karena sikap diam Caca.
Lama dia memperhatikan Caca di ujung sana. Wanita tampak membereskan semua hidangan diatas meja dan menyimpannya diatas meja makan yang ada di dapur mini itu.
Seperti tidak ada pekerjaan lain selain mengamati Caca saat ini. Tapi yang membuat dia heran, kenapa wanita itu tidak kunjung keluar dari sisi dapur yang disekat dengan lemari tinggi.
“Kemana dia?”
Perasaan was-was mulai menyelimuti hatinya. Dia tidak seharusnya khawatir seperti ini.
“Apa dia pingsan lagi??”
Dia mulai beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah dapur.
“Kemana dia? Apa dia menangis??”
Aiyaz mulai menebak-nebak keberadaan Caca. Entahlah, kenapa dia jadi pusing memikirkan wanita itu.
Saat dia semakin mendekati dapur. Dia semakin gelisah sebab tidak melihat keberadaan Caca disana.
Kakinya semakin melangkah maju saat melihat darah segar berceceran di lantai.
Deg!
“Caca!!”
“Oh, Tuhan! Ada apa denganmu?! Hey, Caca?? Bangun, Ca?!”
*
*
Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)