Pagi ini Kirana sudah siap berangkat ke kampus bersama dengan Anggi. Daripada rasa takutnya gara-gara dibully kemarin, Kirana lebih takut kalau ketinggalan pelajaran padahal dia mampu untuk pergi ke kelas. Karena itu, setelah merasa sangat baik, tidak ada alasan bagi Kirana tidak berangkat ke sekolah. Dan sampai sekarang pun, Anggi masih belum tahu tentang pembullyan itu karena Kirana jelas tidak mau membawa Anggi ke dalam masalahnya.
"Kamu beneran ndak papa kan Na kalau berangkat kampus sekarang? Atau mau istirahat saja dulu, sampai benar-benar tenang?" Anggi beranjak dari meja hias kemudian menghampiri Kirana yang masih duduk anteng di tepi ranjang. Gadis ini memang tahu kalau Kirana memang memiliki gangguan kecemasan seperti serangan panik atau panic attack. Dulu, dia pernah melihat Kirana yang tiba-tiba gelisah sendiri seraya memegangi dadanya, itu kondisinya Kirana sedang kecapaian. Karena itu juga dia berpikir kalau serangan paniknya yang datang kemarin karena Kirana hanya kelelahan yang membuat stress dan alhasil membuat serangan paniknya kembdali datang.
"Orang aku ndak papa kok, Nggi." Kirana sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas saat mengatakan itu semua. "Biasalah, Nggi. Stress, jadi sesak nafas. Tapi kan sekarang sudah ndak papa, jadi ya berangkat sekolah saja. Dapet ilmu dari dosen. Daripada di sini nanti pikiranku malah kemana-mana. Ya to?"
Anggi menggut-manggut saat pahanya ditepuk. Dia mengerti dan tidak akan bertanya lagi karena sungguh Anggi ingat, ini sudah ketiga kalinya Anggi bertanya dan jawaban Kirana tetap konstan. Anggi juga tidak mau bertanya maksud Kirana yang mengatakan stress ini stress karena apa dulu. Biarlah kalau sahabat karibnya ini benar-benar tenang dulu dan bercerita denagn sendirinya. "Ya sudah ayo berangkat sekarang. Nanti aku antar kamu sampai ke kelas."
Kirana langsung menahan tangan Anggi yang akan pergi mendengar pernyataan yang demikian. Dia sedikit mendongak menatap perempuan itu. "Ndak usah. Di depan gerbang saja, Nggi. Kamu malah kayak ibuk aku aja."
"Ya ndak papa kali, Na. Kamu juga bebas kalau mau keliling di fakultas kedokteran. Jadi ayo keliling-liling. Biar yang kamu liat ndak itu-itu saja, mbok ada progressnya gitu. Kamu itu lhoh, suka kesel sama kamu kalau diajak liburan suka nggak mau, padahal gratis."
"Liburannya nanti kalau sudah waktunya, Nggi. Ini masih kuliah ya fokus kuliah dulu. Lagian ini musim penghujan, jalan licin bahaya."
"Sak karepmu, Na. Dari dulu kamu mah memang anti diajak keluar kecuali kalau aku sendiri yang main ke rumah kamu. Kalau keluar paling di rumah Mbah Darti, mbatik. Sudah itu, harga mati. Atau ndak, main lebih jauh, paling di waring Mbah Sumini buat beli jajan."
Kirana tertawa renyah mendengar jawaban Anggi akan pernyataannya. "Habisnya kalau aku main ke rumah kamu, suka kamu jodoh-jodohkan dengan abang kamu, ya aku ndak enak to di sana."
"Hm, bagus, nyindir orang langsung di depan mukanya banget ya, Na. Merasa tersindir adinda."
Tawa itu belum juga berhenti terdengar, sampai sesaat kemudain hening dan Kirana kembali mengingatkan sambil menepuk paha Anggi pelan, "ayo lhoh budal sekolah, kalau telat dihukum nanti kamu berdiri jaga mahkota gigi."
Kemudian mereka bangkit bersama-sama menuju lantai bawah untuk menghampiri supir Anggi yang sudah siap si bawah.
Sampai sana, mereka langsung masuk mobil dan berangkat bersama-sama menuju lingkungan kampus. Karena tadi sudah sepakat kalau Kirana akan pergi sendiri, jadi Anggi pasrah saja tidak bisa mengantarkan Kirana sampai di kelasnya. Karena itu, setelah Kirana diberhentikan di depan gerbang masuk, Anggi melanjutkan perjalanan lagi yang tempatnya dekat dengan fakultas Nisa.
Pertama-tama, Kirana mengembuskan napas pelan, tatapannya lurus ke arah gedung menjulang tinggi di depannya. Begitu puas, Kirana berjalan pelan menuju kelasnya seperti biasa. Gedung SA no II. Kepalanya tertunduk bukan karena malu, tapi karena dia ingin menjaga pandangan. Dari kanan kiri yang sudah ramai juga terdengar bisik-bisik, tapi Kirana tidak memedulikannya. Dia tipe yang sudah masa bodoh dengan omongan orang. Jadi Kirana tetap berjalan seperti biasa.
Hingga sampai di kelas, yang baru terisi setengah orang, Kirana memasang wajah biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa. Dia duduk di bangku paling depan. Karena sedari dulu, dia memang sering duduk di depan.
Satu kelasnya ini berjumlah 25 orang. Jadi Kirana selalu duduk sendiri sedari pertama kali masuk kampus. Kalaupun pernah duduk berdua dengan orang, itu hanya duduk sebentar.
Di kelasnya, tentu saja ada organisasi seperti ketua, wakil ketua, dan bendahara. Dan bisa dibilang, ketua di kelasnya ini yang paling banyak berinteraksi dengan Kirana. Dia tidak seperti yang lain yang sampai jaga jarak dan menghina Kirana ini itu. Karena ketua kelasnya ini juga pintar seperti Kirana. Dia tidak membedakan teman. Setidaknya, Kirana tetap bersyukur. Dari 24 orang di sana, masih ada orang yang menganggapnya sebagai manusia.
Karena itu, pagi ini juga, ketua kelasnya yang terkenal ambis langsung menghampiri Kirana, duduk di bangku kosong sebelahnya.
"Kirana, kemarin gue denger lo dibully. Udah tau orangnya belum?"
Mendengar itu jelas Kirana terkejut. kirana pikir, beritanya tidak akan menyebar sehingga sampai di telinga Faisal seperti ini.
"Kamu kata siapa?" tanya Kirana bingung.
"Makanya sih punya hape android, biar bisa masuk grup kelas. Kemarin itu gue di wa sama Pak Damar, terus dikasih tau apa yang terjadi sama lo."
"Memangnya Pak Damar sudah tau siapa orangnya?"
"Ya sudahlah orang yang jail sama lo si Bianca sama antek-anteknya."
Kirana menghela nafas pelan mendengar kenyataan pahit seperti itu. Bianca lagi. Bianca lagi. Entah sampai kapan perempuan itu akan membencinya. Padahal semua orang juga tahu kalau Kirana tidak pernah mencari gara-gara dan berusaha tidak berurusan dengan Bianca ini sedikitpun.
"Dia ndak diapa-apakan kan, Sal?"
"Setau gue, hari ini dia dipanggil sama Pak Damar. Kan nanti ada jamnya tuh, jam 3-4."
Mendadak Kirana gelisah mendengar hal tersebut. Dia jadi tidak enak hati. Kalau nanti ada apa-apa gimana? Duh susahnya jadi orang tidak punya, tidak salah saja tetap dipersalahkan karena dianggap orang kecil yang tidak bisa membela dirinya sendiri.
"Terus bagaimana, Sal? Apa ndak papa kalau dipanggil? Nanti kalau Bianca dimarahi bagaimana, ya?"
"Ya syukurin lah, suruh siapa jahatnya kebangetan. Kemarin Pak Damar yang bawa lo aja panik." Kata Faisal menceritakan karena dia memang melihat Pak Damar ketika membawa Kirana dari dalam kamar mandi.
"Jadi yang nolongin bener Pak Damar?" Kirana langsung tidur nyaman ketika menanyakan itu semua.
"Iya Pak Damar sama bapak penjaga di lantai bawah. Kemarin gue keluar kelas sebelum Pak Damar. Eh pas gue mau naik lift, gue denger dia teriak, ya udah nggak jadi, nyamperin Beliau aja, deh. Taunya keluar-keluar malah elo yang digendong. Terus bapak yang jaga di bawah bawa tikus item gede-gede seplastik."
Kirana diam saja karena dia juga tidak tahu harus menjawab apa. Meskipun dia tidak bersalah, dia tetap merasa takut. Takut jika Bianca sampai dihukun dan perempuan itu semakin membencinya di saat Kirana sendiri tidak tahu salahnya dimana.
Kalau semua orang mempermasalahkan sikap culunnya, apa justru mereka yang kurang pengetahuan? Kirana anak orang tidak punya. Kalau dia punya, pasti memaksa pakaian yang setidaknya standar lah bagi anak kuliahan. Kalau dia memakai kemeja, rok dan kerudung sederhana yang kelihatan sudah usang, karena memang hanya itu yang Kirana punya. Kenapa tidak dibelikan saja kalau bermasalah dengan pakaiannya? Orang zaman sekarang memang aneh-aneh sekali. Seandainya mereka atau salah satu dari mereka mengerti tentang kehidupan Kirana, niscaya mereka akan menangis karena semua anak di kelasnya masih memiliki orang tua yang lengkap semua, kecuali Kirana sendiri yang bahkan tidak tahu bapaknya masih ada atau telah tiada.
"Makasih Sal, sudah diberi tahu." Kirana berujar pelan seperti biasa.
"Santai lah, gue juga gedeg itu sama anak satu. Jelek-jelekin kelas mulu kerjaannya."
"Sama teman sendiri, tidak boleh seperti itu." Kirana mengingatkan. Bukan karena sok sibuk suci, karena dia tahu rasanya dibenci orang tidaklah enak rasanya.
"Gue balik dulu." Pamit Faisal kemudian yang dibalas Kirana dengan anggukan saja.
Setelah ditinggal Faisal pergi, Kirana duduk bersandar dengan mata terpejam rapat. Mendadak kepalanya pening sekali setelah mendengar apa yang Faisal katakan. Selain itu, pasti ada CCTV untuk melihat kejadian yang sebenarnya bagaimana.
Kirana bukannya membela orang yang sudah berbuat jahat kepadanya. Dia hanya sudah memaafkan. Jadi dia tidak ingin kasusnya sampai berlanjut dan berlarut-larut. Namun sepertinya, Kirana lupa membaca peraturan tata tertib di kampus, yang dulu pertama kali masuk ke sana diberikan buku tebal yang berisi peraturan lengkap atau kebijakan-kebijakan, pedoman dalam melakukan prosedur di kampus. Begitupun juga dengan sanksi yang berlaku. Dan perpeloncoan, bullying, pelecehan s*****l, itu ada dua kemungkinan bagi tersangkanya. Di DO atau diberhentikan selama satu atau dua semester.
Dan kalau melihat dari kasus Kirana kemarin, kemungkinan besar Bianca dan teman-temannya diliburkan selama satu tahun penuh. Mereka tidak diizinkan melakukan kegiatan pembelajaran yang berlangsung. Bahkan selama itu, mereka tidak diizinkan untuk berkeliaran di lingkungan kampus.