Ada yang tahu, apa itu definisi sakit tapi tidak berdarah? Ya ini. Ketika Pak Damar seperti kehilangan tujuan saat melamar Kirana secara langsung dan perempuan itu malah pura-pura tidak mendengar.
“Saya tahu kamu bisa mendengar Kirana. Menikahlah dengan saya.” Ulang Pak Damar dengan suara dan tatapan yang begitu serius hingga membuat Kirana bukannya senang, tapi malah ketakutan.
Kirana terus berpaling, dia tidak mau melihat kembali ke arah Pak Damar sama sekali. Pasti ada yang tidak beres. Kalau semuanya baik-baik saja, tidak mungkin Pak Damar melamarnya dadakan seperti ini.
“Kirana?”
Karena panggilan lembut tidak juga membuat Kirana menoleh, maka beralih agak keras Pak Damar menyebut namanya. Namun sayangnya, Kirana tetap tidak bergerak dari tempatanya sama sekali. Dia terus bungkam selaras dengan bibirnya ikut gemetar untuk mengatakan sesuatu pula.
Sudah jelas Kirana syok dengan perkataan Pak Damar sejak di awal tadi. Tidak ada angina, tidak ada hujan. Entah apa yang sebenarnya terjadi di sini. Bukan seperti ini yang Kirana harapkan. Fakta bahwa Anggi sakit parah saja masih seperti berawang-awang di kepala Kirana. Dan sekarang, apa lagi?
“Kirana?” ulang Pak Damar sekali lagi, kali ini nadanya terdengar putus asa. Entah macam apa masalah yang tengah menimpa beliau sekarang.
Namun, tetap saja tak ada jawaban yang berarti dari Kirana karena dia juga tidak mungkin menjawab iya. Lagi pula, Kirana masih kuliah. Ya walaupun tidak ada larangan untuk menikah, tapi Kirana juga tidak ada berpikir ke arah sana. Dia ingin berbakti sepenuhnya dengan ibunya lebih dulu. Kalau dia menikah sekarang, ibunya akan sendirian.
Kalau kuliah, Kirana tinggal setahun lagi. Namun kalau menikah, itu seumur hidup. Dan dia yakin, bersama Pak Damar—sama saja meninggalkan ibunya sendirian di kampung, Kirana tidak ingin seperti itu. Baginya, ibunya yang terpenting sekarang dan sampai nanti. Meskipun Kirana juga tahu kalau saat dia menikah nanti, suaminya yang harus diutamakan. Tapi apapun itu, dia juga harus berbakti dengan ibunya. Kalau Kirana tetap di sini, ibunya jelas akan sebetang kara.
Dan yang paling gadis itu khawatirkan, Pak Damar melamarnya sekarang hanyalah untuk candaan belaka meskipun Kirana juga tahu kalau itu tidaklah mungkin Pak Damar lakukan. Kalau orang lain yang di posisi Kirana sekarang, mungkin langsung diterima begitu saja tanpa pikir panjang. Kirana tidak mau terlalu percaya diri kalau Pak Damar menyimpan perasaan kepadanya. Memangnya siapa dirinya? Kirana hanya merasa kalau dirinya adalah gadis biasa yang akan mendapat jodoh yang biasa saja juga. Yang penting baginya beriman dan bisa membimbingnya lebih baik lagi.
Apakah pemikiran seperti ini terlalu idealis? Pemikiran Kirana begitu sederhana. Agama yang dia utamakan, bukan napsunya. Jauh di lubuk hati Kirana yang paling dalam, perempuan itu tengah menangis sejadi-jadinya sekarang. Dia takut sekali. Takut lisannya tanpa sadar akan menyakiti Pak Damar jika Pak Damar terus berbicara dan akhirnya Kirana memberikan jawaban.
“Saya tidak ingin menikah dengan Anggi, Kirana. Tolong saya.”
Dan detik itu, tidak tahu kenapa air mata Kirana langsung mengalir begitu saja tanpa bisa dicegah—tanpa ada pula isakan yang menyertainya. Dan Pak Damar yang masih setia menghadap Kirana pun hanya diam melihat jawaban Kirana yang berupa buliran air mata. Entah apa lagi yang harus Pak Damar katakana, dia juga tidak tahu. Sudah buntu otaknya.
Kemarin, suasana hatinya buruk karena orang tuanya dan orang tua Anggi membahas tentang pernikahan karena Anggi tiba-tiba ingin menikah muda. Dan tadi, begitu hasil pemeriksaan Anggi keluar, hancur perasaan keluarganya, tidak ada yang menyangka kalau Anggi akan memiliki penyakit seganas itu.
Dan yang paling membuat Pak Damar tidak bisa bergerak lebih jauh sedikitpun dari bangku tunggu adalah ketika ibunya yang tak lain adalah Bu Tari, menangis menatap Pak Damar dan mengatakannya begitu saja seolah perintah itu sangatlah mudah, layaknya Pak Damar yang sabar diminta untuk mengajari Silvi Fisika. Namun, bukan perintah jangka pendek seperti itu yang beliau minta dari putra pertamanya, melainkan permohonan agar Pak Damar mau menikah dengan Anggi demi mewujudkan keinginan Anggi yang ingin menikah muda. Dan kalian tahu, itu ikatan seumur hidup. Pak Damar tidak bisa menjalani hubungan—apalagi pernikahan yang begitu sakral dalam hidupnya dengan perempuan yang tidak ada di dalam hatinya.
Sedari kecil, Pak Damar dibebaskan melakukan apapun tapi yang penting selalu dalam pengawasan kedua orang tuanya. Pak Damar juga tidak pernah dikekang. Dia adalah sosok yang begitu penurut kepada kedua orang tuanya. Namun sekarang, apakah iya Pak Damar mampu melaksanakan perintah yang berkedok permohonan mamanya ini? Papanya tidak sedang di sini. Pak Damar percaya 100 % kalau papanya ada di sini, beliau pasti menyanggah istrinya sendiri yang lebih mengutamakan perasaan daripada logika.
Bayangkan, bagaimana perasaan Anggi seandainya mereka nantinya benar-benar menikah dan yang di hati dan pikiran Pak Damar malah sosok lain. Lalu, apa yang akan Pak Damar rasakan jika Anggi sampai tidak bisa diselamatkan? Pak Damar akan menyesal seumur hidupnya. Bukankah ini juga gerbang menuju penderitaan yang lain demi bahagia sesaat.
Pak Damar mungkin terdengar egois sekali langsung mengatakan hal semacam itu pada Kirana, tentang bagaimana perasaannya kepada Anggi. Dengan mengatakan itu semua, Pak Damar jelas-jelas menolak mentah-mentah keinginan Anggi atas dirinya. Oh ayolah, walaupun lelaki suka berpikir dan bertindak sesuai logika, bagaimanapun Pak Damar punya perasaan. Dia juga berhak mengutarakan apa yang tengah dirasakannya sekarang daripada dia berpura-pura menyayangi Anggi malah kekecawaan yang perempuan malang itu dapatkan. Semua itu hanya akan menyakiti Anggi.
Dengan seluruh tubuhnya yang gemetaran, tapi coba ditutupi sebaik mungkin, Kirana ingin mewakili Anggi mengatakan perasaan sahabatnya itu secara langsung kepada Pak Damar. “Anggi mencintai Bapak.” Bisik Kirana lirih.
“Tapi saya tidak mencintainya.” Pak Damar malah menjawab agak emosi. Maksudnya, apa juga Kirana berbicara seperti itu? Untuk apa semua yang Kirana katakana.
“Apa cinta itu penting?” Kirana kembali bertanya dengan tangan yang dia cengkeram erat. Dia tidak ingin terlihat lemah di mata siapapun. Namun, Kirana sejujurnya mengakui bahwa dirinya lemah. Hanya Allah-lah sebaik-baiknya penolong. “Anggi gadis yang sangat baik. Dia begitu penyanyang dan penuh kasih. Tidak akan sulit bagi Bapak untuk mencintai gadis secemerlang Anggi.”
Pak Damar langsung memalingkan wajahnya. Dia menengadah dengan senyuman miris yang tercetak di wajahnya. “Apa kamu sedang pura-pura lupa, Kirana? Hanya karena saya, dia mendiami kamu. Itu yang kamu sebut sebagai gadis penuh kasih sayang?”
“Kesalahanpahaman bisa saja terjadi, Pak. Hal itu sudah biasa, Bapak tidak perlu khawatir.
Ada embusan napas yang begitu berat dari pihak Pak Damar karena semua jawaban yang Kirana berikan. Sampai akhirnya, Pak Damar yang memang tidak ingin terus-terusan memperpanjang pembicaraannya, langsung menembak Kirana saat itu juga tepat di jantungnya.
“Kamu ingin tahu siapa perempuan yang Anda cintai?” gerakan pelan yang dilakukan untuk kembali menoleh ke arah Pak Damar sudah seperti gerakan yang diperlambat hingga Pak Damar bisa dengan begitu jelas melihat luka Kirana.
“Siapapun perempuan itu, dia pasti perempuan yang baik hati. Hanya saja, Bapak tidak mungkin mengecewakan keluarga, bukan?”
“Tahu apa kamu tentang keluarga saya?” Pak Damar menatap Kirana nanar meskipun lawan bicaranya ini tetap tak kunjung bersedia melihat ke arahnya.
“Keluarga Bapak adalah keluarga yang begitu baik.”
Ada satu lagi senyuman miris yang Pak Damar tanpa sadar tunjukkan meskipun Kirana tidak akan pernah melihatnya. “Kamu ingin tahu siapa perempuan yang Anda cintai?”
Hanya ada gelengan pelan yang Kirana berikan sebagai jawaban. Dia tidak ingin tahu dan tidak pernah ingin tahu. Dia akan menghapus nama Pak Damar yang mulai mengusik pikirannya sejak dia ditolong waktu insiden pembullyan itu.
“Akan saya katakan.”
“Tidak perlu.” Perempuan itu menggeleng betul-betuk saking takutnya mendengar kenyataan yang meyakakitkan lagi. “Bapak hanya harus-“
“Kamu yang saya cintai.”
Ada satu detak dan detak-detak lainnya yang seakan tersusun menjadi satu membentuk sebuah sengatan dahsyat yang menghantam tepat di d**a Kirana—hingga perempuan itu berpikir, dia tidak bisa bernapas tadi. Mati. Hanya saja, kakinya masih menapak pada lantai. Dia… tidak sedang bermimpi apalagi berkhayal.
Hening, lama sekali, keduanya langsung saling terdiam usai Pak Damar sendiri mengatakan perasaannya yang sebenarnya sudah Pak Damar simpan dalam diam. Dan sekarang, beliau merasa harus mengatakan semua ini, biar orang-orang juga mengerti. Biar orang-orang juga memikirkan perasaan orang lain. Kalau pernikahan itu sampai terjadi, jelas Pak Damar juga akan sangat tersakiti. Tidak semua orang melulu berkorban untuk orang lain. Dan Pak Damar mungkin saja salah satunya. Karena dia juga memikirkan Anggi. Kalau tidak, dia tidak akan sepusing ini.
Hingga entah sampai mana mereka terdiam sampai akhirnya Kirana tahu-tahu berani mengangkat kepalanya dan menatap kening Pak Damar. "Bapak mencintai saya, bukan?" Pak Damar hanya menatap dalam diam. Melihat keterdiaman Pak Damar, Kirana tersenyum hingga matanya makin berkaca-kaca. "Kalau Bapak memang mencintai saya, menikahlah dengan Anggi. Tolong."
Tak ada jawaban sama sekali yang bersambut usai Kirana mengutarakan permohonannya. Dan perempuan itu kuat sekali menahan tangis sedari tadi. Namun, kebungkaman Pak Damar yang masih terus menatap ke arahnya membuat d**a perempuan itu kian sesak tiada tara.
"Saya mohon, menikahlah dengan Anggi, Pak."
Melihat Kirana yang begitu memohon, ditambah isi kepala Pak Damar juga semakin riuh, dia hanya ingin memastikan sekali lagi sebelum melangkah setelah ini. "Apa memang ini yang kamu inginkan?"
"Iya." Kirana mengangguk dengan sudut bibirnya yang bergetar.
"Akan saya lakukan permintaan kamu."
Dan, Kirana benar-benar tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Ketika Pak Damar langsung berdiri, dan berlalu pergi begitu saja setelah mengatakan itu semua. Setelahnya, perempuan itu tak mampu menahan tangisannya lagi. Seakan-akan menambah kadar air matanya, Bu Ghinda yang keluar, yang memperhatikan mereka sedari tadi langsung memeluk putri semata wayangnya sambil menangis. Bu Ghina mendengar semuanya sedari tadi walaupun samar-samar.
"Maafin Ibuk, Na. Tapi, kamu melakukan sesuatu yang benar."
"Ibuk..." tangisan Kirana kian hebat ketika ibunya terisak lebih keras daripada dirinya.
'Ya Allah, seperti inikah sakitnya sakit yang tak berdarah itu? Sakit sekali. Tolong aku Ya Allah...'