Pelukan hangat antara Kirana dan Bu Ghina harus berkahir karena Silvi, Simmi dan juga Nisa sudah keluar dari ruangan Anggi. Seperti yang mereka duga, mereka hanya bisa diam di pojokan sementara menangis sedangkan Anggi juga terpukul, ditenangkan oleh pihak keluarganya, Bahwasannya, mereka akan mengupayakan yang terbaik untuk kesembuhan Anggi. Bahkan kalau sampai keluar negeri untuk berobat pun akan mereka tempuh asalkan Anggi bisa sembuh. Seandainya Anggi anak orang tidak punya, keluarganya mungkin saja berpasrah diri dan mengusahakan semampunya. Namun, dasarnya Anggi memang berasal dari keluarga berada, jadi apapun harta yang mereka miliki siap mereka gunakan seluruhnya demi kesembuhan putra kesayangan dalam keluarga itu.
Termasuk juga dengan semua yang Anggi inginkan, dan Pak Damar tentu saja ada di dalamnya. Dan Bu Ghina, dia tidak menyangka kalau dia sudah menyakiti putrinya berkali-kali lipat dengan anak gadis ibu yang lain. Hanya saja, Bu Ghina merasa hutang budi selama ini dengan keluarga Anggi. Kalau sampai Pak Damar lebih memilih dan mementingkan Kirana daripada Anggi, jelas saja itu akan menyakiti Anggi dan seluruh keluarganya. Ditambah, kakaknya Anggi juga masih menyimpan perasaan pada Kirana. Lelaki itu benar menunggu Kirana selesai menempuh pendidikan S1 dan akan melamarnya lagi ketika pendidikannya sudah selesai. Apa yang akan terjadi kalau Kirana malah berakhir dengan Pak Damar meskipun seandainya mereka saling sayang sekalipun? Itu sangat berat sekali bagi Kirana dan ibunya sendiri. Mereka terlalu sadar diri dengan semua hutag budi yang belum bisa mereka bayar hingga sekarang.
“Mbak Kirana yang sabar ya, Mbak.” Silvi yang berjalan lebih dulu dan mengusap bahu Kirana yang masih terasa bergetar meski tangisannya sudah berakhir. Silvi pasti mengira kalau Kirana menangisi Anggi seutuhnya tanpa ada campur tangan oranglain yang menjadi penyebab tangisan pilu gadis ini. Di sisi lain, Silvi juga belum tahu menahu tentang fakta bahwa Anggi ingin menikah dengan Pak Damar. Ya mungkin saja, akan ada pembahasan lanjutan tentang hal ini dimana seluruh keluarga besar Silvi sendiri turut terlibat. Karena bagaimanapun, Pak Damar yang anak paling tertua dan memang sudah waktunya beliau memimpin keluarganya sendiri setelah kesendiriannya semasa hidup.
“Vi, aku diizinkan pulang, ya? Aku udah sehat, ndak papa, ya?”
Entah sedikit merasakan ataupun tidak, sorot penuh permohonan itu, juga tangan kiri Kirana yang ringkih merengkuh tangan kanannya, Silvi merasa teriris-iris sekali.
“Kenapa Mbak, ada apa? Mbak ada masalah?”
‘Ya Allah kenapa sulit sekali lari dari kepintaran Silvi?’ Kirana hanya mampu membatin perasaannya sendiri. Dia benar-benar ingin terlepas dari apapun yang ada kaitan atau hubungannya dengan Pak Damar. Kirana tidak ingin dekat lagi dengan Silvi. Kirana juga akan kembali menjadi orang asing lagi dengan Pak Damar. Hanya sebatas mahasiswa dan wali dosen yang berkepentingan formal saja di kampus, tidak lebih. Mereka hanya orang asing, tidak lebih. Bahkan di pikiran Kirana paling liar sekalipun, dia ingin pindah universitas, tapi itu tidak mungkin dirinya lakukan di saat perjuangannya tinggal sebentar lagi selesai—purna. Kirana harus bertahan sebentar lagi. Dia pasti kuat. Ada Allah bersamanya.
“Mbak Kirana, kenapa diam saja?” panggilan Silvi yang begitu terdengar memaksa ingin tahu hanya Kirana jawab dengan senyuman tipis yang masih dirinya miliki.
“Ndak kok. Kan aku memang sudah sembuh, Vi. Tidak perlu membebani kamu lagi untuk menungguiku di rumah sakit lagi. Terima kasih banyak, ya.”
Silvi langsung menggeleng, perasaannya tiba-tiba tidak enak sekali. “Mbak main rahasia sama aku ya? Mbak rahasiain sesuatu, kan? Mata Mbak nggak bisa bohong. Mbak itu orang jujur. Ada apa, kalau ada yang bisa aku bantu, pasti aku bantu kok.”
Kirana hanya mampu menatap Silvi nanar. Mungkin, Silvi benar sudah menganggap dirinya sebagai kakak perempuannya sendiri. Hanya saja, mulai sekarang, Silvi juga harus menerima Anggi apa adanya, terlepas semua yang menimpa Anggi sekarang.
“Ndak papa kok, Vi. Aku nggak bisa nyusahin kamu terus, harus bangkit pakai kakinya sendiri, kan?”
Baiklah, Silvi paham dengan perkataan Kirana yang terakhir. Hanya saja, Silvi tidak bisa menebak kesedihan lain apa yang terlihat di mata Kirana sekarang. Silvi yang melihatnya merasa kesakitan sekali, apalagi dengan Kirana sendiri yang merasakannya.
“Mbak khawatir kalau Mbak Anggi kenapa-napa ya?” tanya gadis itu sekali lagi, berupaya meyakinkan dirinya sendiri bahwa Kirana memang tidak apa-apa meskipun Anggi yakin lebih dari 100% bahwa ada yang Kirana sembunyikan darinya. “Mbak Anggi pasti balik kalem lagi sama Mbak, kan dia lagi sakit.”
Bukan jawaban seperti ini yang ingin Kirana dengar dari mulut Silvi tentang Anggi. Gadis ini terlihat masih kesal dengan pengalamannya dengan Anggi beberapa bulan terakhir yang terlihat mengejar-ngejar kakak pertamanya sekali.
“Vi, bagaimanapun, kamu ndak boleh seperti itu sama Anggi. Orang melakukan kesalahan dan memperbaikinya. Kita pun begitu. Kenapa kamu kesal sekali dengan Anggi? Padahal, kalau dirasa-rasakan, aku yang paling nyusahin kamu.”
“Ya enggak lah, Mbak.” Silvi langsung menjawab begitu semangat perkataan Kirana tentang dirinya. “Kalau Mbak Anggi nggak mulai lebih dulu, aku juga diem aja. Salah siapa gitu banget mulutnya, masak dia bilang Mbak Kirana kegatalan. Padahal kan, Mbak Anggi sendiri yang gatal sama Mas Damar.”
Mungkin, Silvi tidak sadar saat Kirana menguatkan genggaman tangannya. Dan karena sudah terlanjur, Bu Ghina yang duduk juga terlanjur mendengarkan perkataan Silvi barusan.
“Astagfirullah haladzim.” Gadis itu langsung menyebut dan menutup mulutnya sendiri dengan tangan kanannya karena sudah kelepasan. Sementara Kirana hanya bisa bernapas dengan rasa berat, matanya bahkan sampai terpejam rapat. Dan Bu Ghina, beliau sudah menatap putri semata wayangnya tanpa berkedip sama sekali.
“Apa ini, Kirana? Jelaskan kepada ibuk!”
“Buk, Mbak Kirana-“
“Kirana sendiri yang akan mengatakan pada Ibuk. Terima kasih Nak Silvi.”
Dasarnya Simmi dan Nisa juga tidak tahu tentang perselisihan antara Kirana dan Anggi ikut terkejut juga mendengar Silvi mengatakan hal seperti tadi.
“Ayo Kirana.” Bu Ghina yang sudah berdiri meminta anak gadisnya itu untuk bangkit juga. Mereka akan berbicara empat mata tanpa boleh ada yang mengganggu.
Bersamaan Bu Ghina yang berjalan lebih dulu menuju ke ruangan Kirana, gadis itu bangkit dengan langkah berat dan meninggalkan ketiga orang di sana tanpa sepatah kata sedikitpun. Melihat Silvi yang masih tampak syok membuat Nisa dan Simmi langsung menanyakan yang sebenarnya kepada Silvi, sebenarnya apa yang terjadi di antara Kirana dan Anggi.
“Vi, sebenarnya ada apa? Kirana sering melamun belakangan ini. Dia kerjanya juga ada aja nggak beresnya. Apa karena masalah yang kamu sebutkan tadi?”
Silvi jadi sedih mendengar kabar seperti ini dari Nisa yang memang satu kamar dengan Kirana.
“Ini bermula waktu aku minta sama Mbak Kirana buat nemenin aku ke Bandung waktu Pak Damar kecelakaan, Mbak. Saat kami tiba, sudah ada Mbak Anggi di sana. Dan nggak tau kenapa, Mbak Kirana kayak nggak suka gitu sama Mbak Kirana padahal Mbak Kirana memperkenalkan Mbak Anggi sebagai sahabatnya sendiri sedari kecil. Bahkan, Mbak Anggi berani usir Mbak Kirana dari sana sampai malam Minggu itu, Mbak Kirana entah tidur di mana aku nggak tau karena kalian tau sendiri kalau Mbak Kirana tipe orang yang nggak enakan. Terus abis itu, Mbak Anggi jadi sering banget main ke rumahku buat ketemu sama Pak Damar.”
“Anggi suka sama dosennya Kirana?” dengan kata lain, Nisa mengatakan kalau Anggi suka dengan kakaknya Silvi yang tak lain adalah Pak Damar.
“Iya.” Jawab Silvi lesu. “Tapi kan, harusnya Mbak Anggi nggak gitu sama Mbak Kirana terlepas dari rasa cemburunya sendiri. Lagi pula, Pak Damar memiliki perempuan yang disukai. Jadi akan gregetan waktu Mbak Anggi keliatan nggak suka sama Mbak Kirana di waktu-waktu itu, bahkan di terakhir aku ketemu sebelum ke sini. Pas apa ya?” Silvi terlihat berpikir serius. “Pas anak-anak kelasnya Pak Damar pada jenguk, malah kebetulan Mbak Kirana asam lambungnya kambuh dan harus dibawa ke rumah sakit karena sampai sesak napas.”
“Kalau asam lambungnya naik, Kirana memang sering sesak napas, ngeri kalo lihat dia sakit tuh. Kayak parah banget sampai dadanya membusung buat cari napas yang susahnya minta ampun. Padahal udah ditreat sama alat yang dari dokter.”
Silvi mengembuskan napas lesu mendengar perkataan Nisa. Kedua temannya Kirana bahkan tidak membicarakan kejelekan Anggi sama sekali. Bagaimanapun, Anggi adalah teman mereka juga. Tidak baik dibicarakan seperti itu di saat Kirana sendiri tidak pernah mengatakan yang tidak-tidak tentang sahabatnya itu. Apalagi Anggi tengah sakit parah seperti ini.
“Aku harus gimana Mbak, pusing banget,” keluh Silvi yang menunduk, menutup wajahnya dengan kedua tangan, sementara Nisa dan Simmi langsung duduk di masing-masing sisi Silvi seraya menenangkan gadis yang paling muda dari mereka ini dengan mengusap punggungnya menenangkan. “Aku khawatir kalau Mbak Kirana dimarahi sama ibunya. Aku bener-bener nggak sadar tadi waktu keceplosan kayak gitu.”
“Udah, nggak papa, Vi. Kirana pasti bisa nyelesaiin masalahnya sendiri. Jangan ikut kepikiran, nanti ikut sakit lagi. Kasihan Kirana juga, ikut kepikiran juga nanti.”
“Tadi Mbak nggak liat matanya, dia kayak orang tertekan banget.” Kata Silvi lagi dengan tatapan mata yang berkaca-kaca memandang Simmi dan juga Nisa secara bergantian. Dia benar tulus menyayangi Kirana. Dia tidak ingin kalau Kirana sampai menanggung sesuatu yang berat meskipun sudah hal yang pasti jika setiap manusia hidup memiliki masalah untuk dijadikan sebagai pelajaran dalam hidup, untuk dijadikan pula sebagai pengalaman terbaik. Karena pengalaman adalah guru terbaik.
Sementara di tempat lain pula, Bu Ghina menatap putrinya yang hanya menunduk diam, menatap sepasang sandal japitnya yang begitu sederhana.
“Apa ibuk pernah mengajarkan kamu untuk mengambil apa yang bukan hak kamu, Na? Kenapa Anggi yang begitu terpelajar sampai memanggil kamu perempuan gatal? Apa yang sudah kamu lakukan tanpa sepengetahuan ibuk selama ini?”
Dengan begitu lembut, Kirana menjawab meski kepalanya masih tertunduk. “Aku ndak melakukan apa-apa, Buk. Anggi hanya salah paham.”
“Salah paham dalam hal apa?”
“Karena Pak Damar lebih interaktif denganku daripada dengan Anggi. Dia cemburu. Tapi-“
“Jadi, selama ini kamu memang sudah dekat dengan laki-laki?”
Kirana langsung mengangkat kepalanya dan menceritakan yang sebenarnya pada Bu Ghina. “Tidak seperti itu, Buk. Ibuk ingat waktu Silvi menginap denganku? Dia adik dari Pak Damar, kebetulan waktu di kampus, aku mengantranya ke ruang kepala jurusan dan setelah itu, kami jadi berteman. Dan karena Pak Damar beberapa waktu yang lalu kecelakaan, Silvi yang di rumah sendiri dengan kakak terakhirnya ingin pergi ke Bandung tapi mengajakku sebagai teman perjalanan, biar dia tidak mengantuk.”
“Sebelumnya, aku sudah tahu kalau Anggi ada di sana. Anggi…” Kirana terdiam, rasanya berat sekali berbicara layaknya hatnya baik-baik saja seperti ini. “Seingatku, beberapa hari setelah atau sebelum Pak Damar kecelakaan di pintu keluar tol Bandung, Anggi bilang sama aku kalau dia jatuh cinta sama Pak Damar. Dan karena aku ikut Silvi ke Bandung waktu itu, tidak tahu kenapa Anggi kesal denganku karena aku baru datang dalam keadaan mabuk dan seakan diistimewakan padahal aku hanya diminta untuk istirahat. Sejak saat itu, Anggi tidak mau berurusan denganku lagi. Dan aku juga ndak ada hubungan apa-apa sama Pak Damar, Buk. Kamu hanya sebatas mahasiswa dan dosen, tidak lebih. Ibuk tidak perlu memusingkan tentang perbincangan kami tadi.”
Bu Ghina tersenyum pedih mendengar perkataan Kirana. Dengan berkata seperti itu, Bu Ghina yang menjadi ibunya merasa terpukul. “Apa yang sudah kamu lakukan sehingga Pak Damar bisa jatuh cinta sama kamu, Na. Dan ibu lihat, ada rasa yang sama di mata kamu untuk Pak Damar. Apa yang sudah kalian lakukan?”
“Aku ndak ngapa-ngapain, Buk. Kenapa Ibuk bertanya seperti itu? Ibuk ndak percaya sama aku?” gadis itu bertanya dengan bibir gemetaran menahan tangis. Saking buntu pikirannya, dia tidak bisa berpikir dengan jernih tentang apa yang baru saja ibunya pertanyakan pada dirinya.
“Lalu bagaimana kalian bisa saling mencintai?”
Kirana benar menggeleng menahan tangisnya mati-matian. “Ibuk bicara apa?”
“Mata kamu ndak bisa bohong sama Ibuk, Na. Kamu memiliki perasaan yang sama dengan pemuda itu. Ibuk bisa melihat dan merasakannya. Kamu mencintai Pak Damar juga, bukan?”
“Apa aku bisa milih untuk ndak jatuh cinta sama Beliau, Buk?” Kirana menggeleng pilu, kepalanya kembali tertunduk, tangannya sibuk menutup wajah, menahan tangisannya.
Bu Ghina, dari jaraknya yang terbentang, dia juga menahan tangisannya. Hanya saja, wanita tanggung itu tidak ingin menunjukkan kesedihannya kepada putrinya sendiri yang sudah menderita selama ini.
“Ndak, kamu ndak salah.” Beliau menggeleng pelan. “Ibuk yang salah, karena ibuk nggak bisa mencukupi kamu seperti orang tua pada umumnya. Ibuk yang minta maaf, Kirana.”
“Ndak, Buk…” Kirana langsung berjalan kepayahan untuk memeluk ibunya dan menangis tersedu-sedu lagi. Kirana akan merasa lebih baik kalau dirinya dimarahi daripada harus melihat surganya menangis seperti ini. "Ibuk yang terbaik."
"Lapang d**a ya, Nak. Anggap saja perasaanmu itu hanya cinta monyet belaka." Kata Bu Ghina memohon lirih.
Kirana tidak menjawab, dia hanya menangis sampai matanya bengkak. Sekalinya jatuh cinta, seperti ini pula akhirnya. Hatinya sakit sekali. Namun, Anggi juga penting baginya dan Kirana tidak bisa egois dengan menginginkan Pak Damar yang jelas-jelas mereka jomplang jauh sekali.
"Yang ikhlas ya, Nak?" Bu Ghina melepas pelukannya, kemudian memandang Kirana, mengahapus air matanya. "Anggi..."
Tanpa mampu berkata lebih jauh, Kirana langsung mengangguk meski air matany terus mengalir. Kirana berpikir bahwasannya ini memang cinta monyet biasa. Perlahan-lahan, dia pasti bisa melupakan Pak Damar. Dia pasti bisa melupakan beliau.
Dan adakah yang tahu dimana bagian tersakitnya, ketika mata Kirana yang redup menatap sosok Pak Damar berdiri di antara celah pintu dan menatapnya dengan tatapan yang begitu kecewa. Karena Kirana lebih mementingkan sahabatnya sendiri daripada cintanya. Namun setidaknya, Pak Damar tahu kalau Kirana juga memiliki perasaan yang sama dengan dirinya.
Tentang cinta yang kembali harus dikorbankan karena banyak hal. Tentang keluarga, persahabatan, juga pengorbanan. Kalau Kirana bisa berkorban sebesar itu dan memilih kesakitan sendirian, kenapa Pak Damar tidak juga berkorban yang sama? Dan bahkan, Pak Damar yang lebih sakit di sini. Dia yang pastinya akan lebih tersiksa nantinya jika pernikahan itu benar-benar terjadi.
'Apa kisah kita harus berakhir seperti ini, Kirana?'
'Maafkan saya, Pak.'